spot_img

Ledakan Generasi Fatherless: 15,9 Juta Anak Indonesia Tumbuh Tanpa Ayah

Harian Masyarakat | Lebih dari 15,9 juta anak Indonesia atau sekitar 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berpotensi tumbuh tanpa kehadiran ayah. Data ini berasal dari hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik Maret 2024.

Sebanyak 4,4 juta anak hidup di rumah tanpa ayah. Sisanya, 11,5 juta anak tinggal bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu. Artinya, mereka hanya bertemu ayah sekilas, sementara sebagian besar waktu ayah dihabiskan untuk bekerja di luar rumah.

Fenomena ini disebut sebagai fatherless generation: generasi yang tumbuh tanpa kehadiran figur ayah secara emosional maupun fisik.

Akar Masalah: Perceraian, Ekonomi, dan Pola Asuh

Dari hasil wawancara terhadap 16 psikolog klinis di berbagai kota, perceraian menjadi penyebab utama anak kehilangan sosok ayah. Penyebab lain adalah ayah bekerja di luar kota, kekerasan dalam rumah tangga, serta hubungan ayah-anak yang buruk.

Kasus Dhianis (36), seorang dokter gigi di Jakarta, menggambarkan betapa beratnya membesarkan anak tanpa pasangan. Setelah suaminya meninggal dua tahun lalu, ia harus memerankan dua peran sekaligus: ibu yang penuh kasih dan ayah yang tegas.

Ia mengaku sering menunjukkan foto-foto mendiang suami agar anak-anaknya tetap mengenal sosok ayah. “Saya anggap kami menjalani pernikahan jarak jauh beda alam,” ujarnya. Kini, Dhianis berusaha mengajarkan keberanian kepada anak laki-lakinya agar tak mudah ditindas di sekolah.

ayah anak generasi fatherless

Sementara itu, Alia (37), warga Bekasi, harus menghadapi realitas sebagai ibu tunggal setelah bercerai. Meski menjadi tulang punggung keluarga, ia tetap berusaha menjaga hubungan anaknya dengan sang ayah melalui sistem co-parenting. Mereka berbagi waktu pengasuhan meski tak lagi tinggal serumah. “Anak tetap butuh energi ayah dan ibu. Energi maskulin dari ayah, energi emosional dari ibu,” kata Alia.

Ayah Jauh, Anak Bertumbuh Sendiri

Kondisi fatherless tidak selalu karena kehilangan atau perceraian. Banyak keluarga tetap utuh, tetapi ayah jarang di rumah karena pekerjaan. Seperti Ros (48) di Wonosobo, Jawa Tengah, yang 12 tahun hidup terpisah dari suaminya karena alasan ekonomi.

Suaminya bekerja di Tangerang Selatan dan hanya pulang sebulan atau dua bulan sekali. Meski jarang bertemu, komunikasi mereka intens lewat panggilan video. “Setiap hari pasti video call. Suami saya pantau kegiatan anak sampai jam tujuh malam,” ujarnya.

Kehadiran ayah dari jarak jauh masih bisa menjaga ikatan emosional, asalkan komunikasi terjaga dan keputusan pengasuhan dibagi dengan jelas. Ros menilai, kerja sama seperti ini membuat anaknya, Gatra, tetap merasa dekat dengan ayah meskipun hidup berjauhan.

Dampak Psikologis: Depresi, Cemas, dan Krisis Identitas

Dampak fatherless tak bisa disepelekan. Survei terhadap 16 psikolog menunjukkan, anak tanpa figur ayah berisiko tinggi mengalami depresi (15 responden), kecemasan (14), gangguan perilaku (11), krisis identitas (6), gangguan perilaku seksual (6), dan kesepian (5).

Kondisi ini juga menurunkan kepercayaan diri anak, membuat mereka sulit berinteraksi sosial, mudah marah, dan memiliki motivasi belajar rendah.

Psikolog Jakarta, Widya S. Sari, menegaskan, peran ayah sangat penting dalam membentuk karakter anak. “Kehadiran ayah membangun empati, kepemimpinan, dan daya juang yang menjadi fondasi sumber daya manusia unggul,” ujarnya.

Ketika Fatherless Menjadi Jalan Menuju Kekerasan dan Kenakalan

ayah anak generasi fatherless

Analisis data Kompas menemukan korelasi kuat antara jumlah anak fatherless dengan kasus kekerasan anak di 38 provinsi, dengan nilai korelasi mencapai 0,89. Semakin tinggi jumlah anak tanpa ayah, semakin besar risiko kekerasan terhadap anak.

Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Jawa Barat mencatat korban kekerasan anak tertinggi tahun 2024 dengan 2.259 kasus. Di provinsi ini pula terdapat jumlah anak fatherless terbesar, mencapai 3,1 juta.

Psikolog Toraja, Iindarda S. Panggalo, menyebut anak tanpa figur ayah lebih rentan menjadi korban. “Anak seperti itu cenderung tidak percaya diri dan sering kali jadi target kekerasan,” ujarnya.

Selain korban, anak fatherless juga berpotensi menjadi pelaku kenakalan. Korelasi antara anak tanpa ayah dan anak bermasalah dengan hukum mencapai 0,72. Di Jawa Timur, tercatat 560 anak terlibat kasus hukum, disusul Sumatera Utara (487 anak) dan Jawa Barat (393 anak).

Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang, Madi (18) mengaku tumbuh tanpa komunikasi dengan ayahnya. “Kalau saya cerita sedikit, ayah marah. Jadi saya diam saja,” katanya. Ia akhirnya terjerumus mencuri motor demi kebutuhan hidup.

Dampak Akademik: Risiko Tinggal Kelas Lebih Tinggi

Data BPS menunjukkan anak yang tidak tinggal dengan orangtua memiliki risiko lebih besar tidak naik kelas. Dari 654.128 anak yang tinggal bersama kakek-nenek, 20,4 persen di antaranya tidak naik kelas.

Anak yang tinggal dengan ibu tunggal menempati urutan kedua dengan 17,3 persen, disusul anak yang hanya hidup dengan ayah (13,6 persen). Sementara anak dari keluarga utuh memiliki angka tinggal kelas terendah, hanya 10,3 persen.

Psikolog Samarinda, Yulia Wahyu, menilai, kehilangan figur ayah sering kali membuat ibu harus bekerja lebih keras, sehingga anak kurang mendapatkan pendampingan belajar. “Anak kehilangan figur yang bisa memotivasi,” katanya.

Dampak Nasional: Bonus Demografi Bisa Hilang

Kepala BKKBN Wihaji mengingatkan bahwa 20,9 persen anak fatherless ditambah 11,7 persen penduduk lansia bisa membuat Indonesia kehilangan bonus demografi sebesar 32,6 persen.

“Kalau tidak hati-hati, kondisi ini akan memengaruhi ketahanan keluarga dan kualitas generasi mendatang. Lima sampai sepuluh tahun ke depan dampaknya akan terasa,” ujarnya.

Tidak Semua Anak Jatuh: Kisah yang Bertahan dan Bangkit

ayah anak generasi fatherless

Meski banyak yang terluka, tidak semua anak fatherless tumbuh rapuh. Aulia (22) dari Blora membuktikan hal sebaliknya. Ayahnya bekerja di Palembang dan hanya pulang tiga kali setahun. Namun, ia justru tumbuh menjadi anak yang mandiri dan berprestasi.

“Hal-hal kecil seperti berangkat sekolah sendiri membuatku belajar tanggung jawab,” katanya. Aulia selalu meraih peringkat pertama sejak SD hingga SMA dan berhasil lulus sarjana di Semarang.

Sementara Danardono (44), yang kehilangan ayah sejak usia lima tahun, menjadikan buku dan komik sebagai sumber nilai hidup. Ia bertekad memutus rantai fatherless dengan selalu hadir bagi dua anak perempuannya. “Aku ingin anak-anakku tahu, ayah mereka pekerja keras, tapi selalu punya waktu untuk keluarga,” ujarnya.

Membangun Kembali Peran Ayah

Para psikolog sepakat, solusi utama masalah fatherless adalah membangun kembali peran ayah dalam pengasuhan. Pola asuh demokratis dan kerja sama antara ayah dan ibu terbukti paling efektif menekan dampak negatif pada anak.

Konsep co-parenting juga perlu diperkuat bagi orangtua yang bercerai. Anak berhak tetap memiliki figur ayah, meskipun hubungan pernikahan orangtuanya berakhir.

Kehadiran ayah bukan hanya soal fisik, tetapi keterlibatan emosional. Saat ayah hadir, anak lebih terlindungi, lebih percaya diri, dan lebih siap menghadapi dunia.

Krisis fatherless di Indonesia bukan sekadar masalah keluarga, melainkan ancaman jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia. Dari rumah tangga hingga kebijakan publik, kehadiran ayah harus dipulihkan agar generasi mendatang tumbuh dengan jiwa yang utuh, tangguh, dan berdaya.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news