spot_img

Fraksi Rakyat dan Jalan Ketiga: Memperbaiki DPR Tanpa Meruntuhkannya

Oleh YURNALDI, Pemred

Harian Masyarakat | Banyak yang mulai berbisik: untuk apa DPR dipertahankan jika tak lagi mencerminkan suara rakyat? Di warung kopi hingga ruang akademik, wacana “bubarkan DPR” tak lagi dianggap tabu. Ini alarm keras: kepercayaan publik terhadap parlemen telah runtuh — bukan karena rakyat anti-demokrasi, tapi karena demokrasi telah lama kehilangan pintu masuk bagi rakyatnya sendiri. Kerusuhan nasional Agustus 2025 hanyalah gejala paling nyata dari kemarahan yang lama terpendam.

Di tengah situasi itu, muncul gagasan radikal namun solutif: Fraksi Rakyat. Ketua Fraksi Rakyat, Yudi Syamhudi Suyuti, menegaskan bahwa tujuan utama kongres nasional mereka adalah membuka ruang partisipasi politik langsung bagi rakyat di parlemen. Ide ini, bagi sebagian orang, terdengar seperti mimpi politik: rakyat hadir tanpa perantara partai, bukan sekadar suara yang dipoles lewat pemilu lima tahunan.

Kongres Nasional Fraksi Rakyat

Kritiknya tajam: selama ini representasi di DPR didominasi oleh partai politik, sering kali berjarak dari kepentingan rakyat sehari-hari. Fraksi Rakyat lahir sebagai jawaban atas ketidakpercayaan itu. Bukan untuk menyaingi partai, tetapi untuk memperbaiki sistem yang ada. Ia adalah jalan ketiga — alternatif yang memperbaiki tanpa meruntuhkan institusi, sekaligus menjaga agar aspirasi rakyat tetap memiliki kanal resmi di parlemen.

Namun gagasan ini tak boleh dilepaskan dari tantangan nyata. Siapa yang akan mewakili rakyat? Bagaimana memastikan bahwa mereka benar-benar suara rakyat, bukan sekadar elit baru yang mengklaim legitimasi? Di sinilah pentingnya mekanisme akuntabilitas. Fraksi Rakyat harus transparan dalam pemilihan wakilnya, terbuka dalam proses pengambilan keputusan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Tanpa ini, reformasi bisa berubah menjadi sekadar slogan populis.

Momentum politik saat ini cukup langka. Presiden Prabowo Subianto memberi sinyal untuk membuka ruang reformasi politik lebih luas. Pimpinan DPR pun tengah mengevaluasi struktur dan fungsi lembaga legislatif. Tetapi sinyal saja tidak cukup. Fraksi Rakyat harus dijadikan alat nyata untuk memperkuat demokrasi partisipatif, bukan sekadar simbol. Setiap langkah menuju legalisasi fraksi non-partai harus diikuti dengan reformasi prosedural: amandemen konstitusi, revisi undang-undang partai politik, hingga undang-undang pemilu yang memungkinkan partisipasi rakyat secara langsung.

Peluang ini juga mengingatkan kita pada risiko populisme. Kekhawatiran bahwa Fraksi Rakyat akan menjadi panggung elit baru bukan tanpa dasar. Kita pernah menyaksikan bagaimana kelompok yang awalnya mengaku mewakili rakyat justru menyempitkan akses partisipasi, memusatkan kekuasaan, dan menutup kritik. Oleh karena itu, kerangka hukum dan pengawasan publik harus berjalan seiring dengan pembentukan fraksi ini. Rakyat harus benar-benar bisa memantau, menilai, dan mengganti wakilnya bila aspirasi tak lagi dijalankan.

Selain itu, Fraksi Rakyat juga dapat menjadi katalisator inovasi demokrasi di tingkat lokal. Misalnya, platform partisipasi digital yang memungkinkan warga memberikan masukan langsung, kuota fraksi independen dari masyarakat sipil di setiap DPRD, hingga referendum terbatas untuk isu-isu penting. Semua ini bukan fantasi: teknologi dan kerangka hukum yang adaptif memungkinkan langkah-langkah ini menjadi kenyataan. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian politik dan komitmen institusional.

Tidak kalah penting, Fraksi Rakyat harus menjadi contoh bagi partai politik. Ia menunjukkan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi nyata rakyat bukan sekadar jargon kampanye. Partai-partai politik yang ingin tetap relevan harus belajar dari model ini: bagaimana menghadirkan rakyat bukan sebagai pemilih pasif, tetapi sebagai mitra aktif dalam pengambilan keputusan.

Kritik tajam ini tidak berarti menolak DPR atau meniadakan partai. Sebaliknya, Fraksi Rakyat menegaskan: reformasi lembaga harus dilakukan dari dalam, bukan dengan meruntuhkannya. Membubarkan DPR adalah jalan pintas yang berisiko memperburuk krisis legitimasi. Memperkuat parlemen melalui partisipasi rakyat yang nyata adalah jalan panjang, tapi lebih aman dan berkelanjutan. Jalan ketiga ini menuntut kesadaran bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur, tapi praktik harian yang melibatkan rakyat secara konkret.

Akhirnya, Fraksi Rakyat menghadirkan pesan yang jelas: demokrasi harus kembali ke rakyat. Tidak cukup melalui pemilu lima tahunan, tidak cukup melalui simbolisme politik. Rakyat harus punya akses nyata, saluran resmi, dan mekanisme kontrol yang berkelanjutan. Inilah ujian serius bagi Presiden, DPR, dan semua pihak yang menomorsatukan cita-cita demokrasi: apakah mereka bersedia membuka pintu parlemen, atau hanya mempertahankan ritual politik demi kenyamanan elit?

Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan konsisten, Fraksi Rakyat bisa menjadi pionir reformasi yang tidak hanya memperbaiki DPR, tetapi juga menghidupkan kembali semangat demokrasi sejati. Ini bukan sekadar harapan, tetapi kewajiban moral bagi semua yang peduli pada masa depan bangsa. Jalan ketiga ini adalah bukti bahwa rakyat bisa hadir tanpa harus meruntuhkan, bahwa demokrasi bisa diperbaiki tanpa menimbulkan kehancuran, dan bahwa suara rakyat tidak lagi terpinggirkan di negeri sendiri.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news