Harian Masyarakat | Emas sejak lama menjadi bagian penting dari sistem moneter dunia. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, emas berfungsi sebagai dasar nilai uang di seluruh dunia, dikenal dengan sistem Standar Emas Klasik. Dalam sistem itu, setiap mata uang harus dijamin dengan cadangan emas yang dimiliki bank sentral.
Namun, sistem ini berakhir setelah Perang Dunia II. Dunia beralih ke Sistem Bretton Woods pada 1944–1971, yang menjadikan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang acuan yang dijamin emas. Setelah sistem ini runtuh, dunia memasuki era mata uang fiat, di mana nilai uang tidak lagi dijamin emas, tetapi bergantung pada kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah dan bank sentral.
Meski emas tidak lagi menjadi standar mata uang, bank sentral tetap menyimpannya sebagai bagian dari cadangan devisa. Emas berfungsi sebagai aset lindung nilai (safe haven), alat diversifikasi portofolio, dan penopang kepercayaan pasar.
Emas dalam Cadangan Devisa Indonesia
Bank Indonesia (BI) hingga kini masih menyimpan emas dalam cadangan devisanya. Berdasarkan data Special Data Dissemination Standard (SDDS), nilai cadangan emas BI per akhir September 2025 mencapai 9,93 miliar dolar AS atau sekitar Rp165,75 triliun. Nilai ini setara 6,67 persen dari total cadangan devisa nasional sebesar 148,7 miliar dolar AS.
Sebagian besar cadangan devisa BI disimpan dalam bentuk mata uang utama dunia, seperti dolar AS, dengan porsi hingga 86,69 persen. Sisanya berupa aset internasional lain yang diterbitkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Cadangan devisa ini menjadi penopang utama stabilitas nilai tukar rupiah, pembayaran utang luar negeri, dan intervensi pasar jika terjadi gejolak ekonomi.
Laporan IMF dan World Gold Council Picu Polemik
Polemik soal emas BI mencuat setelah laporan World Gold Council (WGC) bertajuk “Central Bank Gold Statistics: Central Bank Gold Buying Rebounds in August” dirilis pada 3 Oktober 2025. Dalam laporan itu, WGC mengutip data IMF yang menunjukkan penurunan cadangan emas BI sebanyak 13 ton: terdiri dari 11 ton pada Juli dan 2 ton pada Agustus 2025.

Data IMF mencatat cadangan emas BI turun dari 86,74 ton pada Juni menjadi 72,34 ton pada Agustus 2025. Jika dikonversi, penurunan ini senilai sekitar Rp22,8 triliun. WGC kemudian menyimpulkan bahwa BI telah melakukan penjualan emas.
Laporan itu menyebut hanya dua bank sentral yang menjual emas pada periode tersebut, yakni Bank Sentral Rusia dan Bank Indonesia. Padahal, tujuh bank sentral lain seperti National Bank of Kazakhstan, Bulgarian National Bank, Central Bank of Turkey, People’s Bank of China, Czech National Bank, Central Bank of Uzbekistan, dan Bank of Ghana justru menambah cadangan emasnya.
Bantahan Keras dari Bank Indonesia
Kabar penjualan emas itu langsung viral di media sosial. Beberapa akun X (Twitter) mengutip data IMF dan menuding BI menjual emas untuk memperkuat likuiditas dolar AS. Namun, BI segera membantah tuduhan tersebut.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menegaskan bahwa lembaganya tidak pernah menjual cadangan emas seperti yang diberitakan. Ia meminta publik mengacu pada data resmi yang diterbitkan BI setiap bulan melalui situs resminya.
“Bank Indonesia tidak melakukan penjualan emas sebagaimana disebutkan. Mohon teman-teman media mengikuti informasi resmi mengenai perkembangan cadangan devisa Indonesia melalui website BI,” ujar Denny dalam pernyataan resminya pada 7 Oktober 2025.
