Harian Masyakat – PT Aneka Tambang Tbk (Antam) kembali menjadi sorotan setelah mengonfirmasi impor sekitar 30 ton emas dari Singapura dan Australia. Langkah ini diambil untuk menutup kekurangan pasokan emas batangan di dalam negeri yang terus meningkat.
Direktur Utama Antam, Achmad Ardianto, menjelaskan bahwa impor dilakukan karena produksi tambang emas milik Antam di Pongkor, Jawa Barat, hanya mampu menghasilkan sekitar 1 ton per tahun. Padahal, kebutuhan pasar domestik jauh lebih besar.
“Produksi tambang kami hanya 1 ton per tahun, sementara kebutuhan nasional mencapai 45 ton. Tahun lalu penjualan kami mencapai 43 ton,” kata Achmad dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (29/9/2025).
Ketergantungan Impor di Tengah Potensi Besar

Indonesia sebenarnya memiliki potensi produksi emas hingga 90 ton per tahun. Namun, banyak perusahaan tambang lebih memilih mengekspor emas atau menjualnya ke industri perhiasan daripada menyuplai ke Antam.
Kondisi ini diperburuk oleh tidak adanya aturan yang mewajibkan perusahaan tambang menjual hasil produksinya ke Antam. Skema kerja sama yang bersifat business-to-business (B2B) membuat posisi Antam kurang kuat dalam negosiasi harga.
“Banyak perusahaan tambang emas yang memilih menjual ke pihak lain karena faktor pajak dan mekanisme jual beli yang rumit. Misalnya, mereka meminta Antam juga membeli peraknya, padahal itu memunculkan pajak PPN 13%,” ujar Achmad.
Produksi Dalam Negeri Tersendat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui persoalan utama terletak pada pasokan bahan baku emas dari dalam negeri. Hingga kini, kapasitas pemurnian emas nasional masih bergantung pada fasilitas milik PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMN).
“Kalau 3 juta ton konsentrat diolah oleh smelter Freeport, bisa menghasilkan 50 sampai 60 ton emas. Sementara Amman di NTB menghasilkan sekitar 18 hingga 20 ton,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Namun, pasokan dari Freeport belum optimal. Operasi tambang bawah tanah di Grasberg, Papua, dihentikan sementara akibat insiden longsor yang menewaskan tujuh pekerja. Akibatnya, pasokan emas ke Antam menurun drastis.
“Produksi di Freeport belum maksimal karena masih dalam proses audit dan evaluasi total. Jadi pasti ada kekurangan pasokan,” jelas Bahlil.
Antam dan Freeport Sudah Kerja Sama

Meski terkendala produksi, Antam dan Freeport sebenarnya telah menjalin kerja sama jual beli emas sekitar 25 hingga 30 ton per tahun. Namun kerja sama itu belum mampu menutup kebutuhan domestik karena proses pemurnian di Freeport terhambat.
Selain Freeport, Antam juga menjalin komunikasi dengan PT Amman Mineral di Nusa Tenggara Barat. Namun, kapasitas produksinya juga terbatas.
Pemerintah kini tengah membahas langkah strategis untuk mengatasi kelangkaan emas di pasar domestik. “Kami sedang mengkaji dengan Dirjen Minerba langkah-langkah yang harus dilakukan agar kebutuhan Antam terhadap emas bisa terpenuhi,” ucap Bahlil.
Opsi DMO Emas Mulai Dibahas

Kementerian ESDM membuka peluang penerapan skema Domestic Market Obligation (DMO) untuk komoditas emas, seperti yang diterapkan pada batu bara dan minyak sawit. Dengan kebijakan ini, perusahaan tambang wajib menyuplai sebagian produksi emasnya ke pasar dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Tri Winarno menyatakan, wacana DMO masih dikaji mendalam agar tidak menimbulkan masalah baru.
“Kalau DMO diterapkan, kita harus lihat dulu kesiapan smelter di Freeport. Jangan sampai nanti pasokan justru menumpuk,” kata Tri di Jakarta, Senin (13/10/2025).
Selain skema DMO, pemerintah juga meninjau ulang kebijakan perpajakan ekspor dan impor emas untuk melihat opsi yang paling efisien. “Kami sedang mengkaji komposisi antara pembelian emas di dalam negeri dan impor,” ujarnya.
Evaluasi Total Operasi Tambang
Bahlil menegaskan, pemerintah saat ini fokus menyelesaikan audit keselamatan di tambang bawah tanah Freeport. Aktivitas produksi baru akan dilanjutkan setelah hasil audit selesai.
“Saat ini belum ada produksi. Kami sedang mencari faktor penyebabnya agar ke depan bisa diantisipasi,” ujar Bahlil.
Audit ini diharapkan dapat memastikan kegiatan tambang berjalan aman dan efisien. Jika produksi Freeport kembali normal, pasokan emas nasional akan pulih, dan ketergantungan impor bisa dikurangi.
Jalan Panjang Menuju Swasembada Emas
Pemerintah optimistis Indonesia bisa mengurangi impor emas secara bertahap. Dengan potensi produksi nasional hingga 90 ton per tahun, kebutuhan domestik seharusnya bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Namun, langkah menuju swasembada emas membutuhkan sinergi antara pemerintah, BUMN, dan perusahaan tambang. Diperlukan kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan ekspor dan kebutuhan nasional, serta memastikan keberlanjutan pasokan bagi industri pengolahan seperti Antam.
Bahlil menutup dengan penegasan bahwa solusi permanen akan diambil segera setelah evaluasi selesai. “Kami sedang membahas langkah konkret agar Antam tidak lagi bergantung pada impor,” katanya.
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia berpeluang besar menjadi salah satu pemain emas terbesar di dunia—bukan hanya dari sisi produksi, tapi juga kemandirian pasokan dalam negeri.















