Harian Masyarakat | Pada usia ke-80 tahun, Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak lagi menilai kekuatannya dari seberapa banyak atau hebatnya senjata yang dimiliki, tetapi dari seberapa cerdas sistem yang mengendalikannya. Di balik pameran alat utama sistem senjata (alutsista) pada HUT ke-80 TNI, sesungguhnya sedang berlangsung evolusi besar dalam jantung pertahanan nasional: pergeseran dari sekadar menambah jumlah alutsista menjadi membangun “otak” sistem pertahanan yang terintegrasi.
Transformasi ini menandai berakhirnya era Minimum Essential Force (MEF) dan dimulainya babak baru bernama Perisai Trisula Nusantara, sebuah kerangka strategis baru yang menjadi arah pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia.
Brigadir Jenderal Frega Wenas Inkiriwang, Kepala Biro Informasi Pertahanan Kementerian Pertahanan, menyebut perubahan ini sebagai pergeseran dari pendekatan platform-centric menuju capability-based.
“Dulu kita berpikirnya adalah platform-centric, basisnya platform. Oh, AD butuh sekian tank, AL butuh sekian kapal. Sekarang kita mengubah itu menjadi capability-based. Fokusnya bukan lagi pada penambahan kuantitas, tapi pada efek gentar dan sinergi dari kekuatan gabungan,” kata Frega.

Perisai Trisula Nusantara: Otak Baru Pertahanan
Konsep inti dari Perisai Trisula Nusantara adalah interoperabilitas, yaitu kemampuan berbagai sistem senjata dari tiga matra (AD, AL, AU) bahkan dari berbagai negara produsen untuk saling berkomunikasi dan bekerja sebagai satu kesatuan organik.
Interoperabilitas membuat radar kapal perang TNI AL, misalnya, bisa membantu pengawasan wilayah udara yang menjadi tanggung jawab TNI AU. Dengan demikian, operasi pertahanan bisa berlangsung secara terkoordinasi dan efisien.
Contoh nyatanya, pilot jet tempur di atas Selat Malaka kini bisa menerima data target dari radar KRI yang berada ratusan kilometer jauhnya. Inilah bentuk nyata dari network-centric warfare yang sedang dibangun TNI.
Mitigasi Risiko dan Kemandirian
Diversifikasi alutsista dari berbagai negara bukan tanpa alasan. Indonesia pernah mengalami embargo militer dari negara Barat antara 1991 hingga 2005, yang membuat sebagian kekuatan tempur lumpuh total.
“Ketika kita sangat tergantung pada satu negara pemasok lalu ada embargo, kekuatan kita bisa lumpuh total. Ini adalah trauma sejarah,” ujar Frega.
Dari pengalaman itu, Indonesia memilih diversifikasi sebagai strategi mitigasi risiko. Namun, keberagaman sistem juga menuntut kemampuan teknis tinggi agar semuanya bisa diintegrasikan. Tantangan ini justru menjadi pendorong bagi kemandirian industri pertahanan nasional.
TNI dan industri dalam negeri kini wajib menguasai Maintenance, Repair, dan Overhaul (MRO) untuk berbagai sistem alutsista, baik dari Barat maupun Timur. Tujuannya jelas, mengurangi ketergantungan pada teknisi asing dan membangun fondasi pertahanan jangka panjang.
Akar Kerakyatan: Modern tapi Tetap Berbasis Rakyat
Meski bergerak menuju pertahanan modern berteknologi tinggi, TNI tidak meninggalkan akar ideologisnya, yaitu Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Perisai Trisula Nusantara menjadi versi modern dari doktrin pertahanan rakyat semesta. Salah satu program nyatanya adalah pembentukan 100 batalyon teritorial baru hingga tingkat kabupaten/kota.
Batalyon ini tidak hanya disiapkan untuk operasi tempur, tetapi juga menjadi jembatan antara TNI dan rakyat. Setiap batalyon bahkan akan memiliki kompi produksi di bidang pertanian, perikanan, atau konstruksi. Tujuannya membantu pemerintah daerah mengatasi kesulitan rakyat dan memastikan kemandirian logistik wilayah dalam situasi darurat.

