spot_img

Anggaran Daerah Ditekan, Pusat Tambah Wamen, Apa Mau Prabowo?

Harian Masyarakat | Presiden Prabowo Subianto kembali merombak kabinet untuk keempat kalinya pada Rabu, 8 Oktober 2025. Dalam reshuffle kali ini, dua nama baru dilantik sebagai wakil menteri, yaitu Ahmad Wiyagus sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri dan Benjamin Paulus Octavianus sebagai Wakil Menteri Kesehatan.

Langkah ini menambah jumlah wakil menteri di dua kementerian besar. Kini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memiliki tiga wakil menteri, sedangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki dua. Dengan komposisi ini, Kemendagri menjadi kementerian dengan wakil menteri terbanyak di kabinet Prabowo.

Selain dua wamen baru, Presiden juga menunjuk Dirgayuza Setiawan sebagai Asisten Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Analisis Kebijakan serta Agung Gumilar Saputra sebagai Asisten Khusus Bidang Analisis Data Strategis. Pemerintah pun membentuk Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang dipimpin Velix Wanggai.

Namun kebijakan ini menimbulkan tanda tanya besar di publik dan kalangan pengamat. Sebab, langkah tersebut dilakukan di saat pemerintah pusat menekan anggaran daerah akibat pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 yang turun sekitar Rp155 triliun dibandingkan 2025.

Alasan Pemerintah: Wilayah Indonesia Terlalu Luas

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa tambahan satu wakil menteri di Kemendagri diperlukan karena luasnya wilayah Indonesia yang kini memiliki 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota.

“Dalam rangka pembinaan dan memastikan pembangunan di setiap daerah berjalan baik, Bapak Presiden merasa perlu memberikan tambahan kekuatan di Kementerian Dalam Negeri,” kata Prasetyo di Istana Negara.

prabowo kabinet wakil menteri reshuffle

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan beban kerja Kemendagri sangat besar. Ia menyebut kementeriannya mengurusi 38 provinsi, 98 kota, 416 kabupaten, dan lebih dari 70.000 desa. “Itu harus kita datangi satu per satu,” ujar Tito.

Ia menjelaskan, tiga wakil menteri nantinya akan dibagi tugas berdasarkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia agar koordinasi lebih efisien. “Supaya tahu persis permasalahannya. Jadi saya tinggal evaluasi,” kata Tito.

Kritik Tajam: Efisiensi Hanya Jadi Slogan

Penambahan wamen di tengah kebijakan efisiensi anggaran memicu kritik tajam dari berbagai kalangan. Peneliti BRIN, Wasisto Raharjo Jati, menilai langkah ini tidak konsisten dengan semangat efisiensi nasional.

“Idealnya, efisiensi dimulai dari pusat melalui perampingan struktur. Struktur yang ramping lebih mudah dikoordinasikan dan menekan belanja,” ujarnya.

Wasisto memperingatkan bahwa ketidaksinkronan kebijakan efisiensi antara pusat dan daerah dapat memperlemah hubungan keduanya. “Pusat menambah pejabat, sementara daerah disuruh berhemat. Ini bisa menimbulkan resistensi politik,” katanya.

Senada, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, menyebut kebijakan ini lebih bernuansa politik balas budi ketimbang peningkatan efektivitas birokrasi. “Efisiensi yang digaungkan Presiden Prabowo menjadi seperti slogan kosong,” ujarnya.

Adinda menyoroti bahwa selain menambah wamen, pemerintah juga tetap menggelontorkan dana besar untuk proyek seperti program Makan Bergizi Gratis. “Ini tidak efisien dan berisiko menambah beban fiskal,” tambahnya.

Ia menilai penambahan pejabat justru memperlebar tumpang tindih fungsi antar-kementerian. “Jika ingin efisien, Presiden harus evaluasi tugas dan fungsi menteri, bukan menambah jabatan,” tegas Adinda.

Paradoks Antara Efisiensi dan Ekspansi Birokrasi

Pengajar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, A Bakir Ihsan, menyebut langkah ini sebagai “kebijakan paradoks.” Menurutnya, pemerintah berbicara efisiensi tapi justru memperbesar struktur birokrasi.