Data BI justru menunjukkan bahwa nilai cadangan emas meningkat sejalan dengan kenaikan harga emas global. Pada Agustus 2025, nilai emas dalam cadangan devisa mencapai 8,81 miliar dolar AS, naik 24,77 persen dibandingkan posisi Januari 2025 yang sebesar 7,06 miliar dolar AS. Kenaikan ini konsisten dengan lonjakan harga emas dunia sebesar 23,31 persen pada periode yang sama.

Pandangan Ekonom: Ada yang Salah dengan Data IMF
Kepala Ekonom BCA David Sumual meragukan laporan WGC yang bersumber dari IMF. Menurutnya, data yang tercatat di SDDS, yang merupakan hasil kolaborasi BI dan IMF sendiri, lebih akurat.
“Kalau SDDS, itu data konfirmasi langsung dari BI dan IMF. Jadi agak janggal kalau WGC bilang BI menjual emas. Justru banyak negara sekarang menambah porsi emas sebagai bagian diversifikasi cadangan devisa,” kata David.
Ia menjelaskan bahwa sejak pandemi Covid-19, banyak bank sentral, terutama China, memperbesar cadangan emasnya untuk melindungi nilai aset dari volatilitas dolar AS dan ketidakpastian global.
Apakah Wajar Jika Bank Sentral Menjual Emas?
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, menjual emas bukan hal tabu bagi bank sentral. Penjualan bisa dilakukan sebagai langkah efisiensi atau rebalancing portofolio cadangan devisa.
“Kalau dijual dan ada keuntungan, hasilnya bisa dikonversi menjadi aset lain seperti dolar AS atau digunakan untuk membeli obligasi global,” ujar Telisa.
Senada, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menegaskan bahwa penjualan emas dalam konteks kebijakan moneter modern bersifat taktis, bukan strategis.
“Penjualan dilakukan untuk menjaga likuiditas atau memenuhi kebutuhan intervensi valuta asing di tengah tekanan eksternal. Tidak untuk mencari keuntungan jangka pendek,” katanya.
Ia mencontohkan, Rusia dan Turki pernah menjual sebagian cadangan emasnya untuk mendukung program domestik seperti pencetakan koin dan penyesuaian neraca keuangan pemerintah.
Namun Rizal mengingatkan, jika kebijakan seperti ini tidak dikomunikasikan dengan baik, bisa menimbulkan spekulasi pasar dan melemahkan rupiah. Karena itu, transparansi menjadi penting agar langkah BI tidak disalahartikan.
![]()
Harga Emas Dunia dan Dampaknya ke Indonesia
Harga emas global melonjak tajam sepanjang 2025. Per September, harga emas dunia mencapai lebih dari 3.800 dolar AS per troy ounce, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dalam rupiah, harga emas naik 51,69 persen secara tahunan akibat depresiasi kurs.
Di dalam negeri, kebijakan BI memangkas suku bunga menjadi 4,75 persen ikut meningkatkan minat masyarakat membeli emas. Data WGC menunjukkan permintaan emas di Indonesia naik 20,87 persen pada paruh pertama 2025, didominasi pembelian emas batangan.
Direktur Utama PT Hartadinata Abadi Tbk, Sandra Sunanto, menyebut fenomena ini sebagai momentum bagi investor. “Harga emas dunia menjadi pengingat bahwa emas adalah aset paling tahan terhadap gejolak global,” ujarnya.
Data Resmi BI Masih Konsisten
Perbandingan antara data IMF dan BI menunjukkan perbedaan metodologi pelaporan. Berdasarkan catatan resmi SDDS dan pernyataan BI, nilai cadangan emas Indonesia tidak menurun, tetapi justru meningkat sejalan dengan tren harga emas dunia.
Dengan demikian, tuduhan bahwa BI menjual emas 11 ton tampak tidak berdasar. Sampai saat ini, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan transaksi penjualan tersebut benar terjadi.
Cadangan emas BI tetap menjadi bagian dari strategi stabilitas moneter nasional, bukan instrumen spekulatif. Dalam konteks global, langkah BI menjaga porsi emas menunjukkan kehati-hatian dalam mengelola devisa, di tengah fluktuasi ekonomi dan tekanan nilai tukar dunia.















