Harian Masyarakat | Ketika Komite Nobel di Oslo mengumumkan bahwa pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2025 adalah tokoh oposisi Venezuela María Corina Machado, dunia menyoroti dua hal sekaligus. Pertama, pengakuan internasional terhadap perjuangan rakyat Venezuela melawan kediktatoran Nicolás Maduro. Kedua, kekecewaan besar dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang selama berbulan-bulan meyakini bahwa dirinya layak mendapatkan penghargaan bergengsi itu.
Donald Trump dan Obsesi Terhadap Nobel Perdamaian
Sejak awal masa jabatan keduanya, Donald Trump tak menutupi ambisinya untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian. Ia berulang kali menyebut bahwa dirinya pantas menerimanya karena telah “mengakhiri tujuh perang” dan memprakarsai berbagai kesepakatan damai. Beberapa hari sebelum pengumuman Nobel, Trump bahkan mengumumkan rencana gencatan senjata antara Israel dan Hamas berdasarkan “rencana perdamaian 20 poin” versinya sendiri.
Namun saat Komite Nobel memilih Machado sebagai penerima hadiah, Gedung Putih langsung bereaksi keras. Steven Cheung, Direktur Komunikasi Trump, menulis di X bahwa “Komite Nobel membuktikan mereka lebih memilih politik daripada perdamaian.” Ia menambahkan bahwa Trump “akan terus membuat perjanjian damai, mengakhiri perang, dan menyelamatkan nyawa” serta menyebut sang presiden “memiliki hati seorang humanis yang bisa memindahkan gunung dengan kekuatan kehendaknya.”

Kemarahan itu bukan hal baru. Trump telah lama melobi pemerintah Norwegia dan menggalang dukungan dari sekutu politiknya untuk memengaruhi keputusan Komite Nobel. Beberapa kepala negara, termasuk Benjamin Netanyahu dari Israel, bahkan secara terbuka mendukung pencalonannya. Namun semua upaya itu berakhir tanpa hasil.
Komite Nobel Tegaskan Keputusan Berdasarkan Karya, Bukan Lobi Politik
Ketua Komite Nobel, Jørgen Watne Frydnes, menegaskan bahwa keputusan tidak didasarkan pada kampanye atau tekanan politik. “Kami menerima ribuan surat setiap tahun dari orang yang mengklaim tahu apa yang membawa perdamaian. Tapi keputusan kami hanya berdasar pada kerja dan kehendak Alfred Nobel,” ujarnya.

Pernyataan ini sekaligus menepis anggapan bahwa Komite Nobel mempertimbangkan lobi Trump. Frydnes juga mengatakan bahwa keputusan memberi penghargaan kepada Machado adalah “hadiah bagi demokrasi” di tengah gelombang otoritarianisme yang meningkat di berbagai negara.
“Ketika kaum otoriter merebut kekuasaan, penting untuk mengakui pembela kebebasan yang berani berdiri dan melawan,” kata Frydnes. “Demokrasi bergantung pada orang-orang yang tidak mau diam.”
Siapa María Corina Machado
Machado, 58 tahun, adalah tokoh oposisi utama di Venezuela yang selama lebih dari dua dekade melawan rezim Chávez dan Maduro. Ia dijuluki “Iron Lady” Venezuela karena sikapnya yang keras menentang korupsi dan kekuasaan militer.
Machado dilarang ikut pemilu presiden 2024 setelah mendominasi pemilihan pendahuluan oposisi. Ia lalu mendukung diplomat Edmundo González Urrutia sebagai pengganti. Pemilu itu kemudian dimenangkan Maduro melalui proses yang diduga penuh kecurangan.

Sejak saat itu, Machado hidup dalam persembunyian karena menghadapi ancaman pembunuhan dan tuduhan makar. Banyak rekan politiknya ditangkap, sementara González kini hidup dalam pengasingan di Spanyol.
Namun di tengah tekanan, Machado terus berkomunikasi dengan rakyat melalui media sosial. Ia menyerukan perlawanan damai dan menegaskan bahwa “kebebasan harus diperjuangkan tanpa kekerasan.”
Makna Penghargaan Nobel untuk Venezuela
Komite Nobel menilai Machado memenuhi semua kriteria Alfred Nobel: bekerja demi perdamaian, mengurangi militerisasi, dan memajukan persaudaraan antarbangsa. Dalam pernyataannya, Komite menyebutnya sebagai “perempuan yang menjaga api demokrasi tetap menyala di tengah kegelapan yang kian pekat.”
Machado sendiri mengaku terkejut menerima kabar itu. “Saya tidak pantas mendapatkannya. Ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Venezuela,” katanya lewat sambungan telepon yang dibagikan Komite Nobel.
Penghargaan ini, menurut Komite, diharapkan memberi semangat baru bagi oposisi Venezuela untuk terus berjuang menuju transisi damai dari kediktatoran menuju demokrasi.

Respons Dunia dan Sentimen Politik AS
Sementara dunia memuji keputusan Komite Nobel, Gedung Putih menilai langkah itu sebagai bentuk “politik yang menyingkirkan perdamaian.” Para pengamat internasional justru melihat reaksi Trump sebagai cerminan keinginannya mengaitkan penghargaan moral dengan legitimasi politik.
Christopher Sabatini, peneliti senior Chatham House, mengatakan Trump kemungkinan “sangat kesal” karena gagal meraih penghargaan yang sudah lama ia idamkan. “Ia melobi secara terbuka, bahkan melebih-lebihkan kontribusinya terhadap perdamaian global,” ujarnya.
Sebaliknya, analis di Norwegia memuji keputusan Komite Nobel sebagai bentuk independensi. “Ini menunjukkan bahwa Komite tidak bisa diatur oleh tekanan populer atau pemimpin politik,” kata Halvard Leira, direktur riset di Norwegian Institute of International Affairs.
Trump dan Politik Simbolik
Gagalnya Donald Trump memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian menjadi simbol perbedaan tajam antara klaim politik dan nilai universal penghargaan itu. Komite Nobel ingin menegaskan bahwa perdamaian bukan soal kekuasaan, melainkan keberanian moral dan konsistensi dalam membela kemanusiaan.
Bagi Trump, kekalahan ini menjadi pukulan pribadi sekaligus politik. Bagi Machado, kemenangan ini menjadi simbol bahwa perjuangan tanpa senjata tetap bisa mengalahkan rezim yang menindas.

Ketika ditanya apakah Trump masih berpeluang di masa depan, Frydnes menjawab diplomatis: “Jika ia dinominasikan, kami akan mempertimbangkannya. Waktu yang akan menjawab.”
Namun untuk tahun ini, dunia tampaknya sepakat bahwa perdamaian bukan milik yang paling berkuasa, tetapi milik mereka yang paling berani mempertahankannya.















