Harian Masyarakat | Tragedi Kanjuruhan terjadi setelah laga Liga 1 Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022. Pertandingan yang berakhir dengan skor 2-3 untuk Persebaya itu memicu kemarahan suporter tuan rumah. Ribuan Aremania turun ke lapangan. Aparat keamanan merespons dengan tembakan gas air mata ke arah tribun dan lapangan.
Dalam waktu singkat, kepanikan meluas. Penonton berdesakan menuju pintu keluar di Tribun Selatan, khususnya Gate 10, 11, 12, dan 13. Sebagian besar pintu terkunci. Hanya Gate 14 yang terbuka. Penumpukan tak terhindarkan, banyak penonton terinjak-injak dan kehabisan napas.
Catatan resmi menyebutkan 135 orang meninggal, 96 luka berat, dan 484 luka ringan. Mayoritas korban adalah anak muda, termasuk perempuan dan anak-anak. Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bencana stadion paling mematikan di dunia setelah Tragedi Estadio Nacional, Peru.
Investigasi dan Fakta Lapangan

Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Mahfud MD menyatakan bahwa penyebab utama jatuhnya korban adalah penggunaan gas air mata yang melanggar aturan FIFA, ditambah standar keamanan stadion yang buruk.
The Washington Post mencatat polisi menembakkan sedikitnya 40 peluru gas air mata dalam 10 menit. TGIPF menemukan enam jenis senjata gas air mata yang digunakan, termasuk yang sudah kedaluwarsa.
Sementara laporan polisi menyebut hanya 11 tembakan yang dilepaskan malam itu. Perbedaan data ini menambah kontroversi dan kecurigaan publik.
Proses Hukum dan Vonis Ringan
Enam orang ditetapkan sebagai tersangka pada Oktober 2022. Mereka terdiri dari penyelenggara pertandingan dan aparat kepolisian:
- Akhmad Hadian Lukita (Dirut PT Liga Indonesia Baru)
- Abdul Haris (Ketua Panpel Arema FC)
- Suko Sutrisno (Security Officer Arema FC)
- Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres Malang)
- AKP Hasdarmawan (Danki Brimob Polda Jatim)
- AKP Bambang Sidik Achmad (Kasat Samapta Polres Malang)
Namun proses hukum dinilai tidak adil. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Abdul Haris divonis 1 tahun 6 bulan, Suko 1 tahun, Hasdarmawan 1 tahun 6 bulan. Sementara Wahyu dan Bambang dibebaskan.
Dalam kasasi di Mahkamah Agung, hukuman berubah. Wahyu dijatuhi 2 tahun 6 bulan, Bambang 2 tahun, Abdul Haris 2 tahun. Sementara A Hadian Lukita yang sudah berstatus tersangka hingga kini belum diadili.
Restitusi kepada keluarga korban juga jauh dari harapan. Dari tuntutan Rp17,2 miliar, nilai restitusi yang diberikan turun drastis menjadi hanya Rp670 juta untuk 72 keluarga. Rata-rata Rp10 juta bagi korban meninggal dan Rp5 juta bagi korban luka.

Tuntutan Keadilan dari Keluarga Korban
Hingga tiga tahun berlalu, keluarga korban menilai keadilan belum terwujud. Beberapa keluarga mendatangi Bareskrim Polri dan Komnas HAM untuk menuntut proses hukum yang lebih adil.
Rizal Putra Pratama, salah satu keluarga korban yang kehilangan ayah dan dua adiknya, menyebut bahwa hanya petugas level bawah yang dihukum. Pihak yang memiliki kendali strategis seperti PSSI, PT LIB, dan pejabat kepolisian tingkat atas belum tersentuh hukum.
“Seolah nyawa korban tidak dihargai. Kalau masalah ini tidak selesai, tragedi serupa bisa terulang lagi,” ujar Rizal.
LBH Surabaya Pos Malang dan KontraS mendampingi keluarga korban menuntut agar kasus ini diakui sebagai pelanggaran HAM berat.
Janji Reformasi Sepak Bola
Tragedi Kanjuruhan memicu desakan reformasi sepak bola Indonesia. TGIPF merekomendasikan:
- PSSI bertanggung jawab secara moral dan hukum
- Restrukturisasi kepengurusan PSSI lewat Kongres Luar Biasa
- Perbaikan standar keamanan stadion
- Revisi aturan statuta dan manajemen pertandingan
Namun pelaksanaannya tidak sepenuhnya berjalan. PSSI hanya melaksanakan KLB setelah ada desakan klub anggota. Audit stadion memang dilakukan, dan pada 2023 kepengurusan PSSI berganti dengan Erick Thohir sebagai ketua.
Meski demikian, publik menilai reformasi masih setengah hati. Tragedi Kanjuruhan menjadi alarm bahwa perubahan sistem sepak bola Indonesia mendesak untuk dilaksanakan.
Doa Bersama dan Memori Kolektif
Setiap 1 Oktober, doa bersama digelar di Malang dan berbagai daerah. Tahun ini, kegiatan dipusatkan di halaman Stadion Kanjuruhan dan kantor Arema FC.
Arema FC menggelar doa dan khataman Al Quran. General Manager Arema FC Yusrinal Fitriandi menyebut tragedi ini sebagai duka abadi. “Mengenang saja tidak cukup. Tragedi Kanjuruhan harus jadi titik balik untuk membangun masa depan sepak bola yang lebih manusiawi,” ujarnya.
Tragedi Kanjuruhan kini menjadi simbol duka sekaligus pengingat bahwa nyawa manusia lebih berharga daripada kemenangan pertandingan. Tragedi ini juga mempersatukan suporter. Rivalitas lama mereda. Jakmania dan Bonek berbagi tribun, suporter di Yogyakarta saling bergandengan tangan.
Kanjuruhan Belum Usai
Tiga tahun berlalu sejak tragedi Kanjuruhan, luka keluarga korban belum sembuh. Suara mereka terus menuntut keadilan.
Tragedi Kanjuruhan adalah pelajaran pahit tentang kelalaian, keserakahan, dan lemahnya sistem pengamanan sepak bola Indonesia. Namun tragedi ini juga menjadi pengingat bahwa perubahan tidak bisa ditunda.
Setiap nyawa yang hilang di Stadion Kanjuruhan adalah panggilan agar keadilan ditegakkan. Karena tragedi ini bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan tanggung jawab bersama agar sejarah kelam tidak pernah terulang.