Harian Masyarakat | Gelombang baru perlawanan anak muda sedang mengguncang dunia. Dari Kathmandu, Rabat, Antananarivo, hingga Jakarta, generasi yang tumbuh bersama internet kini turun ke jalan. Mereka bukan lagi sekadar pengguna media sosial, tapi penggerak politik global yang menantang kekuasaan dan menolak masa depan yang suram.
Fenomena ini disebut banyak pengamat sebagai “tahun protes Gen Z”. Para ahli melihat 2025 bisa menjadi momen bersejarah seperti 2019 atau 2011—masa ketika dunia menyaksikan Arab Spring dan Occupy Wall Street.
“Ini bukan sekadar demonstrasi biasa, tapi lahirnya budaya protes baru yang berskala global,” kata Shana MacDonald, peneliti komunikasi dari University of Waterloo.
Akar yang Sama: Ketimpangan dan Ketidakadilan
Di berbagai negara, tuntutannya berbeda, tapi penyebabnya sama: kemarahan terhadap elit politik, korupsi, dan ketimpangan ekonomi.

- Nepal: Pemerintah menutup akses media sosial dan memicu amarah publik. Dalam dua hari, aksi membesar, menewaskan lebih dari 20 orang, dan berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli. Bendera bajak laut dari anime One Piece berkibar di jalan-jalan Kathmandu, menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas.
- Indonesia: Gerakan 17+8 menuntut reformasi total setelah rakyat marah atas gaji DPR yang 42 kali lipat lebih besar dari UMR. Bentrokan menewaskan 11 orang, termasuk pengemudi ojek daring Affan Kurniawan.
- Timor Leste: Mahasiswa mengecam pembelian 65 mobil dinas senilai 4,2 juta dolar AS di tengah pendapatan rakyat yang hanya sekitar 2.000 dolar per tahun. Mereka menjadikan gambar mobil SUV sebagai simbol sindiran atas gaya hidup pejabat.
- Madagaskar: Krisis air dan listrik memicu protes besar. Tagar “Gen Z Madagascar” menyatukan ribuan anak muda lewat Facebook dan TikTok. Setidaknya 22 orang tewas, menurut laporan PBB.
- Maroko: Aksi di bawah bendera “GenZ 212” mengguncang kota-kota besar menuntut reformasi pendidikan, layanan kesehatan, dan keadilan sosial. Polisi menembak mati tiga orang.
Menurut Michelle Chen, peneliti komunikasi dari Brock University, semua gerakan itu punya benang merah yang jelas. “Gen Z tumbuh dalam dunia yang tidak stabil secara politik, ekonomi, dan sosial. Mereka menghadapi ketimpangan, korupsi, dan masa depan yang suram,” ujarnya.
Dari Meme ke Revolusi
Kekuatan Gen Z tidak hanya pada jumlah, tapi juga pada cara mereka bergerak. Internet bukan sekadar alat komunikasi, tapi senjata utama. Mereka memakai meme, video pendek, dan tagar untuk membangun solidaritas lintas negara.
Simbol yang paling menonjol adalah bendera bajak laut dari anime One Piece—gambar tengkorak dengan topi jerami. Dari Nepal hingga Maroko, dari Indonesia sampai Madagaskar, simbol ini dikibarkan sebagai tanda perlawanan terhadap sistem yang dianggap menindas.
“Ceritanya tentang kelompok orang buangan yang menentang pemerintah korup. Anak muda di seluruh dunia merasa itu menggambarkan diri mereka,” kata Nuurrianti Jalli dari Yusof Ishak Institute, Singapura.
Bagi banyak demonstran, bendera ini bukan sekadar hiasan. Ia adalah bahasa baru yang menandai persaudaraan global dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

Cara Baru Melawan: Tanpa Pemimpin, Tanpa Partai
Berbeda dari gerakan klasik yang digerakkan oleh partai atau tokoh karismatik, gerakan Gen Z bersifat desentralisasi dan horizontal.
“Ini gerakan organik, muncul dari kemarahan kolektif yang lahir di ruang digital tanpa satu pun pemimpin tunggal,” jelas Ketakandriana Rafitoson, dosen Université Catholique de Madagascar dan wakil ketua Transparency International.
Mereka menggunakan Discord, TikTok, Telegram, dan Instagram untuk menyebarkan pesan, menyusun strategi, dan menggalang dukungan. Server “GenZ 212” di Maroko, misalnya, tumbuh dari 3.000 anggota menjadi 130.000 dalam hitungan hari.
Bart Cammaerts dari London School of Economics menilai ini membuat gerakan Gen Z sulit dibungkam. “Tanpa organisasi besar, mereka lebih cepat bergerak dan lebih sulit dibubarkan,” katanya.
Dari Dunia Maya ke Jalan Raya
Media sosial mempercepat perubahan dari percakapan ke aksi. Gerakan di satu negara cepat menginspirasi negara lain.
Nepal memicu Madagaskar. Madagaskar menginspirasi Maroko. Maroko menyulut semangat di Indonesia dan Filipina. Bahkan para akademisi menyebutnya sebagai “rantai solidaritas global.”
“Ketika mereka melihat bahwa di negara lain anak muda bisa melawan dan menang, mereka akan berpikir, ‘kenapa tidak kita juga?’,” kata Subir Sinha, direktur SOAS South Asian Institute.

Krisis yang Menyatukan Dunia
Krisis iklim, pengangguran, dan politik korup menjadi pemicu umum. Negara-negara yang diguncang protes Gen Z juga termasuk yang paling terdampak perubahan iklim dan kemerosotan ekonomi.
“Bagi anak muda, masa depan terasa seperti dibatalkan,” ujar Sinha. “Mereka merasa kalau tidak bertindak sekarang, segalanya akan berakhir.”
Di Eropa, Nada yang Berbeda tapi Tujuannya Sama
Sementara Asia dan Afrika didorong oleh ketimpangan ekonomi, Eropa punya persoalan lain. Di Prancis, gerakan Bloquons Tout muncul menentang pemotongan anggaran publik 43,8 miliar euro oleh PM François Bayrou. Aksi blokade jalan melumpuhkan Paris.
Di Inggris dan Irlandia, isu imigrasi dan solidaritas dengan Palestina menjadi pemantik. Lebih dari 500 demonstran ditangkap sejak Juli 2025 karena aksi menuntut pengakuan terhadap Palestina.
Walau berbeda konteks, semua gerakan itu menuntut hal yang sama: keadilan, transparansi, dan masa depan yang bisa dijalani.
Bahasa Baru Politik Anak Muda

Simbol, tagar, dan meme kini menjadi bahasa politik global. Dari tuntutan 17+8 di Indonesia hingga #WakeUpNepal, semuanya menunjukkan cara Gen Z menulis ulang definisi perjuangan politik.
Mereka tidak hanya menolak sistem lama, tapi juga menciptakan bentuk perlawanan baru yang menyatukan dunia digital dan dunia nyata.
“Media sosial bukan lagi sekadar ruang ekspresi,” tulis harian Le Monde. “Ia telah berubah menjadi ruang mobilisasi global.”
Gelombang protes ini mungkin baru awal. Shana MacDonald yakin, “Kalau 2011 disebut tahun Arab Spring dan 2019 tahun protes global, 2025 bisa dicatat sebagai tahun kebangkitan Gen Z.”
Dari jalanan Paris hingga Jakarta, dari Kathmandu hingga Casablanca, generasi muda menegaskan bahwa mereka bukan sekadar penerima kebijakan. Mereka aktor utama zaman ini.
Dan kali ini, dunia tidak bisa pura-pura tidak mendengar.















