Harian Masyarakat | Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis mantan Direktur Utama PT Taspen (Persero) Antonius Nicholas Stephanus Kosasih dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan kurungan. Antonius Kosasih dinyatakan bersalah dalam kasus investasi fiktif senilai Rp1 triliun yang merugikan keuangan negara dan mengguncang kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana pensiun aparatur sipil negara (ASN).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp500 juta,” kata Ketua Majelis Hakim Purwanto S Abdullah dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).
Selain hukuman badan, Antonius Kosasih juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp29,15 miliar, serta sejumlah mata uang asing: 127.057 dolar AS, 283.002 dolar Singapura, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 30 poundsterling, 128 ribu yen Jepang, 500 dolar Hong Kong, dan 1,26 juta won Korea, serta Rp2,877 juta.
Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, seluruh aset Antonius Kosasih akan disita dan dilelang oleh jaksa. Bila hasil lelang tak mencukupi, ia akan menjalani pidana tambahan tiga tahun penjara.

Keputusan Tanpa Kajian dan Transaksi Tergesa-gesa
Kasus ini berawal dari keputusan Antonius Kosasih saat menjabat sebagai Direktur Investasi PT Taspen pada 2019. Ia memutuskan untuk menanamkan dana perusahaan pada reksa dana I-Next G2 guna melepas sukuk ijarah TPS Food 2016 (SIA-ISA 02).
Hakim menilai keputusan itu diambil tanpa analisis investasi dan kajian risiko yang memadai. Tak ada rekomendasi dari divisi analisis atau kajian due diligence sebelum transaksi dilakukan. “Sebagai direktur investasi yang baru, terdakwa seharusnya lebih berhati-hati dan melakukan due diligence yang mendalam sebelum mengambil keputusan dengan nilai Rp1 triliun, bukan malah terburu-buru melakukan transaksi yang menimbulkan kerugian baru,” ujar Hakim Anggota Sunoto.
Fakta persidangan juga mengungkap, Kosasih merevisi peraturan direksi hanya lima hari sebelum transaksi dilakukan, tepatnya pada 28 Mei 2019. Tujuannya, untuk mengakomodasi konversi aset investasi yang semula tidak diatur dalam mekanisme internal Taspen. “Langkah itu dilakukan dengan cara tergesa-gesa,” kata hakim.
Padahal, pada 2 Mei 2019 sudah ada hasil voting perdamaian PKPU yang menjamin pembayaran 100 persen kepada seluruh kreditur BUMN. Artinya, tidak ada urgensi bagi Kosasih untuk melakukan investasi berisiko tinggi melalui reksa dana tersebut.
Modus Kompleks dan Keuntungan Pribadi
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai modus operandi yang digunakan Kosasih sangat kompleks. Transaksi dilakukan secara berlapis, melibatkan sejumlah pihak, dan menggunakan mekanisme penunjukan langsung tanpa proses tender.
Kosasih bahkan memengaruhi konsultan independen agar memberikan rekomendasi yang sesuai dengan keinginannya. Ia juga disebut menggunakan sebagian hasil keuntungan investasi untuk membeli aset pribadi, termasuk apartemen dan tanah.
“Perbuatan terdakwa telah melukai rasa keadilan masyarakat dan merugikan dana tabungan hari tua ASN yang gajinya sudah dipotong tiap bulan,” kata Hakim Purwanto. Dana pensiun tersebut bersumber dari iuran wajib 4,8 juta ASN sebesar 3,25 persen dari gaji bulanan mereka.
Hakim juga menegaskan, Kosasih menyalahgunakan kewenangan dan tidak berinisiatif mengembalikan kerugian negara. Meski bersikap sopan dan memiliki tanggungan keluarga, majelis menilai hal itu tak cukup untuk menghapus dampak besar dari perbuatannya.

Rekan Korupsi: Dirut Insight Investment Juga Divonis
Selain Kosasih, majelis hakim juga memvonis Direktur Utama PT Insight Investment Management (IIM) Ekiawan Heri Primaryanto dengan hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Ekiawan diwajibkan membayar uang pengganti 253.660 dolar AS, dengan ketentuan jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan, harta bendanya disita dan dilelang, atau diganti dengan 2 tahun penjara.
Hakim menyatakan, Kosasih dan Ekiawan bersama-sama melakukan korupsi investasi fiktif untuk memperkaya diri dan korporasi. Dari kasus ini, kerugian negara mencapai Rp1 triliun, berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mereka juga disebut memperkaya sejumlah pihak lain:
- Patar Sitanggang, eks Direktur Keuangan PT Taspen (Rp200 juta)
- PT Insight Investment Management (Rp44,21 miliar)
- PT Pacific Sekuritas Indonesia (Rp108 juta)
- PT KB Valbury Sekuritas Indonesia (Rp2,46 miliar)
- Sinar Mas Sekuritas (Rp44 juta)
- PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (TPS Food) (Rp150 miliar)
Pengungkapan Kasus dan Laporan Mantan Istri
Kasus ini terungkap setelah Rina Lauwy, mantan istri Kosasih, melaporkan dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rina mengaku diminta oleh Kosasih untuk menampung dana hasil korupsi.
Dalam persidangan, hakim mengembalikan aset apartemen milik Rina Lauwy Kosasih karena terbukti diperoleh sebelum tindak pidana terjadi dan tidak termasuk dalam harta hasil korupsi.
Dampak Sosial dan Kepercayaan Publik

Majelis hakim menilai dampak sosial dari korupsi ini sangat besar. Dana pensiun ASN yang seharusnya menjadi jaminan hari tua jutaan pegawai negeri justru digunakan untuk memperkaya segelintir orang.
“Perbuatan terdakwa telah menurunkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana pensiun dan tata kelola BUMN,” tegas hakim.
Hakim juga menekankan pentingnya prinsip good governance dan kehati-hatian dalam pengelolaan dana publik. “Terdakwa seharusnya menjadi teladan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, bukan justru menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Akhir dari Skandal
Vonis majelis hakim terhadap Antonius Kosasih sejalan dengan tuntutan jaksa, yaitu pidana 10 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti senilai total puluhan miliar rupiah beserta berbagai mata uang asing.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi pengelola dana publik. Skandal Taspen memperlihatkan bagaimana penyalahgunaan kewenangan di lembaga pengelola keuangan negara bisa langsung menghantam kepercayaan publik, terutama para ASN yang menggantungkan masa depannya pada dana pensiun yang seharusnya aman.
“Perbuatan terdakwa bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati amanah jutaan ASN,” tutup hakim dalam sidang.