Gelombang Alutsista Baru
Modernisasi pertahanan terlihat nyata dari kedatangan berbagai alutsista canggih di tiga matra TNI.
- KRI Brawijaya-320, fregat terbesar di Asia Tenggara, resmi memperkuat armada TNI AL dan menjadi kapal pemimpin sailing pass dalam HUT ke-80 TNI. Kapal kembarannya, KRI Prabu Siliwangi-321, akan tiba awal 2026.
- Rudal balistik jarak pendek Khan ITBM-600 dari Turki telah ditempatkan di Batalyon Artileri Medan Ke-18 di Kalimantan Timur.
- Pesawat tempur Rafale buatan Prancis akan bermarkas di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Empat penerbang TNI AU sudah menuntaskan pelatihan di Prancis.
- Tambahan lain mencakup 5 pesawat C-130J Super Hercules, 8 helikopter H225M, dan 18 tank medium Harimau hasil kerja sama PT Pindad dengan Turki.
Menurut Frega, pembelian alutsista tidak bisa dilakukan secara instan. “Ketika kita bicara beli alutsista, tidak serta-merta bisa langsung dijual. Banyak pertimbangan, termasuk apakah kita negara sekutu atau mitra strategis,” ujarnya.
Transfer Teknologi dan Ekosistem Industri Pertahanan
Presiden Prabowo Subianto menekankan agar setiap pembelian alutsista dari luar negeri disertai transfer teknologi dan transfer pengetahuan. Tujuannya memperkuat industri pertahanan nasional agar tidak hanya menjadi pembeli, tetapi juga produsen.
Indonesia sudah mengirim insinyur ke Korea Selatan untuk proyek jet tempur KFX/IFX, dan ke Prancis untuk mempelajari teknologi kapal selam Scorpene yang akan diproduksi bersama Naval Group.
Menurut Frega, ruang kolaborasi kini terbuka lebar, tidak hanya bagi BUMN pertahanan seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia, tetapi juga bagi sektor swasta.
Namun, peneliti BRIN, Muhammad Haripin, menilai model bisnis industri pertahanan nasional masih belum kuat. “Jika melihat RPJMN 2025–2029, belum ada target jelas membangun alutsista canggih seperti pesawat tempur dalam lima tahun ke depan,” ujarnya.
Selain itu, produsen luar negeri juga menuntut kesiapan infrastruktur dan kemampuan fiskal sebelum melakukan transfer teknologi. Tantangan lainnya adalah transparansi pengadaan, karena praktik kedekatan personal masih sering menghambat kompetisi sehat.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Pindad, Prima Kharisma, menambahkan bahwa kesenjangan teknologi dan fasilitas dengan negara mitra harus diatasi lewat kolaborasi strategis agar industri dalam negeri bisa mengejar ketertinggalan.
Tantangan dan Kritik

Peneliti Lesperssi, Beni Sukadis, menilai Perisai Trisula Nusantara sebagai kelanjutan logis dari MEF menuju postur pertahanan yang lebih utuh dan komprehensif. Namun, ia mengkritik kurangnya transparansi.
“Tidak ada penjabaran konsep Perisai Trisula Nusantara secara lengkap yang bisa diakses publik, sehingga masyarakat tidak bisa melihat secara utuh arah pembangunan kekuatan jangka menengah dan panjang,” katanya.
Beni menilai perlu ada aturan pelaksanaan konkret agar arah kebijakan pertahanan dapat diawasi publik.
Menuju Kemandirian dan Kekuatan Cerdas
Delapan dekade perjalanan TNI bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan tonggak perubahan mendalam. Kekuatan TNI kini bertumpu pada tiga fondasi utama:
- Integrasi sistem dan interoperabilitas trimatra.
- Kemandirian industri pertahanan dan penguasaan teknologi.
- Penguatan akar kerakyatan melalui pertahanan semesta.
Transformasi ini menandai kedewasaan strategis TNI. Dari modernisasi alutsista hingga pembangunan sistem pertahanan cerdas berbasis kemampuan nasional, TNI kini melangkah menuju masa depan yang lebih mandiri, efisien, dan tangguh.
Dengan Perisai Trisula Nusantara sebagai otak pertahanan baru, TNI tidak hanya menjadi penjaga kedaulatan, tetapi juga simbol kemajuan bangsa di era geopolitik yang kian dinamis.