“Implementasi efisiensi seharusnya konsisten dan berdasarkan skala prioritas. Perlu pedoman standar efisiensi yang jelas,” ujarnya. Bakir menambahkan, perlu evaluasi berkala terhadap kebijakan agar tidak hanya menjadi formalitas.

prabowo kabinet wakil menteri reshuffle

Agus Pambagio, pemerhati kebijakan publik, juga menilai penambahan wamen hanya memperbesar struktur tanpa jaminan peningkatan kinerja. “Setiap penambahan wamen akan berimbas pada kenaikan biaya operasional, fasilitas, dan tunjangan,” katanya.

Agus mengingatkan, gaji wamen yang dinilai kurang memadai sering membuat mereka diberi jabatan tambahan sebagai komisaris BUMN. Padahal, rangkap jabatan sudah dilarang. “Kalau dilarang jadi komisaris, nanti bagaimana? Bisa-bisa malah korupsi,” ujarnya.

Dimensi Politik: Akomodasi dan Patronase

Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Iman, menilai kebijakan ini sarat akomodasi politik. Ia menyebut langkah Prabowo masih dalam upaya menjaga stabilitas dan konsolidasi koalisi.

“Jargon persatuan membuat Prabowo perlu mengakomodasi banyak kekuatan politik. Konsekuensinya, kabinet jadi semakin besar,” katanya.

Namun Arif memperingatkan, kebijakan ini berisiko memperlemah kepercayaan daerah terhadap pemerintah pusat. “Pemda harus berhemat, tapi pusat menambah pejabat. Ini bisa menimbulkan resistensi politik dan memperlemah sinergi pusat-daerah,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, menilai langkah Prabowo justru bertolak belakang dengan semangat efisiensi.

“Tujuannya mempermudah, tapi dengan menambah banyak orang malah memperumit birokrasi,” kata Ray dalam program Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV.

Ia menilai alasan luasnya wilayah Indonesia tidak masuk akal. “Luas Indonesia dari Sabang sampai Merauke itu tidak pernah berubah. Kenapa baru sekarang butuh tiga wamen?” ujarnya.

prabowo kabinet wakil menteri reshuffle

Menurut Ray, pemerintah seharusnya memanfaatkan teknologi dan mempercepat birokrasi, bukan menambah pejabat. “Menambah wamen malah memperpanjang jalur koordinasi antara menteri dan kepala daerah,” tambahnya.

Ia juga menuding keputusan ini bernuansa politik bagi-bagi jabatan. “Masih banyak orang yang belum dapat posisi. Jadi dibuatlah jabatan baru untuk menampung mereka,” katanya.

Birokrasi Membengkak, Kepercayaan Publik Terancam

Secara administratif, alasan beban kerja di Kemendagri bisa diterima. Namun, banyak ahli menilai bahwa tiga wakil menteri dalam satu kementerian adalah langkah tidak proporsional.

Fungsi teknis yang diemban wamen sebenarnya bisa dijalankan pejabat eselon I atau direktorat jenderal. Jika jabatan politis terus ditambah tanpa urgensi jelas, prinsip efisiensi dan meritokrasi birokrasi akan terdegradasi.

Dengan struktur yang makin gemuk, beban fiskal meningkat. Pada saat yang sama, daerah diminta berhemat karena pemangkasan dana transfer. Ketimpangan kebijakan ini menciptakan paradoks antara efisiensi dan ekspansi kekuasaan.

Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh, publik akan melihat efisiensi sebagai retorika kosong. Dan bila pemborosan politik terus berulang, kepercayaan terhadap pemerintah bisa tergerus, bahkan sebelum masa jabatan berakhir.

Penambahan dua wakil menteri di tengah kebijakan penghematan justru memperlihatkan wajah paradoks birokrasi Indonesia. Alih-alih memperkuat efektivitas, langkah ini membuka ruang baru bagi politik akomodasi dan pemborosan anggaran. Pemerintah perlu membuktikan bahwa “efisiensi” bukan hanya slogan, tetapi komitmen nyata yang dimulai dari dirinya sendiri.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news