Harian Masyarakat | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan korupsi dalam penentuan dan pembagian kuota haji tahun 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag). Kasus korupsi kuota haji ini diduga merugikan negara lebih dari Rp1 triliun dan melibatkan sejumlah pejabat, mantan pejabat, serta pihak swasta.
Penyidikan fokus pada tambahan kuota haji 20.000 jamaah yang diberikan Arab Saudi kepada Indonesia setelah pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dengan Putra Mahkota sekaligus Perdana Menteri Arab Saudi Mohammed bin Salman pada 19 Oktober 2023.
Tahap Penyidikan Korupsi Kuota Haji dan Kerugian Negara
KPK telah menaikkan status perkara korupsi kuota haji dari penyelidikan ke penyidikan setelah gelar perkara pada 8 Agustus 2025. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang digunakan masih bersifat umum, sehingga belum ada tersangka yang diumumkan.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan kerugian negara sementara dari korupsi kuota haji dihitung lebih dari Rp1 triliun. Perhitungan ini merupakan hasil analisis internal KPK dan sudah dibahas bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Angka final akan dihitung oleh BPK secara detail.
Aturan Hukum yang Dilanggar
Berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota haji Indonesia adalah:
- 92% untuk kuota haji reguler
- 8% untuk kuota haji khusus
Jika merujuk aturan ini, tambahan 20.000 kuota seharusnya dibagi menjadi 18.400 untuk haji reguler dan 1.600 untuk haji khusus.
Namun, SK Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas pada 15 Januari 2024 menetapkan pembagian 50% untuk reguler (10.000) dan 50% untuk khusus (10.000).
Sorotan pada Surat Keputusan (SK) Menag
KPK menilai SK tersebut menjadi bukti penting. Penyidik mendalami apakah SK dirancang langsung oleh Menteri Agama atau sudah disiapkan pihak lain untuk kemudian ditandatangani.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan penyidik juga mencari tahu apakah pembagian kuota ini berasal dari:
- Bottom-up – usulan dari pejabat bawah atau asosiasi travel haji.
- Top-down – perintah langsung dari pejabat tinggi.
- Kombinasi keduanya – kesepakatan antara pihak asosiasi dan pejabat tinggi.
Dugaan Peran Asosiasi Travel
Penyelidikan KPK menemukan adanya pertemuan antara pejabat Kemenag dan asosiasi penyelenggara haji dan umrah yang menaungi biro perjalanan. Dalam rapat tersebut, muncul kesepakatan pembagian kuota tambahan secara 50-50 antara reguler dan khusus.
Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam SK Menteri Agama. KPK mendalami apakah kesepakatan tersebut lahir dari kepentingan bisnis, arahan politik, atau keduanya.
Pemeriksaan Sejumlah Tokoh
Sejak awal 2025, KPK telah memanggil dan memeriksa berbagai pihak untuk mengumpulkan bukti dan keterangan dari kasus korupsi kuota haji:
- Yaqut Cholil Qoumas (Eks Menteri Agama) – diperiksa 7 Agustus 2025 selama hampir lima jam, dicegah ke luar negeri.
- Hilman Latief (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah) – diperiksa 5 Agustus 2025.
- Fadlul Imansyah (Kepala BPKH) – diperiksa 8 Juli 2025, menyatakan komitmen mendukung penegakan hukum.
- Khalid Basalamah (pendakwah, pemilik biro haji/umrah) – diperiksa 23–24 Juni 2025, menegaskan datang sebagai warga negara yang taat hukum, bukan tersangka.
- Pejabat Kemenag berinisial RFA, MAS, AM.
- Tokoh asosiasi: Muhammad Farid Aljawi (Sekjen DPP AMPHURI) dan Asrul Aziz (Ketum Kesthuri).
Fokus KPK: Mastermind dan Aliran Dana
KPK menargetkan mengungkap intelektual dader atau otak di balik dugaan korupsi kuota haji. Tujuan penyidikan adalah memastikan siapa pemberi perintah, siapa perancang kebijakan, dan bagaimana aliran dana mengalir dari hasil pembagian kuota yang tidak sesuai aturan.
Asep Guntur Rahayu menegaskan bahwa penyidikan tidak hanya berhenti pada pelaksana di lapangan, tetapi juga pihak yang mengatur strategi dan memperoleh keuntungan terbesar.