Harian Masyarakat | Demam berdarah dengue (DBD) kini menjadi salah satu ancaman kesehatan global paling serius. Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi. Selama ini, demam berdarah identik dengan wilayah tropis dan subtropis, terutama di perkotaan dan semi-perkotaan, termasuk Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebagian besar kasus bersifat ringan atau tanpa gejala. Namun, infeksi berat dapat memicu perdarahan hebat, kegagalan organ, hingga kematian jika tidak ditangani segera. WHO menekankan pentingnya deteksi dini, akses cepat ke layanan medis, serta kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala sejak awal.

Pemanasan Global Memperluas Wilayah Penularan
Sebuah studi terbaru dari tim peneliti Stanford, Harvard, Arizona State University, dan National Bureau of Economic Research yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences (9 September 2025) menunjukkan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan beban demam berdarah secara signifikan.
Analisis terhadap lebih dari 1,4 juta data kasus di 21 negara Asia dan Amerika membuktikan bahwa kenaikan suhu berperan langsung dalam peningkatan penularan. Penelitian ini menemukan adanya “zona Goldilocks” suhu ideal sekitar 27,8 derajat Celsius di mana penularan dengue paling optimal. Daerah yang sebelumnya lebih dingin kini masuk ke zona ini akibat pemanasan global, sehingga meningkatkan risiko wabah besar.
Studi tersebut memperkirakan suhu tinggi akibat perubahan iklim bertanggung jawab atas rata-rata 18 persen insiden demam berdarah dari 1995–2014, atau lebih dari 4,6 juta kasus tambahan setiap tahun. Jika emisi gas rumah kaca tidak ditekan, kasus demam berdarah dapat meningkat antara 49–76 persen hingga 2050. Bahkan, di wilayah dingin berpenduduk padat seperti Meksiko, Peru, dan Brasil, jumlah kasus bisa lebih dari dua kali lipat.

(a)Estimasi perubahan demam berdarah dengue akibat pemanasan saat ini (1995-2014) yang diestimasi dari suhu yang diamati relatif terhadap model tanpa pemaksaan antropogenik. (b) Proyeksi perubahan demam berdarah dengue dalam skenario iklim SPP1-2.6 dan SPP2-4.5 dari tahun 2040-2059.
Penulis utama, Marissa Childs, menegaskan bahwa “bahkan perubahan suhu yang kecil pun dapat berdampak besar pada penularan dengue, dan kita sudah melihat jejak pemanasan iklim.”
Dampak Nyata di Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban demam berdarah tertinggi di dunia. Riset terpisah yang dipublikasikan di jurnal Travel Medicine and Infectious Disease (2025) oleh Kurnia Ardiansyah Akbar dari Universitas Jember bersama tim internasional menemukan bahwa peningkatan suhu tahunan berkorelasi langsung dengan kenaikan mortalitas demam berdarah di Indonesia dalam periode 2010–2023.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa faktor suhu jauh lebih berpengaruh dibanding curah hujan. Temuan ini menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan faktor kunci dalam epidemiologi demam berdarah di Indonesia.
Lonjakan Kasus di Pasifik
Dampak krisis iklim juga terlihat nyata di Kepulauan Pasifik. Menurut Pacific Syndromic Surveillance System (PSSS) yang bekerja sama dengan WHO, sejak awal 2025 hingga September, tercatat 16.502 kasus demam berdarah dan 17 kematian, jumlah tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Samoa, Fiji, dan Tonga menjadi negara yang paling terdampak. Fiji melaporkan lebih dari 10.900 kasus dengan 8 kematian, sementara Samoa mencatat 5.600 kasus dengan 6 kematian. Tonga melaporkan lebih dari 800 kasus dengan 3 kematian.
Para pakar menyebut perubahan iklim telah memperpanjang musim penularan, bahkan di beberapa wilayah berlangsung sepanjang tahun. Suhu panas, curah hujan tinggi, serta kelembapan ekstrem menciptakan kondisi ideal bagi nyamuk Aedes berkembang biak.
Dr. Joel Kaufman dari University of Washington menekankan, “demam berdarah adalah salah satu fenomena penyakit pertama yang secara langsung dapat dikaitkan dengan perubahan iklim.”
Tantangan Pengendalian dan Mitigasi
Upaya pengendalian demam berdarah selama ini sangat bergantung pada pemberantasan sarang nyamuk. Langkah-langkah seperti membersihkan wadah air, mendaur ulang barang bekas, fogging, serta kampanye kebersihan lingkungan menjadi bagian penting untuk memutus rantai penularan. Namun, para ahli menilai sebagian besar respons masih bersifat reaktif dan sering dilakukan terlambat.
Dr. Bobby Reiner, ahli ekologi penyakit dari University of Washington, menegaskan bahwa sistem surveilans penyakit saat ini belum memadai untuk mengendalikan dengue.
Di sisi lain, para peneliti sepakat bahwa mitigasi iklim dapat mengurangi beban penyakit secara signifikan. Selain itu, adaptasi tetap diperlukan, seperti peningkatan efektivitas pengendalian nyamuk, penguatan sistem kesehatan, serta pemanfaatan vaksin dengue generasi baru.

Ancaman Serius bagi Kesehatan Masyarakat
Demam berdarah tidak lagi hanya menjadi masalah tropis. Kasus penularan lokal kini muncul di Amerika Serikat (California, Texas, Hawaii, Florida) dan bahkan di Eropa, menandakan meluasnya jangkauan penyakit ini.
Studi-studi terbaru memberi peringatan tegas bahwa perubahan iklim tidak hanya berdampak pada cuaca, tetapi juga langsung pada kesehatan manusia. Tanpa langkah nyata untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan memperkuat respons kesehatan masyarakat, jutaan orang di Asia, Amerika, dan Pasifik berisiko menghadapi wabah dengue yang lebih parah di masa depan.