Harian Masyarakat | Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada 1 Oktober 2025 menerbitkan Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA. Surat itu berisi ajakan kepada aparatur sipil negara (ASN), pelajar, dan masyarakat untuk berdonasi Rp1.000 per hari. Program ini diberi nama Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), atau “Gerakan Sehari Seribu”.
Dalam edaran yang ditujukan ke seluruh bupati dan wali kota, kepala perangkat daerah, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama se-Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyebut gerakan ini berlandaskan semangat gotong royong dan nilai silih asah, silih asih, silih asuh.
Tujuan utamanya adalah membantu kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan yang bersifat darurat atau mendesak. “Prinsip dasar pelaksanaannya adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat,” kata Dedi Mulyadi.
Cara Kerja dan Mekanisme Pengelolaan

Dana donasi dikumpulkan melalui rekening khusus Bank BJB dengan format nama “Rereongan Poe Ibu – (nama instansi/sekolah/unsur masyarakat)”.
Pengelolaan dilakukan di masing-masing lingkup:
- Pemerintah daerah dan instansi swasta: diawasi oleh kepala instansi.
- Sekolah: dikelola oleh kepala sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama setempat.
- Masyarakat (RT/RW): dipimpin oleh kepala desa atau lurah dan dikoordinasikan oleh camat.
Dana yang terkumpul akan dipakai untuk kebutuhan darurat di bidang pendidikan dan kesehatan. Misalnya membantu warga yang butuh biaya transportasi ke rumah sakit, membantu siswa kurang mampu membeli seragam, atau mendukung pengobatan warga.
Laporan keuangan dijanjikan transparan. Pemprov Jabar menyediakan aplikasi Sapawarga dan Portal Layanan Publik untuk publikasi laporan, termasuk opsi publikasi lewat media sosial resmi tiap instansi.
“Warga Bantu Warga”
Dedi Mulyadi menggambarkan gerakan ini sebagai bentuk solidaritas sosial di tengah keterbatasan fiskal. Ia menegaskan gerakan ini bukan pungutan wajib, melainkan ajakan sukarela.
“Bagi yang mau memberi silakan, yang tidak pun tidak apa-apa,” ujar Dedi. Ia mencontohkan konsep sederhana seperti “rereongan jimpitan” di Purwakarta saat ia menjabat bupati. Waktu itu, tiap malam warga menyumbang seribu rupiah dan hasilnya dipakai membantu tetangga yang butuh biaya berobat atau ongkos sekolah anaknya.
Tujuan Mulia di Tengah Fiskal Ketat
Gerakan “Rereongan Poe Ibu” muncul di saat kondisi keuangan Jawa Barat sedang ketat. Berdasarkan laporan resmi Pemprov Jabar, APBD 2025 mencapai Rp31 triliun, namun tidak seluruhnya bisa digunakan secara bebas.
Dedi Mulyadi mengaku, sepertiga APBD terkunci untuk membayar utang lama, seperti utang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), tunggakan BPJS, dan biaya operasional proyek besar seperti Bandara Kertajati dan Masjid Al Jabbar.
“Banyak yang tanya, berapa anggaran Jabar tahun ini. Rp31 triliun. Tapi jangan dikira semuanya bisa dipakai,” kata Dedi Mulyadi di Bandung pada Juli 2025.
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, menambahkan bahwa belanja daerah justru meningkat tajam pada perubahan APBD, terutama untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran infrastruktur naik dari Rp2,1 triliun menjadi Rp4,9 triliun.
Namun peningkatan belanja tidak otomatis diikuti kenaikan pendapatan. Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp31 triliun bergantung pada pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama. Sementara itu, tren meningkatnya penggunaan kendaraan listrik membuat potensi penerimaan dari pajak kendaraan konvensional menurun.

Di Mana Peran Donasi Rp1.000 Sehari?
Kebijakan donasi seribu rupiah ini dianggap sebagian pihak sebagai simbol solidaritas rakyat di tengah keterbatasan fiskal pemerintah. Namun muncul pertanyaan: apakah warga perlu ikut menambal kekurangan anggaran daerah sebesar itu?
Apalagi, di tengah meningkatnya belanja daerah dan janji transparansi pengelolaan anggaran, muncul kritik bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada efisiensi belanja ketimbang mendorong masyarakat berdonasi harian.
Sebagian pengamat menilai, jika pengawasan dan tata kelola tidak ketat, gerakan ini berisiko hanya menjadi simbol moral, bukan solusi nyata bagi persoalan sosial.
Janji Transparansi dan Pengawasan
Dedi Mulyadi menegaskan bahwa seluruh proses pengumpulan, pengelolaan, dan pelaporan dana akan dipantau secara berjenjang.
- Di perangkat daerah, pengawasan oleh kepala dinas.
- Di sekolah, oleh kepala sekolah bersama Dinas Pendidikan.
- Di RT/RW, oleh kepala desa dan lurah, dikoordinasikan oleh camat.
Pemprov Jabar juga menyiapkan mekanisme audit internal agar tidak ada penyimpangan. Laporan keuangan akan bisa diakses publik melalui Sapawarga dan Portal Layanan Publik.
Namun, publik masih menunggu sejauh mana transparansi itu akan dijalankan.
Kritik dan Realitas
Gerakan ini memang terdengar sederhana: seribu rupiah sehari bukan jumlah besar. Tapi ketika dikalikan dengan jutaan warga Jawa Barat, nilainya bisa menembus miliaran rupiah per bulan.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang memastikan dana sebesar itu dikelola benar dan tepat sasaran?
Apakah pemerintah daerah mampu memastikan dana gotong royong ini tidak menjadi tumpang tindih dengan anggaran resmi, atau bahkan menutupi kewajiban yang seharusnya ditanggung negara?
Sebagian pihak menilai gerakan ini justru menggambarkan krisis fiskal terselubung, di mana ruang fiskal pemerintah makin sempit, sementara beban sosial tetap tinggi.
Gerakan “Rereongan Poe Ibu” adalah cermin dari dua hal: semangat solidaritas warga dan realitas fiskal yang kian ketat.
Di atas kertas, gerakan ini bisa menjadi model gotong royong modern berbasis transparansi digital. Tapi di lapangan, keberhasilannya akan bergantung pada pengawasan, akuntabilitas, dan kejujuran pengelolanya.
Dedi Mulyadi mengatakan, “Ini bukan soal besar kecilnya uang, tapi soal kebersamaan membangun Jawa Barat.”
Pertanyaannya: apakah kebersamaan ini benar-benar untuk memperkuat rakyat, atau sekadar cara lain menambal lubang keuangan daerah yang makin lebar?















