spot_img

Anggaran Daerah Dipotong, Masih Dipaksa Biayai MBG

Harian Masyarakat | Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa daerah diminta mengalokasikan sebagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2026 untuk mendukung program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, banyak pemerintah daerah menilai kebijakan ini tidak realistis di tengah pemangkasan besar-besaran dana transfer ke daerah.

Dukungan atau Kewajiban?

Permintaan dukungan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2026 yang diteken Mendagri Tito Karnavian pada 17 September 2025. Dalam beleid tersebut, pemda diminta mengalokasikan dukungan anggaran dari APBD pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, sesuai kemampuan keuangan daerah.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan menjelaskan, pendanaan utama program MBG tetap berasal dari APBN melalui Badan Gizi Nasional (BGN). APBD hanya digunakan untuk kegiatan pendukung seperti rapat koordinasi, pertemuan teknis, kegiatan administratif, dan operasional daerah.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan

“Tidak ada ketentuan wajib atau nominal tertentu. Dukungan itu disesuaikan dengan kemampuan fiskal daerah,” kata Benni, Jumat (17/10/2025). Ia menegaskan, dana APBD tidak digunakan untuk membiayai makanan bergizi itu sendiri, melainkan aktivitas pendukung di daerah.

Namun, meski disebut “dukungan”, dalam pasal lain Permendagri itu juga tercantum kalimat bahwa daerah wajib mengalokasikan anggaran kontribusi yang bersumber dari APBD 2026 sebagai bagian dari sinergi pendanaan. Ketentuan ini menimbulkan tafsir ganda di kalangan pemda.

Direktur Eksekutif Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) Alwis Rustam mengatakan, hingga kini belum ada kejelasan mengenai bentuk dukungan yang dimaksud. “Dari permendagri itu, belum jelas untuk apa saja APBD 2026 digunakan. Wajar kalau banyak pemerintah kota belum menganggarkannya,” ujarnya.

Lahan dan Sumber Daya Lokal Juga Diminta

anggaran mbg

Selain dukungan anggaran, daerah juga diminta menyediakan lahan untuk pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 500.12/2119/SJ tanggal 22 April 2025.

Pemerintah pusat juga meminta daerah memberdayakan potensi lokal seperti petani, nelayan, dan pelaku UMKM dalam penyediaan bahan baku MBG. Dengan kata lain, daerah diharapkan ikut menggerakkan ekosistem ekonomi pangan bergizi di wilayahnya masing-masing.

Namun, banyak kepala daerah menilai permintaan itu memberatkan. Ketua Umum Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) Bursah Zarnubi menyebut kebijakan itu tidak realistis.

“Sangat berat jika harus mengalokasikan APBD untuk MBG. Setelah pemangkasan dana transfer, ruang fiskal daerah hampir habis,” kata Bursah.

Fiskal Daerah Terjepit

makan bergizi gratis mbg

Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dari Rp848 triliun pada 2025 menjadi Rp693 triliun pada 2026 membuat banyak daerah kehilangan kemampuan fiskal. Di Kabupaten Lahat, misalnya, pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) membuat belanja pegawai naik dari 30 persen menjadi 38 persen APBD, atau sekitar Rp1,1 triliun.

“Dengan kondisi seperti ini, kami sudah kesulitan membiayai program dasar. Lalu, masih diminta menanggung dukungan MBG,” keluh Bursah.

Kondisi itu juga diamini Ramlan Nugraha, Manajer Program di Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro). Ia menjelaskan, 90 persen lebih kabupaten di Indonesia memiliki kapasitas fiskal lemah dan sangat bergantung pada dana transfer pusat.

“Dari 415 kabupaten, sekitar 407 kabupaten masih lemah kapasitas fiskalnya. Ketergantungannya ke pusat bisa mencapai 80 persen,” ujarnya.

Ramlan juga menyoroti bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) tahun ini justru mengembalikan Rp70 triliun dari alokasi Rp170 triliun karena serapan anggaran rendah. “Kalau dana pusat saja tidak terserap penuh, apa urgensinya meminta dukungan dari pemda?” katanya.

Pemerintah Pusat Dinilai Tak Sensitif

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menilai kebijakan ini mencerminkan ketidakpekaan pemerintah pusat terhadap kondisi fiskal daerah.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman

“Tahun depan, pemda masih pontang-panting menutupi dampak pemangkasan dana transfer. Arahan untuk mendukung MBG menambah beban,” ujarnya.

Herman menilai, meski Kemendagri menyebut dukungan itu “sesuai kemampuan daerah”, sifatnya tetap seperti mandatory spending. “Padahal, tanpa permendagri pun, daerah pasti menganggarkan biaya koordinasi. Tapi ketika sudah ditetapkan dalam peraturan, itu berubah menjadi kewajiban,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa arahan seperti ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang dijamin konstitusi. Kebijakan yang memaksa daerah menanggung sebagian pembiayaan program nasional dianggap melanggar prinsip kemandirian fiskal.

“Pemerintah pusat sedang inkonsisten dengan visi yang tertulis dalam RPJMN 2024–2029, yang justru menargetkan penguatan fondasi keuangan daerah,” tegas Herman.

Permintaan Kejelasan dari Daerah

mbg makan bergizi gratis

Banyak pemda kini menunggu penjelasan resmi dari Kemendagri. Mereka ingin tahu apakah dukungan MBG bersifat sukarela atau wajib, serta apakah kebijakan itu hanya berlaku untuk APBD 2026 atau berlanjut hingga 2029.

Ramlan Nugraha menilai, jika dukungan MBG benar-benar sukarela, tidak akan menjadi masalah. Beberapa daerah seperti Banyuwangi dan Balikpapan sudah berinisiatif mendukung MBG lewat kegiatan lokal, misalnya pemberdayaan ibu PKK dan pengadaan bahan pangan dari petani daerah.

“Tapi kalau diwajibkan, bisa memicu resistensi. Banyak daerah sudah kelabakan untuk membayar gaji pegawai,” ujarnya.

Sementara itu, Kemendagri mengklaim sudah melakukan sosialisasi berkali-kali, baik daring maupun luring, agar tidak terjadi salah tafsir. Namun hingga kini, belum semua kepala daerah memahami teknis pelaksanaannya.

Beban Program Nasional di Tengah Krisis Daerah

anggaran mbg

Kritik utama terhadap kebijakan ini bukan pada niat mulia program MBG, melainkan cara pemerintah pusat mendistribusikan bebannya. Selain MBG, sejumlah program nasional lain seperti Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, dan pembangunan tiga juta rumah juga meminta dukungan APBD.

Kondisi ini membuat pemerintah daerah kesulitan menetapkan prioritas pembangunan sendiri. “Daerah kehilangan ruang untuk menentukan program sesuai kebutuhan masyarakatnya,” kata Herman.

Dengan fiskal yang makin tertekan, otonomi daerah perlahan kehilangan makna. Ketika pusat memotong dana, tapi tetap memerintahkan daerah membiayai sebagian program nasional, kemandirian keuangan daerah hanya tinggal slogan.

“Pemotongan TKD dan perintah dukungan APBD untuk program pusat adalah dua arah kebijakan yang saling bertentangan,” ujar Herman.

Daerah kini berada di persimpangan. Di satu sisi mereka harus patuh pada arahan pusat, di sisi lain mereka berjuang menjaga layanan publik tetap berjalan. Program makan bergizi gratis mungkin penting, tetapi bagi banyak daerah, persoalan yang paling mendesak hari ini justru jauh lebih dasar: bagaimana menjaga agar anggaran tidak kolaps.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news