spot_img

Anggaran Polri Membengkak hingga Rp145 Triliun, Lebih Tinggi Daripada Pendidikan dan Kesehatan

Harian Masyarakat | Kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat aparat membubarkan aksi unjuk rasa di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/8/2025), kembali memicu kritik tajam terhadap pola belanja Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Unjuk rasa tersebut digelar buruh untuk menuntut hak yang lebih layak sekaligus memprotes gaji dan tunjangan fantastis anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Insiden ini menambah daftar panjang tindakan represif aparat dalam menghadapi demonstrasi warga.

Anggaran Polri Terus Naik

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran Polri terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2021, anggaran Polri tercatat Rp102,2 triliun. Angka itu naik menjadi Rp114,2 triliun pada 2022, Rp119,8 triliun pada 2023, Rp136,5 triliun pada 2024, dan Rp138,5 triliun pada outlook 2025.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, alokasi anggaran Polri kembali naik menjadi Rp145,6 triliun. Dengan jumlah ini, Polri menjadi penerima anggaran terbesar ketiga setelah Badan Gizi Nasional (Rp268 triliun) dan Kementerian Pertahanan (Rp185 triliun).

anggaran polri represif alat pengendali massa

Secara rinci, RAPBN 2026 mengarahkan anggaran Polri pada lima program utama:

  • Profesionalisme sumber daya manusia Rp1,2 triliun.
  • Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Rp3,6 triliun.
  • Dukungan manajemen Rp73 triliun.
  • Modernisasi alat material khusus (almatsus) dan sarana-prasarana Rp58,1 triliun.
  • Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat Rp14,9 triliun.

Rp2,6 Triliun untuk Alat Pengendali Massa

Salah satu pos belanja Polri yang mendapat sorotan tajam adalah pengadaan alat pengendali massa. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat, sepanjang 2021–2025, Polri menggelontorkan Rp2,6 triliun untuk belanja instrumen represif.

Rincian belanja tersebut antara lain:

  • Gas air mata, pelontar, dan masker Rp1,12 triliun.
  • Tongkat baton Rp1,02 triliun, dengan pembelian terbesar pada 2024 sebesar Rp596,1 miliar.
  • Kendaraan taktis (rantis) Rp200 miliar.
  • Perlengkapan antianarkis Rp95 miliar.
  • Amunisi huru-hara Rp60 miliar.
  • Peluru karet Rp49,9 miliar.
  • Drone pelontar gas air mata Rp18,9 miliar.
  • Ranmor R2 antianarkis Rp79 miliar.
  • Belanja pemeliharaan dan fasilitas lain Rp37 miliar.

Data tersebut menunjukkan, meski anggaran gas air mata sempat diturunkan setelah tragedi Kanjuruhan pada 2022, pembelian baton justru melonjak drastis.

anggaran polri represif alat pengendali massa

Kritik terhadap Pola Belanja Represif

FITRA menilai peningkatan anggaran untuk instrumen represif berbanding lurus dengan maraknya tindakan kekerasan aparat terhadap demonstran. Peneliti FITRA, Gurnadi Ridwan, menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa tumbuh dalam suasana ketakutan.

“Anggaran negara harus mengayomi rakyat, bukan menakuti apalagi membungkam suara rakyat. Pola belanja ini memperlihatkan kecenderungan negara memperkuat pendekatan kekerasan ketimbang membangun aparat yang humanis dan dialogis,” kata Gurnadi.

FITRA mengajukan tiga tuntutan utama:

  1. Evaluasi menyeluruh atas kebijakan penggunaan alat represif dalam demonstrasi.
  2. Reorientasi anggaran dari belanja represif menuju pelayanan publik dan penguatan demokrasi.
  3. Tanggung jawab negara dan Polri, termasuk permintaan maaf atas tindakan represif yang menimbulkan korban jiwa.

Tambahan Anggaran 2026 dan Sorotan Publik

Dalam rapat bersama Komisi III DPR pada 7 Juli 2025, Polri mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp46,8 triliun untuk tahun 2026, sehingga total kebutuhan mencapai Rp173,4 triliun.

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai lonjakan anggaran ini tidak sejalan dengan semangat efisiensi pemerintah. Ia menilai dana besar seharusnya dialihkan ke sektor pendidikan atau bantuan sosial.

anggaran polri represif alat pengendali massa

“Transparansi penggunaan anggaran Polri sangat minim. Publik mempertanyakan urgensi belanja besar, apalagi ketika Polri justru memamerkan robot polisi seharga hampir Rp3 miliar per unit pada HUT Bhayangkara 2025,” kata Achmad.

Menurutnya, anggaran jumbo yang tidak terarah hanya memperbesar risiko penyimpangan dan memperburuk ketidakpercayaan masyarakat. Ia menegaskan, tragedi yang menewaskan Affan Kurniawan harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran bagi Polri.

Demokrasi di Persimpangan Jalan

Lonjakan anggaran kepolisian, khususnya untuk alat pengendali massa, memperlihatkan arah kebijakan yang kontraproduktif dengan komitmen negara dalam menegakkan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia.

Jika belanja negara terus difokuskan pada instrumen represif, keselamatan warga dan kualitas demokrasi akan semakin terancam. FITRA menegaskan, negara harus mengutamakan pendekatan humanis, persuasif, dan dialogis dalam menjaga ketertiban umum, bukan dengan kekerasan yang berulang kali menelan korban jiwa.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news