spot_img

80 Tahun TNI: Reformasi Mandek, Kekerasan Jalan Terus, Impunitas Dibiarkan

Harian Masyarakat | Menjelang usia ke-80, Tentara Nasional Indonesia (TNI) diharapkan tampil lebih profesional dan fokus pada pertahanan negara. Namun, berbagai catatan menunjukkan sebaliknya. Sepanjang Oktober 2024 hingga September 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 85 kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI.

Bentuk pelanggaran itu beragam: 35 penganiayaan, 13 penyiksaan, 19 intimidasi, dan 11 penembakan. Dari seluruh wilayah Indonesia, Papua menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, mencatat 23 peristiwa dan 67 korban.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, menilai Papua masih menjadi “wilayah operasi” militer di bawah alasan pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam. Selama setahun terakhir, sedikitnya 5.859 personel TNI dikirim ke Papua, baik untuk menjaga perbatasan dengan Papua Nugini maupun mendukung proyek infrastruktur dan pangan nasional.

HUT TNI 80 Tentara Nasional Indonesia
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra

KontraS mendesak Panglima TNI untuk menindak tegas pelanggaran dan menjamin prajurit yang bersalah menerima sanksi disiplin dan etik sesuai pelanggaran hak asasi manusia.

Reformasi TNI Dinilai Mundur

Dalam momentum HUT ke-80 Tentara Nasional Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa semangat reformasi militer sejak 1998 semakin memudar.

Peneliti Imparsial, Annisa Yudha, menyebut TNI masih belum sepenuhnya tunduk pada supremasi sipil dan belum terbebas dari kekerasan terhadap warga. Ia menyoroti keterlibatan TNI dalam urusan sipil dan berulangnya kekerasan terhadap warga.

Beberapa kasus yang mencuat sepanjang 2025 memperkuat penilaian itu:

  • Penembakan warga di Aceh dan polisi di Lampung (Maret 2025)
  • Pembunuhan oleh prajurit di Banjarbaru (Maret 2025)
  • Kasus pembunuhan Kepala Cabang BRI (Agustus 2025)
  • Kekerasan terhadap prajurit sendiri di Nusa Tenggara Timur

Menurut Annisa, pola berulang ini menunjukkan bahwa kekerasan di tubuh TNI bukan sekadar perilaku oknum, tetapi masalah struktural dan kultural yang belum dibenahi.

Impunitas dalam Peradilan Militer

HUT TNI 80 Tentara Nasional Indonesia

Masalah lain yang disoroti adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas peradilan militer. Masyarakat sipil kerap menemui jalan buntu ketika mencari keadilan atas tindakan kekerasan oleh prajurit.

Annisa menilai sistem peradilan militer menimbulkan ruang impunitas karena sidang dilakukan tertutup dan didominasi oleh unsur militer. Akibatnya, prinsip “fair trial” atau peradilan yang adil tidak terpenuhi.

Padahal, TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI sudah jelas menyebut bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.

“Selama hakim, jaksa, dan terdakwa berasal dari institusi yang sama, keadilan sulit tercapai. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi,” kata Annisa.

TNI dan Keterlibatan di Ranah Sipil

Koalisi masyarakat sipil juga menyoroti penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil serta meluasnya peran TNI dalam berbagai urusan nonpertahanan. Salah satu sumber kekhawatiran adalah ketentuan dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang memungkinkan keterlibatan militer dalam urusan sipil.

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang disahkan pada awal 2025 memperluas ruang tersebut. Bahkan, rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) memberi kewenangan kepada TNI untuk menangani tindak pidana di bidang siber.

Menurut Annisa, langkah itu bertentangan dengan konstitusi dan mengancam kebebasan sipil. “Ini indikasi militerisasi ruang siber yang sistematis,” ujarnya.

Ketua Centra Initiative, Al Araf, juga menilai keterlibatan militer dalam dunia siber sangat berisiko bagi demokrasi. Ia mendesak DPR untuk berhati-hati membahas RUU KKS dan melibatkan publik agar supremasi sipil tetap terjaga.

Fokus yang Salah Arah

HUT TNI 80 Tentara Nasional Indonesia
Ketua Centra Initiative, Al Araf

Al Araf menilai TNI saat ini lebih berorientasi ke dalam negeri (inward looking) ketimbang fokus pada ancaman eksternal. Padahal, kondisi geopolitik dunia menunjukkan ancaman regional dan global yang semakin kompleks.

Ia menyebut, pembangunan kekuatan militer Indonesia masih terlalu berpusat pada kekuatan darat, seperti penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) dan Komando Cadangan, yang justru menyerap anggaran besar tanpa meningkatkan kemampuan pertahanan eksternal.

“Perspektif ancaman kita masih inward looking. Padahal, militer yang profesional seharusnya outward looking, fokus ke ancaman luar, bukan sibuk di dalam negeri,” kata Al Araf.

TNI di Persimpangan Jalan

Usia 80 tahun seharusnya menjadi momentum bagi TNI untuk menegaskan kembali arah reformasi yang sempat terhenti. Profesionalitas militer tidak diukur dari banyaknya pasukan atau operasi, tetapi dari kepatuhan terhadap hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kemampuan menghadapi ancaman eksternal secara modern.

Tanpa pembenahan serius atas praktik kekerasan, keterlibatan dalam urusan sipil, dan sistem peradilan yang tertutup, TNI akan sulit keluar dari bayang-bayang masa lalu.

Reformasi Tentara Nasional Indonesia tidak cukup dengan semboyan atau seragam baru. Yang dibutuhkan adalah keberanian institusi untuk berubah, membuka diri terhadap pengawasan publik, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu di dalam tubuhnya sendiri.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news