Harian Masyarakat | Singapura tengah mengalami lonjakan minat operasi plastik, khususnya di kalangan warga berusia di bawah 30 tahun. Berdasarkan laporan para ahli bedah plastik, permintaan prosedur estetika meningkat sekitar 30% dalam setahun terakhir. Dahulu, mayoritas pasien berusia di atas 40 tahun untuk mengurangi tanda penuaan. Kini, semakin banyak anak muda datang untuk konsultasi dan menjalani operasi seperti operasi kelopak mata, pembentukan hidung (rhinoplasty), hingga body contouring.
Faktor pendorong utama tren ini adalah media sosial. Konten yang menampilkan pengalaman operasi plastik, baik dari influencer maupun publik figur, telah mengubah persepsi publik. Prosedur yang dulu dianggap tabu kini menjadi hal yang dianggap wajar, bahkan diglamorisasi.
Kasus Nyata: Operasi Gagal Tinggalkan Luka Permanen
Salah satu kisah yang mengundang perhatian adalah pengalaman Georgina Poh, 31 tahun. Lima tahun lalu, ia menjalani prosedur di klinik estetika ternama untuk memperbaiki bentuk senyumnya. Proses pemulihan jauh lebih sulit dari perkiraan. Wajahnya bengkak parah, penuh memar, dan ia tidak bisa membuka mulut selama berminggu-minggu.
Hingga kini, bekas luka masih terlihat. Poh tidak dapat menempuh jalur hukum karena sebelumnya telah menandatangani surat pernyataan pelepasan tanggung jawab. Kasus seperti ini, menurut pengacara dan dokter setempat, bukanlah hal langka. Banyak pasien mengalami kegagalan operasi, namun sebagian besar tidak dilaporkan ke pengadilan. Sebagian besar diselesaikan secara pribadi antara pasien dan pihak klinik.
Lonjakan Kasus Praktik Ilegal
Kementerian Kesehatan Singapura mencatat sekitar 90 kasus pelanggaran antara 2022 hingga 2024 yang melibatkan individu tidak berwenang melakukan praktik medis atau kedokteran gigi. Angka ini meningkat 50% dibanding dua tahun sebelumnya.
Praktik ilegal ini sering dilakukan di lokasi non-medis seperti rumah, toko, atau kamar hotel. Beberapa ahli bedah plastik melaporkan bahwa satu dari sepuluh kasus kegagalan berasal dari prosedur yang dilakukan di luar negeri atau oleh tenaga tanpa izin resmi.
Tantangan Hukum dan Pentingnya Memilih Dokter Berizin
Managing Director Advox Law, R Shankar, menjelaskan sulitnya membuktikan kelalaian dokter dalam kasus operasi plastik. Dibutuhkan pemeriksaan catatan medis oleh ahli, bahkan sering kali dari luar negeri, untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran. Ia mengingatkan bahwa tidak semua perawatan berjalan mulus, dan beberapa berakhir dengan konsekuensi serius seperti kebutaan.
Pengacara Jacqueline Chua menambahkan bahwa kelalaian medis bisa terjadi pada tahap diagnosis, pemberian nasihat, atau saat mengambil persetujuan pasien. Di klinik estetika, pelanggaran bisa berupa penyerahan prosedur kepada pihak yang tidak terlatih atau pemberian perawatan yang tidak sesuai panduan resmi.
Pemerintah Singapura telah menambah aturan ketat, termasuk panduan medis dan persyaratan lisensi tambahan untuk prosedur invasif, guna menekan risiko bagi pasien.
Tekanan Tren Media Sosial terhadap Dokter
Dokter estetika di Singapura mengakui adanya tekanan untuk mengikuti tren prosedur baru yang populer di media sosial. Hal ini mendorong beberapa klinik mengadopsi teknologi baru sebelum risiko dan hasil jangka panjangnya benar-benar diketahui.
Dermatologis Evelyn Tay, pendiri Lumine Dermatology & Laser Clinic, menyarankan klinik agar menunggu umpan balik pasar sebelum meluncurkan perawatan baru. Ia menekankan pentingnya pengalaman dan evaluasi sebelum menerapkan metode yang sedang tren.
Risiko Kecanduan Operasi Plastik
Pakar medis mengingatkan risiko kecanduan operasi plastik, khususnya di kalangan generasi muda. Saat ini, tidak ada panduan resmi untuk mengidentifikasi kecanduan, sehingga dokter mengandalkan riwayat medis dan motivasi pasien.
Beberapa pasien ditolak prosedurnya ketika ditemukan kondisi psikologis yang membuat mereka terobsesi pada kekurangan penampilan yang sebenarnya kecil. Menurut Dr Janna Joethy dari Nassim Plastic Surgery, edukasi yang tepat sejak awal menjadi kunci pencegahan.
Panduan Singapore Medical Council juga menekankan bahwa dokter harus memastikan pasien bebas dari masalah kesehatan mental yang berkaitan dengan citra tubuh sebelum menjalani prosedur. Dokter dilarang mengeksploitasi kerentanan pasien dan harus memberikan informasi objektif serta realistis tentang hasil yang dapat dicapai.
Pengalaman dan Penyesalan Influencer
DJ dan influencer Singapura, Jade Rasif, memulai operasi plastik pertamanya pada usia 19 tahun dengan pembesaran payudara di Thailand. Ia mengaku puas dengan sebagian besar prosedur yang dijalani, tetapi menyesal mengubah bentuk hidungnya yang dulu menjadi ciri khas etnis keluarganya.

Rasif mengingatkan agar operasi plastik tidak dianggap sebagai solusi instan untuk masalah citra tubuh. Menurutnya, keputusan menjalani operasi harus dipikirkan matang-matang, termasuk mempertimbangkan perasaan di masa depan.
Edukasi dan Kehati-hatian adalah Kunci
Fenomena operasi plastik di Singapura mencerminkan tren global yang didorong media sosial, tuntutan penampilan, dan kemudahan akses layanan. Namun, di balik peningkatan popularitasnya, risiko kegagalan, praktik ilegal, hingga kecanduan menjadi ancaman nyata.
Para ahli menegaskan bahwa langkah paling aman bagi pasien adalah melakukan riset menyeluruh, memilih dokter berizin resmi, serta mempertimbangkan aspek psikologis dan kesehatan jangka panjang sebelum memutuskan menjalani prosedur estetika.