Harian Masyarakat | Upaya hukum Ajun Inspektur Dua/Aipda Robig Zaenudin untuk meringankan vonis 15 tahun penjara resmi gagal. Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menolak banding yang diajukan eks anggota Satresnarkoba Polrestabes Semarang itu dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang.
Putusan banding dibacakan pada 1 Oktober 2025. Dengan keputusan ini, Aipda Robig tetap dihukum 15 tahun penjara serta denda Rp200 juta karena dinilai bersalah menembak tiga siswa SMK Negeri 4 Semarang, hingga menewaskan satu di antaranya.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Semarang, Hadi Sunoto, membenarkan keputusan tersebut. “Bandingnya ditolak. Putusan hakim tetap, 15 tahun penjara. Tenggat pengajuan kasasi paling lambat 15 Oktober,” kata Hadi, Rabu (8/10/2025).
Majelis hakim tingkat banding yang dipimpin Suko Priyowidodo menilai seluruh pertimbangan hukum pada tingkat pertama sudah lengkap. Tidak ada alasan baru yang meringankan atau memberatkan terdakwa.

Rencana Kasasi ke Mahkamah Agung
Penasihat hukum Aipda Robig , Bayu Arief Anas Ghufron, mengatakan kliennya kemungkinan besar akan mengajukan kasasi. “Dugaan saya mestinya kasasi. Tapi saya belum bertemu langsung dengan Mas Robig, baru komunikasi dengan istrinya,” ujarnya.
Bayu menjelaskan sidang banding dilakukan melalui sistem e-Berpadu tanpa tatap muka langsung. Ia mengakui kecewa karena putusan banding tidak memberikan pertimbangan tambahan. “Putusan itu menguatkan PN Semarang, tidak ada hal baru yang menambah atau mengurangi hukuman,” katanya.
Menurut aturan, Aipda Robig memiliki waktu 14 hari sejak 1 Oktober 2025 untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kasus Penembakan Pelajar Semarang
Kasus bermula pada Minggu dini hari, 24 November 2024. Saat itu, Robig yang sedang bertugas menembak sekelompok pelajar SMK yang mengendarai motor di Jalan Candi Penataran Raya, Semarang.
Tiga pelajar tertembak. Gamma Rizkynata Oktafandy (17) tewas setelah peluru mengenai pinggulnya. Dua korban lain, S dan A, menderita luka di dada dan tangan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Semarang pada 8 Agustus 2025 menyatakan Robig terbukti melakukan kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian dan luka-luka, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (3) dan (1) UU Perlindungan Anak.
Hakim menilai tindakan Robig tidak proporsional, meski ia berdalih hanya berusaha mencegah tawuran bersenjata tajam.

Keluarga Korban Puas dengan Putusan
Keluarga korban menyambut baik keputusan Pengadilan Tinggi yang menolak banding Robig. Kuasa hukum mereka, Zainal Abidin Petir, mengatakan putusan itu membuktikan hakim bekerja profesional.
“Keluarga korban merasa senang karena hakim di Pengadilan Tinggi betul-betul mempelajari dan mengkaji isi putusan PN. Tidak ada perubahan pidana penjara maupun denda,” ujar Zainal.
Ia menegaskan keputusan ini menjadi bentuk keadilan bagi keluarga Gamma Rizkynata dan dua korban lainnya.
Pemecatan Aipda Robig Masih Tertunda
Meski sudah divonis bersalah dan kalah di banding, Aipda Robig masih tercatat sebagai anggota Polri. Ia memang sudah dijatuhi sanksi etik dengan hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), tetapi surat keputusan pemecatannya belum ditandatangani Kapolda Jateng.
“Sudah dua bulan sejak keputusan etik keluar, tapi SK PTDH-nya belum turun. Ini hanya soal administrasi, kenapa terlalu lama? Kapolda harus segera teken biar jelas statusnya,” kata Zainal.
Zainal menilai penundaan ini bisa mencoreng citra Polri. Ia mendesak agar upacara PTDH segera dilakukan sebagai simbol keterbukaan dan ketegasan institusi.

Kepala Bidang Humas Polda Jateng, Komisaris Besar Artanto, mengonfirmasi bahwa surat keputusan pemecatan Robig masih diproses di Bidang SDM Polda Jateng. “Suratnya masih berproses. Bandingnya sudah ditolak, berarti sudah putusan final. Setelah SK keluar, baru bisa upacara PTDH,” ujarnya.
Artanto menjelaskan, karena belum resmi diberhentikan, Robig masih menerima sebagian hak sebagai anggota Polri. “Gaji pokoknya dipotong 30 persen. Tunjangan dan hak lain seperti cuti atau kenaikan pangkat sudah tidak diberikan,” kata Artanto.
Tuntutan Integritas Polri
Kasus ini kembali memicu sorotan publik terhadap disiplin dan akuntabilitas di tubuh Polri. Banyak pihak menilai, penundaan administratif seperti yang dialami Robig menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal.
Zainal berharap kasus Aipda Robig menjadi pelajaran bagi seluruh anggota Polri agar tidak menyalahgunakan kewenangan. “Supaya ini jadi pembelajaran bagi polisi lain agar hati-hati dan tidak melakukan tindakan kriminal seperti itu,” ujarnya.
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menjadi penegasan bahwa tindakan kekerasan, apalagi hingga menewaskan anak di bawah umur, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Kini bola ada di tangan Mahkamah Agung, apakah Robig akan mendapat keringanan atau tetap menjalani hukuman penuh.















