Harian Masyarakat | Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi berdiri pada 24 Oktober 1945, hanya dua bulan setelah Perang Dunia II berakhir. Saat itu, dunia hancur oleh perang global dan tragedi Holocaust. Para pendiri PBB berjanji untuk menciptakan tatanan baru yang menjaga perdamaian, menjunjung hak asasi manusia, dan mendorong kerja sama internasional.
Awalnya hanya terdiri dari 51 negara, kini Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki 193 anggota. Visi yang dibangun pun meluas, dari menjaga perdamaian hingga merancang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun di usia 80 tahun, lembaga ini justru menghadapi pertanyaan besar: masihkah PBB relevan di dunia yang penuh krisis dan ketidakpastian?

Peringatan 80 Tahun: Suara Kritik dan Kekecewaan
Peringatan delapan dekade Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada 22 September 2025 bukan dirayakan dengan gegap gempita, melainkan penuh refleksi. Presiden Majelis Umum PBB, Annalena Baerbock, menegaskan bahwa momen ini bukan perayaan, tetapi pengingat bahwa perdamaian dunia hanya bisa dicapai melalui kerja keras.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres juga mengingatkan bahwa prinsip-prinsip PBB kini berada dalam tekanan terberat sejak lembaga ini lahir. “Warga sipil menjadi target, hukum internasional diinjak-injak, kemiskinan dan kelaparan meningkat, sementara krisis iklim semakin parah,” ujarnya.
From eradicating smallpox to healing the ozone layer to preventing a third world war, the @UN has led the way to some of humanity’s greatest triumphs.
As we turn 80, the only way forward is together.
Let us realize the promise of peace.#UN80 pic.twitter.com/mTubmpTvOu
— António Guterres (@antonioguterres) September 22, 2025
Maria Ressa, jurnalis dan penerima Nobel Perdamaian, menyoroti impunitas sebagai musuh utama dunia saat ini. Ia menekankan bahwa disinformasi dan manipulasi algoritma digital telah melemahkan kebenaran, membuat wartawan menjadi sasaran kekerasan. Ressa mengingatkan, “Tanpa fakta, tidak ada kebenaran. Tanpa kebenaran, tidak ada saling percaya.”
Kegagalan di Tengah Konflik Global
Alih-alih memperkuat perdamaian, Perserikatan Bangsa-Bangsa kini dianggap mandek dalam menghadapi konflik besar seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina. Dewan Keamanan PBB kerap buntu karena hak veto negara-negara besar. Padahal, data PBB mencatat ada 120 konflik yang sedang berlangsung di dunia.
Perang di Gaza memperlihatkan lemahnya respon Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak Oktober 2023, sedikitnya 240 jurnalis tewas di Palestina, jumlah yang bahkan melampaui korban jurnalis di Perang Dunia II. Meski dua pertiga anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mengakui Palestina sebagai negara, kebuntuan di Dewan Keamanan membuat penyelesaian konflik jalan di tempat.
Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa PBB kini lebih banyak menjadi arena pidato daripada wadah efektif penyelesaian masalah.
Krisis Finansial dan Politik
Selain kebuntuan politik, PBB juga menghadapi krisis keuangan. Kontribusi negara anggota menurun drastis, hanya 75 dari 193 negara yang membayar iuran penuh untuk anggaran 2025. Akibatnya, program kemanusiaan terancam berhenti, termasuk bantuan HIV/AIDS di Tajikistan, perlindungan perempuan di Sudan, hingga pendidikan di Afghanistan.
Dominasi politik Amerika Serikat juga menjadi masalah. Selama pemerintahan Donald Trump, pendanaan PBB dipangkas, AS keluar dari WHO dan UNESCO, bahkan menolak SDGs. Menurut pakar Fordham University, Anjali Dayal, sikap AS berubah dari penopang utama menjadi sumber ketidakstabilan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara itu, Tiongkok justru memanfaatkan kekosongan pengaruh tanpa harus menutup defisit dana.

UN80 Initiative: Upaya Relevansi di Era Baru
Untuk menjawab kritik, Guterres meluncurkan UN80 Initiative, program reformasi yang bertujuan “meremajakan” organisasi. Ada tiga jalur utama:
- Efisiensi internal dengan memangkas birokrasi dan memindahkan fungsi ke lokasi lebih murah.
- Revisi mandat dengan menghapus tugas-tugas yang sudah usang.
- Perubahan struktural yang menyederhanakan program agar lebih berdampak.
Guy Ryder, Ketua Gugus Tugas UN80, menegaskan bahwa inisiatif ini bukan sekadar pemotongan biaya, melainkan perbaikan agar intervensi PBB lebih efektif dan tepat sasaran.
PBB: Harapan atau Sekadar Simbol?
Meski banyak kritik, sejumlah pakar menilai PBB tetap memiliki nilai unik. Georges Abi-Saab, pakar hukum internasional, menyebut Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai satu-satunya forum universal yang mewakili kehendak kolektif dunia. Menurutnya, meskipun Dewan Keamanan kerap buntu, Majelis Umum masih bisa bertindak, misalnya melalui Uniting for Peace Resolution.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga terbukti berkontribusi dalam bidang lain di luar perdamaian, seperti penghapusan cacar melalui WHO, perlindungan anak oleh UNICEF, hingga kesepakatan global tentang perdagangan perikanan berkelanjutan.

Dunia di Persimpangan
Tema Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun ini adalah “Better together: 80 years and more for peace, development and human rights”. Namun di balik slogan itu, banyak diplomat menyebut PBB tengah menghadapi “krisis relevansi”.
Dengan meningkatnya nasionalisme, krisis iklim, konflik berdarah, dan disinformasi global, PBB ditantang untuk membuktikan bahwa multilateralism masih bisa menjadi solusi. Tanpa reformasi serius, lembaga ini dikhawatirkan akan bernasib sama seperti pendahulunya, Liga Bangsa-Bangsa, yang bubar setelah 26 tahun.
Antara Kritik dan Harapan
Delapan dekade setelah berdiri, PBB menghadapi ujian eksistensial. Di satu sisi, lembaga ini dituding gagal menghentikan perang dan krisis kemanusiaan. Di sisi lain, ia tetap menjadi simbol harapan terakhir dunia untuk dialog, hukum internasional, dan kerja sama global.
Seperti kata Guterres, “Dunia multipolar membutuhkan pendekatan multilateral. Hanya dengan bersama-sama kita bisa maju.” Pertanyaannya: apakah PBB mampu memperbarui dirinya dan kembali relevan, atau perlahan tenggelam menjadi simbol tanpa daya?