Harian Masyarakat | Masa depan BUMN sedang berada di persimpangan jalan. Rencana perubahan status Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN) sudah disepakati pemerintah dan DPR. Seluruh kewenangan strategis, termasuk pengelolaan aset dan investasi, perlahan dialihkan ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
RUU BUMN dan RUU Danantara masuk dalam Prolegnas 2026. Jika disahkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara akan kehilangan fungsi operasional dan hanya memegang saham seri A mewakili negara. Praktik ini memperkuat posisi Danantara sebagai superholding BUMN.
Publik terbelah. Survei Litbang Kompas pada Agustus 2025 mencatat 42,5 persen responden tidak yakin masa depan Badan Usaha Milik Negara akan membaik setelah pengalihan ke Danantara. Namun 52,8 persen optimistis Danantara justru memperbaiki tata kelola dan mengurangi intervensi politik.
Aset Jumbo dan Risiko Tata Kelola
Presiden Prabowo dalam World Government Summits menyebut aset yang akan dikelola Danantara mencapai 900 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.648 triliun. Dana sebesar itu akan diarahkan ke investasi jangka panjang di sektor energi, manufaktur, pangan, dan industri hilir.

Danantara disebut sebagai sovereign wealth fund (SWF) ala Indonesia, mirip Temasek di Singapura. Temasek berhasil mengelola portofolio senilai Rp 4.500 triliun lewat saham di DBS Bank, SingTel, hingga Alibaba. Namun, kondisi Indonesia berbeda. Transparansi Danantara masih lemah, laporan keuangan belum dibuka ke publik, dan pengawasannya minim.
Pengamat pasar modal Budi Frensidy menilai pembentukan Danantara berlangsung tergesa-gesa. “Jangan korbankan akuntabilitas demi kecepatan,” ujarnya. Tanpa mekanisme check and balance yang kuat, risiko penyalahgunaan wewenang semakin besar.
Celios: Zona Abu-abu Korupsi
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperingatkan risiko hukum dalam UU No 1/2025 tentang BUMN. Aturan baru memisahkan keuangan Badan Usaha Milik Negara dan Danantara dari keuangan negara. Artinya, kerugian investasi tidak otomatis dianggap sebagai kerugian negara.
Celios menilai ini menciptakan “zona abu-abu” dalam pemberantasan korupsi. Padahal modal Danantara berasal dari penyertaan modal negara (PMN), baik dana tunai, barang milik negara, maupun saham BUMN. Sepanjang 2005–2021, PMN yang dikucurkan pemerintah ke Badan Usaha Milik Negara mencapai Rp 369,17 triliun. Jika dana itu hilang karena korupsi atau salah kelola, publik bisa dirugikan tanpa konsekuensi hukum jelas.
Luka Lama: Korupsi dan Intervensi Politik
Sejarah BUMN tidak pernah lepas dari masalah korupsi.
- Data ICW: 212 kasus korupsi di Badan Usaha Milik Negara sepanjang 2016–2023, melibatkan 349 pejabat, dengan kerugian negara Rp 64 triliun.
- Catatan Kompas: 16 kasus korupsi BUMN pada 2000–2024 menimbulkan kerugian Rp 83,3 triliun. Kasus PT Timah sendiri merugikan Rp 29 triliun dan perekonomian Rp 271 triliun.
Selain korupsi, publik juga mengeluhkan transparansi rendah dalam rekrutmen direksi dan komisaris. Kursi komisaris kerap diisi politisi sebagai bentuk balas budi. Contohnya, Grace Natalie (PSI) menjadi komisaris MIND ID, sementara Fuad Bawazier (Gerindra) didapuk sebagai komisaris utama.

Fenomena politisasi Badan Usaha Milik Negara ini semakin diperkuat dengan praktik rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai komisaris. Meski Mahkamah Konstitusi melarang rangkap jabatan pada 2025, implementasinya masih lemah.
Merger BUMN Karya dan Kontroversi
Danantara juga mengambil alih kendali dalam restrukturisasi BUMN Karya. Rencana besar adalah menggabungkan 7 perusahaan konstruksi menjadi 3 holding.
- Hutama Karya + Waskita Karya: fokus jalan tol dan gedung.
- Wijaya Karya + PT PP: fokus bandara dan pelabuhan.
- Adhi Karya + Nindya Karya: fokus infrastruktur air dan rel.
PT PP dan WIKA menyatakan konsolidasi tidak akan mengganggu operasional, bahkan bisa meningkatkan efisiensi. Namun pengamat menilai merger bisa memperkeruh kewajiban utang emiten konstruksi pelat merah.
Budi Frensidy menekankan, “Risiko terbesar merger bukan hanya teknis, tapi juga tata kelola. Jangan sampai utang lama justru membebani entitas baru.”
Kolaborasi BUMN dan Swasta
Badan Usaha Milik Negara memang bukan satu-satunya tumpuan pembangunan. Investasi swasta juga sangat penting. Data Bappenas menunjukkan kontribusi investasi terhadap PDB menurun dari rata-rata 32,47 persen (2015–2019) menjadi 31,81 persen (2020–2023).
Perlambatan ini dipicu pandemi dan buruknya birokrasi. ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia naik dari 5 persen (2000–2014) menjadi 6,71 persen (2021–2023), tanda efisiensi investasi memburuk. Tanpa reformasi tata kelola, target Indonesia Emas 2045 bisa meleset.
Pertanyaan Besar: Apa Kabar BUMN?
Transformasi BUMN di bawah Danantara membuka peluang sekaligus risiko.
- Peluang: tata kelola lebih profesional, independen dari politik, investasi besar di sektor strategis.
- Risiko: lemahnya transparansi, potensi konflik kepentingan, dan ancaman korupsi akibat celah hukum.
Badan Usaha Milik Negara kini berada di fase genting. Apakah Danantara akan menjadi Temasek versi Indonesia yang sukses, atau justru membuka babak baru oligarki ekonomi dan politik?
Jawaban atas pertanyaan “Apa kabar BUMN?” akan sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi politik dalam mengawal perubahan besar ini.