spot_img

Bendera One Piece dan Ketakutan Negara: Prabowo Tegaskan Tak Masalah, Tapi Aparat Bertindak Lain

Harian Masyarakat | Presiden Prabowo Subianto menyatakan tidak mempermasalahkan pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece yang ramai dilakukan oleh masyarakat menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Namun pernyataan tersebut kontras dengan respons aparat dan pejabat negara sebelumnya, yang justru menekan kebebasan ekspresi warga dengan dalih perlindungan simbol negara.

Polemik bendera One Piece ini telah menjadi cermin dari ketegangan antara ruang ekspresi publik dan kekuasaan yang makin sensitif terhadap kritik simbolik.

Ekspresi Simbolik Jadi Masalah Serius

Fenomena pengibaran bendera bajak laut Jolly Roger dari serial anime One Piece mencuat sebagai bentuk kritik simbolik terhadap kondisi bangsa yang dianggap merosot. Netizen Indonesia, khususnya generasi muda, mengibarkan bendera One Piece sebagai bentuk satir terhadap pemerintah dan sistem yang dinilai makin jauh dari nilai-nilai keadilan sosial dan kebebasan.

bendera one piece hut ri 80

Namun, alih-alih merespons dengan terbuka, pemerintah menilai aksi ini sebagai bentuk provokasi. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan (BG), menyebut pengibaran bendera One Piece sebagai tindakan mencederai kehormatan negara.

“Simbol-simbol asing, apalagi fiktif, tidak pantas disandingkan dengan simbol perjuangan bangsa. Ini bisa merendahkan martabat negara,” kata BG, Jumat (1/8/2025).

BG menegaskan bahwa meskipun kebebasan berekspresi diakui, ada batasan hukum yang tidak boleh dilanggar. Ia mengutip Pasal 24 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara sebagai dasar hukum pelarangan.

Pelarangan yang Dinilai Berlebihan: Tanda Paranoid Politik

Sejumlah pihak menilai sikap negara dalam menangani kasus ini terlalu berlebihan, bahkan menunjukkan gejala paranoid politik: yakni kecemasan berlebihan dari penguasa terhadap bentuk-bentuk ketidakpatuhan simbolik yang sebenarnya tidak membahayakan secara langsung.

Paranoid politik, menurut sejarawan Richard Hofstadter, adalah cara pandang di mana segala ekspresi dianggap sebagai ancaman terselubung terhadap kekuasaan. Dalam konteks bendera One Piece, pemerintah tidak melihatnya sekadar sebagai ekspresi budaya pop, melainkan sebagai sinyal pembangkangan terhadap otoritas.

Akibatnya, negara bersikap represif. Polisi memanggil dan menegur warga di Tanjungpinang, sementara Menkopolkam dan Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan tindakan itu bisa dimaknai sebagai bentuk makar.

“Negara punya hak membatasi ekspresi jika mengancam stabilitas nasional. Ini bagian dari kedaulatan, sesuai hukum internasional,” ujar Pigai.

Namun narasi ini justru memunculkan kekhawatiran akan lahirnya praktik pembungkaman terselubung. Banyak yang melihat ini sebagai upaya negara memperluas tafsir hukum untuk menertibkan simbol-simbol alternatif yang tak sesuai dengan narasi resmi.

Chilling Effect dan Demokrasi yang Dingin

Pelarangan simbol fiksi seperti bendera One Piece dinilai bisa menciptakan chilling effect, yakni situasi di mana warga memilih bungkam dan menyensor diri sendiri karena takut salah langkah. Hal ini bisa menghambat kreativitas, kritik, dan kebebasan berpikir, elemen yang penting dalam demokrasi.

Alih-alih menyelesaikan masalah nyata seperti kemiskinan dan korupsi, negara malah sibuk menertibkan ekspresi yang muncul dari budaya populer. Ini menimbulkan kesan bahwa negara kehilangan fokus dan makin jauh dari aspirasi rakyat.

bendera one piece hut ri 80

Dalam konteks demokrasi yang sehat, simbol-simbol budaya populer seharusnya bisa menjadi ruang diskusi, bukan dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Ketika negara mengatur simbol dan narasi secara sepihak, demokrasi pun perlahan bergeser menjadi pertunjukan kesetiaan simbolik, bukan pertukaran ide.

Presiden Prabowo Klarifikasi: Tak Masalah Kibarkan Bendera One Piece, Asal Tak Gantikan Merah Putih

Menanggapi kontroversi ini, Presiden Prabowo akhirnya menyampaikan bahwa ia tidak mempermasalahkan bendera One Piece jika itu merupakan bentuk ekspresi, selama tidak disandingkan atau menggantikan Merah Putih. Hal ini disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pada 5 Agustus 2025.

“Kalau sebagai bentuk ekspresi, it’s okay, enggak ada masalah. Tapi jangan dibenturkan dengan Merah Putih,” ujar Prasetyo.

Ia juga membantah bahwa pemerintah melakukan razia atau penertiban masif terkait pengibaran bendera One Piece. Namun, pernyataan ini terasa paradoksal di tengah tindakan aparat yang telah terjadi di beberapa daerah.

Peringatan HAM dan Logika Stabilitas yang Rapuh

Meski pejabat negara menyebut pelarangan sebagai bagian dari perlindungan hukum, kritik tetap mengemuka. Pelarangan ini bukan hanya berdampak pada ekspresi individu, tapi juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan mengatur ruang simbolik dalam masyarakat.

Natalius Pigai bahkan menyebut larangan ini akan mendapat dukungan dari komunitas internasional. Ia merujuk pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang memungkinkan pembatasan ekspresi demi stabilitas nasional.

Namun dalam praktiknya, banyak kalangan menilai pendekatan ini mempersempit makna ekspresi dan membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.

Kritik sebagai Ekspresi, Bukan Makar

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mencoba memberikan pandangan yang lebih seimbang. Menurutnya, fenomena ini adalah bagian dari dinamika demokrasi dan ruang berekspresi masyarakat.

“Kalau hari ini rame One Piece dalam negara demokrasi, itu adalah ruang berekspresi. Lakukan evaluasi, mungkin ada kritik dan pesan yang ingin disampaikan,” ujarnya.

Tetapi ia tetap menegaskan bahwa Merah Putih harus dikibarkan lebih tinggi dari bendera lain, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan bangsa.

bendera one piece hut ri 80

Negara Takut Imajinasi?

Fenomena pengibaran bendera One Piece seharusnya dibaca sebagai sinyal simbolik tentang keresahan warga terhadap kondisi bangsa, bukan ancaman terhadap negara. Ketika simbol budaya populer menjadi objek penertiban, maka yang sedang diganggu bukan hanya ekspresi, tapi makna demokrasi itu sendiri.

Negara yang percaya diri seharusnya tidak gentar terhadap simbol-simbol fiksi. Sebaliknya, kekuasaan yang dibangun atas dasar kecemasan akan melihat bayangan ancaman di mana-mana, bahkan dari tokoh kartun.

Menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia, paradoks pun mencuat: pemerintah menyerukan semangat kebebasan, tapi di saat yang sama membatasi bentuk ekspresi rakyatnya. Bila dibiarkan, ini bisa menjadi pertanda bahwa demokrasi kita sedang mengalami pendinginan: bukan karena tak ada gagasan, tapi karena orang-orang takut bicara.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news