Harian Masyarakat | Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu di Busan, Korea Selatan, Kamis pagi. Pertemuan ini menjadi yang pertama sejak Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun. Tujuannya jelas: mencari jalan damai di tengah perang dagang yang telah mengguncang ekonomi global.
Kedua pemimpin tiba di pangkalan udara militer AS di Busan. Dengan nada optimistis, Trump berkata, “Kita akan mengadakan pertemuan yang sangat sukses, saya tidak ragu. Tapi dia (Xi Jinping) negosiator yang sangat tangguh.” Xi membalas lewat penerjemah, “Hubungan dua ekonomi terbesar di dunia wajar mengalami gesekan. Namun tim ekonomi kita sudah mencapai kemajuan yang menggembirakan. Saya siap bekerja sama untuk memperkuat fondasi hubungan Tiongkok-AS.”
Pertemuan berlangsung di sela-sela KTT APEC dan menjadi puncak dari tur lima hari Trump di Asia yang sebelumnya meliputi Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan.

Latar Ketegangan: Tarik-menarik Tarif, Teknologi, dan Rare Earth
Hubungan Washington dan Beijing beberapa tahun terakhir diwarnai perang tarif dan kontrol ekspor. AS membatasi pengiriman semikonduktor penting bagi pengembangan kecerdasan buatan (AI), sementara Tiongkok membalas dengan menahan ekspor logam tanah jarang (rare earth) yang dibutuhkan industri pertahanan dan elektronik dunia.
Awal Oktober, Beijing memperluas pembatasan ekspor 12 jenis logam langka dan peralatan pemurniannya. Sebagai reaksi, Trump mengancam menaikkan tarif impor dari Tiongkok hingga 100 persen per 1 November. Ancaman ini sempat mengguncang pasar global. Namun setelah perundingan intensif, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut Tiongkok akan menunda kebijakan ekspor rare earth selama setahun dan kembali membeli kedelai AS sebagai bagian dari “kerangka kesepakatan substansial.”
Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut pihaknya “bersedia bekerja sama untuk hasil positif.” Menurut laporan Reuters, Tiongkok bahkan telah membeli tiga kargo kedelai AS, setara 180.000 ton, menjelang pertemuan Busan.
Fokus Utama: Fentanyl, TikTok, dan Pertanian

Selain tarif dan logam langka, topik utama pembicaraan adalah fentanyl, obat sintetis mematikan yang menjadi penyebab utama kematian akibat overdosis di AS. Donald Trump sebelumnya mengenakan tarif 20 persen pada seluruh produk Tiongkok karena menilai Beijing gagal membendung bahan baku obat tersebut.
Kini, Washington mengharapkan komitmen baru dari Beijing untuk mengontrol ekspor bahan prekursor fentanyl. Sebagai imbalan, AS akan menurunkan sebagian tarif tersebut. Bessent memastikan kesepakatan ini sudah masuk dalam kerangka final yang akan diumumkan setelah pertemuan.
Isu lain yang dibahas adalah finalisasi penjualan TikTok ke investor AS. Trump telah menandatangani perintah eksekutif agar aset TikTok di Amerika dialihkan demi alasan keamanan nasional. Beijing menyetujui penyelesaian ini agar konflik tidak meluas ke sektor teknologi lain.
Pertukaran Kepentingan: Chip, Pelabuhan, dan Dominasi Laut
Beijing menuntut pelonggaran ekspor chip canggih dan penghapusan biaya pelabuhan baru yang diterapkan AS terhadap kapal Tiongkok. Kebijakan itu dianggap Washington sebagai cara menekan dominasi global Tiongkok di bidang logistik dan perkapalan.
Sementara itu, AS ingin jaminan agar Tiongkok menahan diri dalam kebijakan ekspor rare earth dan membuka kembali pasar bagi hasil pertanian AS. Trump menegaskan bahwa kesepakatan yang baik harus “menguntungkan petani Amerika.”
Manuver Diplomasi: AS Bangun Aliansi, Tiongkok Perkuat Ketahanan

Donald Trump datang ke Busan setelah menandatangani kesepakatan perdagangan strategis dengan Jepang, Malaysia, dan Kamboja. Semua perjanjian itu mengaitkan perdagangan dengan keamanan nasional, terutama untuk menyatukan aturan ekspor dan rantai pasok yang menekan Tiongkok.
Di sisi lain, Beijing menandatangani pembaruan perjanjian dagang dengan ASEAN yang kini menjadi mitra dagang terbesar Tiongkok dengan nilai perdagangan 771 miliar dolar pada 2024, melampaui AS. Kedua langkah ini menunjukkan strategi baru: AS membangun jaringan aliansi, sementara Tiongkok memperkuat daya tahannya.
Analis Alejandro Reyes dari Universitas Hong Kong menilai, “Washington ingin menunjukkan bahwa kebijakan kerasnya pada Tiongkok memberi hasil. Beijing ingin menunjukkan bahwa mereka tetap tenang dan tangguh.”
Ketegangan Taiwan dan Isu Global
Isu Taiwan tetap menjadi bayangan dalam setiap pertemuan AS-Tiongkok. Namun Trump mengatakan, “Saya tidak tahu apakah kita akan membahas Taiwan. Tidak banyak yang perlu dibahas. Taiwan adalah Taiwan.”
Sementara itu, Beijing tetap menegaskan klaim atas Taiwan dan tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan militer. AS, sesuai undang-undang, wajib membantu Taiwan mempertahankan diri.
Selain Taiwan, Trump juga ingin membahas perang Ukraina. Ia berharap Xi dapat mendorong Vladimir Putin menuju meja perundingan. Namun analis dari German Marshall Fund, Bonnie Glaser, menilai Xi Jinping akan berhati-hati dan enggan menekan Moskow secara langsung.

Tarik Kekuatan: Siapa Punya Kartu Lebih Kuat?
Menurut analis Dylan Loh dari Nanyang Technological University, kekuatan kedua negara kini seimbang. “AS punya suara lebih keras lewat jaringan sekutu, tapi Tiongkok punya tangan yang lebih stabil. Washington bisa meningkatkan tekanan, tapi Beijing bisa bertahan lebih lama,” katanya.
China tetap memimpin dalam pemrosesan mineral penting dan manufaktur global, sementara AS memperkuat posisinya lewat kerja sama strategis dengan negara-negara sekutu di Asia.
Prospek Pertemuan Busan: Gencatan Senjata, Bukan Perdamaian
Para pengamat menilai hasil konkret pertemuan ini tidak akan besar. Phil Luck dari CSIS menyebut kemungkinan hasilnya “relatif kecil dan tidak menginspirasi.” Namun, pertemuan itu tetap penting sebagai langkah menurunkan tensi dan membuka ruang dialog baru.
Alejandro Reyes memperkirakan kedua pihak akan mengumumkan “kemenangan kecil” seperti penundaan tarif, pernyataan bersama soal stabilitas perdagangan, dan pembentukan kelompok kerja untuk mineral kritis. “Pertemuan ini bukan tentang mengakhiri persaingan, tapi tentang belajar hidup dengannya,” ujarnya.
Pertemuan Donald Trump dan Xi Jinping di Busan menjadi simbol baru dalam hubungan dua kekuatan dunia. Keduanya masih saling curiga, tetapi sama-sama sadar bahwa eskalasi lebih jauh akan merugikan semua pihak.
Tidak ada jaminan perang dagang akan berakhir, tapi ada tanda bahwa dialog masih mungkin. Dunia menunggu apakah pertemuan ini akan menjadi awal dari stabilitas baru, atau sekadar jeda dalam babak panjang persaingan global AS-Tiongkok.















