Harian Masyarakat | Pemerintah Amerika Serikat berada di ambang shutdown total setelah Kongres gagal mencapai kesepakatan pendanaan menjelang dimulainya tahun fiskal baru pada 1 Oktober. Jika tidak ada kompromi hingga tengah malam, layanan pemerintah akan berhenti, ratusan ribu pegawai federal tidak digaji, bahkan sebagian berpotensi dipecat permanen.
Mengapa Terjadi Ancaman Shutdown?
Masalah utama terletak pada kebuntuan politik antara Partai Republik dan Partai Demokrat.
- Republik, yang menguasai DPR dan Senat, mengajukan rancangan pendanaan jangka pendek hingga 21 November.
- Demokrat menolak karena menuntut pencabutan pemotongan dana Medicaid yang dilakukan melalui undang-undang pajak Trump pada Juli, serta perpanjangan kredit pajak untuk subsidi asuransi kesehatan dalam skema Obamacare.
- Republik menolak tuntutan ini dan menegaskan rancangan mereka sudah “bersih” dan harus disetujui tanpa syarat.
Akibatnya, baik rancangan versi Republik maupun alternatif Demokrat gagal mendapatkan 60 suara di Senat. Mayoritas pemimpin Senat dari Republik, John Thune, menuding Demokrat sengaja memicu krisis. Sebaliknya, pemimpin Demokrat Chuck Schumer menyebut Republik “mendorong Amerika menuju shutdown dengan mempertaruhkan layanan kesehatan rakyat”.

Dampak Langsung Shutdown
Jika pendanaan tidak disahkan:
- Sekitar 750.000 hingga 900.000 pekerja federal diperkirakan akan dirumahkan atau dipecat permanen.
- Pegawai yang dianggap “esensial” seperti militer, pengendali lalu lintas udara, FBI, CIA, serta layanan darurat tetap bekerja, tetapi tanpa gaji sampai pemerintah kembali berjalan.
- Laporan ekonomi vital seperti data pengangguran mingguan dan laporan ketenagakerjaan bulanan kemungkinan ditunda. Hal ini membuat Federal Reserve kekurangan data penting untuk mengambil keputusan suku bunga.
- Layanan publik seperti taman nasional, museum Smithsonian, sidang imigrasi, hingga inspeksi keamanan pangan bisa tertunda atau berhenti.
- Program jaminan sosial, Medicare, dan layanan pos tetap berjalan karena dibiayai secara mandatori atau tidak bergantung pada anggaran tahunan.
Profesor ekonomi Michael Klein dari Tufts University memperingatkan bahwa pegawai yang tidak digaji akan menunda belanja besar. “Konsumen akan mengurangi pengeluaran karena khawatir dengan masa depan,” katanya.
Ancaman PHK Massal
Berbeda dengan shutdown sebelumnya, kali ini Gedung Putih melalui Office of Management and Budget (OMB) menginstruksikan lembaga federal menyiapkan rencana pemutusan hubungan kerja permanen (Reduction in Force/RIF).
- Biasanya, pegawai hanya “furlough” dan menerima gaji tertunggak setelah pemerintah buka kembali.
- Kali ini, pekerja berisiko kehilangan pekerjaan selamanya.
- Langkah ini dikecam serikat pekerja dan Demokrat. Pemimpin DPR dari Demokrat, Hakeem Jeffries, menegaskan: “Kami tidak akan diintimidasi oleh ancaman pemecatan massal.”
Trump dan Politik Shutdown
Presiden Donald Trump mengambil sikap keras. Ia menyatakan, “Ketika shutdown terjadi, kami akan melakukan pemutusan kerja besar-besaran, dan mereka akan dari pihak Demokrat.”
Trump juga memicu kontroversi dengan menyebarkan video AI palsu yang mengejek Schumer dan Jeffries. Video ini dikecam sebagai rasis dan tidak pantas oleh Demokrat.
Trump menolak tuntutan kompromi, menyebut permintaan Demokrat “tidak serius”. Ia bahkan menyatakan tidak tahu bagaimana masalah ini bisa diselesaikan. Wakil Presiden JD Vance menuding Demokrat sebagai pihak yang mendorong shutdown.
Tekanan Politik dan Opini Publik
- Sebagian senator Demokrat, seperti John Fetterman, Catherine Cortez Masto, dan Angus King, memilih mendukung rancangan Republik untuk menghindari shutdown. Namun mayoritas tetap menolak tanpa jaminan perluasan subsidi kesehatan.
- Survei publik menunjukkan pandangan terbelah. Polling New York Times/Siena mencatat hanya 27% responden mendukung langkah Demokrat untuk shutdown, sementara 65% menolak.
- Survei Marist menunjukkan 38% pemilih akan menyalahkan Republik jika shutdown terjadi, 27% menyalahkan Demokrat, dan 31% menuding keduanya sama-sama bersalah.
Dampak Ekonomi Lebih Luas
Pasar keuangan cenderung mengabaikan shutdown singkat. Namun kali ini risikonya lebih besar karena:
- Ancaman PHK permanen menambah ketidakpastian.
- Kondisi ekonomi AS sedang rapuh, dengan pertumbuhan lapangan kerja melemah hanya 22.000 pada Agustus.
- Tekanan inflasi akibat tarif impor masih tinggi.
- Data ekonomi penting bisa tertunda, membuat investor kesulitan menilai arah kebijakan moneter.
Daniel Hornung, peneliti dari Stanford Institute, menyebut situasi ini unik. “Berbeda dengan shutdown 2013 atau 2018 ketika ekonomi lebih stabil, kali ini pasar tenaga kerja sudah lemah. Pertanyaannya, seberapa lama ekonomi bisa bertahan,” ujarnya.
Shutdown Sebagai Senjata Politik
Sejak era 1970-an, shutdown sering menjadi alat tawar politik.
- Tahun 2018, Trump menutup pemerintah selama 35 hari demi dana tembok perbatasan, terlama dalam sejarah.
- Tahun 2013, shutdown berlangsung 16 hari karena Republik menolak Obamacare di era Obama.
- Pada masa Reagan dan Clinton, shutdown juga berulang kali terjadi.
Namun, kali ini taruhannya lebih berat karena kombinasi kebijakan pemangkasan pegawai, krisis kesehatan, dan tekanan fiskal akibat utang yang tinggi.
Shutdown pemerintah AS bukan sekadar perselisihan anggaran. Ini pertarungan politik yang menyandera pekerja federal, layanan publik, dan ekonomi. Dengan ancaman PHK massal permanen, risiko ekonomi yang sudah rapuh bisa makin parah. Semua bergantung pada sejauh mana kedua kubu bersedia kompromi atau justru terus menjadikan rakyat sebagai korban permainan politik.