Harian Masyarakat | Langit Gaza kembali bergemuruh, tapi kali ini bukan karena bom. Ribuan warga menembakkan peluru ke udara, bukan untuk berperang, melainkan merayakan kabar yang hampir tak bisa mereka percaya: gencatan senjata akhirnya disepakati.
Di Khan Younis, Rafah, hingga Gaza City, suara takbir menggema. Orang-orang saling berpelukan, banyak yang menangis. “Alhamdulillah, akhirnya berhenti. Cukup sudah darah dan kematian,” kata Abdul Majeed Abd Rabbo, warga Khan Younis yang kehilangan rumahnya sejak awal perang. “Seluruh Gaza bahagia, seluruh dunia pun bahagia dengan berakhirnya pembunuhan ini.”
Bagi warga yang dua tahun hidup di bawah serangan, malam itu terasa seperti mimpi. “Aku tidak bisa berhenti menangis dan tertawa. Aku tidak percaya kami masih hidup,” kata Tamer al-Burai, pengusaha asal Gaza City yang kini tinggal di pengungsian.

Gencatan Senjata dan Harapan untuk Pulang
Kesepakatan yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump menjadi fase pertama dari rencana perdamaian 20 poin yang dinegosiasikan di Sharm el-Sheikh, Mesir. Intinya, pertempuran dihentikan, pasukan ditarik sebagian, dan para tawanan dari kedua pihak akan dibebaskan.
Menurut sumber yang terlibat dalam perundingan, Hamas akan membebaskan sekitar 20 tawanan yang masih hidup, sementara ribuan tahanan Palestina akan dilepaskan oleh Israel. Pasukan Israel dijadwalkan mulai mundur dalam waktu 24 jam setelah penandatanganan perjanjian.
Di sisi lain, kesepakatan ini membuka jalan bagi masuknya bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar. Setelah berbulan-bulan kelaparan, warga Gaza menunggu datangnya konvoi berisi makanan, obat-obatan, dan bahan bakar. Direktur WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan lembaganya siap meningkatkan operasi kemanusiaan di Gaza. “Obat terbaik adalah perdamaian,” ujarnya.

Euforia di Tengah Reruntuhan
Video yang beredar menunjukkan ratusan warga menari dan bernyanyi di jalan-jalan Khan Younis dan Al-Mawasi. Beberapa sujud syukur, sebagian lain menatap langit dengan air mata.
“Ini momen bersejarah yang ditunggu warga Palestina setelah dua tahun pembunuhan dan penderitaan,” kata Khaled Shaat, warga Khan Younis. “Kami ingin kembali ke rumah kami, meski rumah itu tinggal puing.”
Namun tidak semua merasakan lega sepenuhnya. Banyak yang masih khawatir perang bisa meletus lagi. “Kami takut ini hanya jeda sementara. Kami butuh jaminan keamanan nyata,” kata Abu Hesham, warga Palestina.
Zakeya Rezik, ibu enam anak, menambahkan, “Rumah kami sudah rata dengan tanah. Meski perang berakhir, kami akan tetap di tenda sampai Gaza dibangun kembali.”

Luka yang Belum Sembuh
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 67.000 warga Palestina tewas sejak perang dimulai pada Oktober 2023. Sekitar 170.000 lainnya terluka. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
“Yang paling berat bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga luka batin,” kata Eyad Amawi, koordinator bantuan kemanusiaan yang kini tinggal di kamp pengungsian. “Kami harus memperbaiki segalanya, termasuk psikologis anak-anak agar bisa hidup normal lagi.”
Ribuan jasad masih tertimbun di bawah reruntuhan. Banyak keluarga yang belum sempat menguburkan orang terkasih. “Yang terpenting sekarang adalah menemukan jenazah keluarga kami dan menguburnya dengan layak,” kata Anas Arafat, salah seorang warga.
Peran Internasional dan Masa Depan Gaza
Kesepakatan ini disebut sebagai pencapaian diplomatik besar bagi AS. Namun bagi warga Gaza, yang paling penting adalah memastikan kesepakatan benar-benar dijalankan.
Di Paris, negara-negara Arab dan Barat sudah membahas pembentukan pasukan penjaga perdamaian dan bantuan rekonstruksi. Fase kedua perjanjian akan mencakup penarikan penuh pasukan Israel, perlucutan senjata Hamas, dan pembentukan pemerintahan baru.
Yahya Sarraj, Wali Kota Gaza City, menyebut kabar ini sebagai “napas pertama setelah dua tahun penderitaan.” Ia berharap bantuan segera datang agar warga bisa membangun kembali kehidupan mereka.

Namun situasi di lapangan masih rapuh. Serangan udara masih terdengar di beberapa bagian Gaza City bahkan setelah pengumuman gencatan senjata. Pemerintah Hamas meminta warga menunda kembali ke wilayah utara karena area itu masih berbahaya.
Gaza dan Harapan yang Tersisa
Dua tahun perang meninggalkan kehancuran yang luar biasa: lebih dari dua juta orang mengungsi, kota-kota hancur total, dan generasi muda kehilangan masa depan. Namun di tengah reruntuhan, masih ada harapan.
“Kami ingin memperbaiki hidup kami, membangun kembali Gaza, dan mendidik anak-anak agar mereka tidak hidup dalam ketakutan lagi,” kata Nabeel Awad-Allah. “Semoga ini benar-benar akhir dari perang, bukan jeda sebelum neraka berikutnya.”
Di tengah kesedihan dan kelelahan, Gaza malam itu memilih untuk bersorak, menari, dan menangis bersama. Bagi mereka, kedamaian bukan sekadar kata. Itu adalah napas, setelah dua tahun hidup di bawah bayang-bayang maut.















