Harian Masyarakat | Sejak awal 2025, harga emas dunia naik 52 persen dan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah di kisaran 4.000 dolar AS per troy ons pada awal Oktober. Lonjakan ini menjadi yang terbesar dalam sepuluh tahun terakhir dan memicu dua reaksi: euforia bagi pemilik emas, dan dilema bagi calon pembeli.
Bagi banyak masyarakat, kenaikan harga ini menjadi bukti bahwa emas masih jadi aset paling aman. Putri (43), karyawan instansi pemerintah di Jakarta, menyimpan emas di Pegadaian sejak tujuh tahun lalu. Tabungannya kini mencapai lebih dari 100 gram.
“Saya untung lebih dari Rp 20 juta hanya dari selisih harga beli beberapa tahun lalu,” katanya. Ia mengaku keputusan memindahkan sebagian tabungan dan deposito ke emas terbukti tepat.
Noorhayati (47), karyawan swasta, juga mengalami hal sama. Ia mulai menabung emas sejak 10 tahun lalu dan kini memiliki sekitar 200 gram emas batangan. “Selisihnya besar sekali. Emas yang dulu saya beli di bawah Rp 1 juta per gram, sekarang harganya sudah lebih dari dua kali lipat,” ujarnya.

Bukan Sekadar Untung Cepat, Tapi Pegangan Jangka Panjang
Meski harga emas sedang tinggi, banyak pemilik emas justru enggan menjual. Alasannya sederhana: emas mereka disiapkan untuk kebutuhan jangka panjang, seperti biaya pendidikan atau dana darurat.
Putri berencana menjual sebagian emasnya dua tahun lagi ketika anaknya masuk kuliah. Noor juga baru akan melepas sebagian emas pada 2026 dan 2027 untuk biaya pendidikan dua anaknya.
Novfila Netty (43), ibu rumah tangga di Jakarta, menolak menjual 50 gram emas miliknya walau nilainya melonjak dari Rp 29 juta menjadi lebih dari Rp 70 juta. “Sayang kalau dijual sekarang. Saya percaya harga emas masih bisa naik,” ujarnya.
Mereka sepakat, emas lebih tahan terhadap inflasi dibanding deposito atau tabungan biasa. Karena itu, mereka memilih menjadi pemegang (holder) jangka panjang, bukan pedagang (trader).
Pegadaian Jadi Tempat Favorit Simpan dan Gadai
Kenaikan harga emas juga mengubah cara masyarakat memandang emas. Bukan lagi sekadar simpanan, tapi juga sumber dana cepat.
Menurut Kadek Eva Suputra, Kepala Divisi Bisnis Bullion PT Pegadaian, emas kini dianggap sebagai aset dwiguna.
“Emas bukan cuma investasi jangka panjang, tapi juga sumber likuiditas jangka pendek yang cerdas,” katanya.

Masyarakat kini lebih memilih menggadaikan emas daripada menjualnya saat butuh dana. Per 30 September 2025, Pegadaian mencatat permintaan gadai emas mencapai 5,5 juta gram emas batangan dan 85 juta gram emas perhiasan.
Layanan Tabungan Emas digital dan Cicil Emas pun melonjak tajam. Omzet cicil emas naik 182,3 persen, sedangkan Tabungan Emas tumbuh 218 persen dibanding tahun lalu.
Strategi Investasi: Beli Saat Turun, Simpan Saat Naik
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menilai emas cocok untuk investasi jangka panjang karena imbal hasilnya baru terasa setelah lima tahun.
Ia menyarankan dua strategi utama:
- Beli secara rutin tanpa memedulikan harga.
Investor bisa membeli emas tiap bulan dengan nominal tetap. Cara ini menurunkan risiko salah waktu dan memberi harga rata-rata yang stabil. - Manfaatkan koreksi harga untuk beli lebih banyak.
Saat harga emas turun akibat faktor global, seperti penguatan dolar AS atau kabar gencatan senjata, itu bisa menjadi momen membeli dalam jumlah lebih besar.
Harga emas memang sempat turun tipis ke kisaran 3.900 dolar AS per ons setelah kabar positif dari Timur Tengah. Namun, Sutopo menilai tren jangka panjangnya masih naik karena didorong oleh penurunan suku bunga The Fed dan permintaan bank sentral dunia yang terus meningkat.
Menjelang akhir 2025, proyeksi harga emas masih positif. Konsensus pasar memperkirakan emas bisa mencapai 4.289 dolar AS per ons.
Ketika Dunia Tak Pasti, Emas Jadi Pelindung
Meski banyak orang seperti Putri dan Noor memetik untung dari emas, tak semua tokoh investasi berpandangan sama. Warren Buffett, misalnya, tetap menilai emas sebagai aset tak produktif. Menurutnya, emas tidak menghasilkan aliran uang seperti saham atau obligasi. Keuntungan emas hanya muncul dari rasa takut akan ketidakpastian.

Namun, sejarah menunjukkan, setiap kali dunia dilanda krisis, emas justru bersinar. Dari Great Depression, krisis minyak 1970-an, krisis keuangan 2008, hingga pandemi Covid-19, harga emas selalu melonjak saat ekonomi goyah.
Pada periode 1970-1979, harga emas naik lebih dari 600 persen, sementara indeks saham S&P 500 justru turun 11 persen. Fenomena serupa terjadi pada krisis 2008, ketika bursa saham jatuh 23 persen.
Kini, meski bursa saham global masih stabil, harga emas sudah naik 54 persen dalam 10 bulan terakhir. Hal ini menjadikan emas “terlalu besar untuk diabaikan”.
Investor Global Mulai Masuk Lagi ke Emas
Perubahan sikap juga terlihat di kalangan institusi keuangan. Morgan Stanley yang biasanya hanya menyarankan porsi 60:40 untuk saham dan obligasi, kini merekomendasikan 60:20:20, dengan 20 persen dialokasikan ke emas.
Investor besar seperti Ray Dalio juga menyarankan agar emas mengisi 15 persen dari total portofolio karena dianggap lebih aman daripada dolar AS.

Menurut World Gold Council, bank sentral dunia membeli lebih dari 1.000 ton emas per tahun sejak 2022. Kini, cadangan emas bank sentral mencakup 20 persen dari seluruh emas yang pernah ditambang.
Negara-negara seperti China, India, dan Turki menjadi pembeli utama. Motifnya bukan sekadar investasi, tapi juga perlindungan terhadap sanksi ekonomi dan gejolak geopolitik.
Faktor Politik dan Ekonomi Dorong Kenaikan
Kenaikan harga emas tak bisa dilepaskan dari kebijakan Donald Trump sejak kembali menjabat sebagai Presiden AS.
Perang tarif yang dimulai April 2025 memicu ketidakpastian global dan kekhawatiran inflasi. Walau tarif AS turun menjadi 17,5 persen pada Oktober 2025 dari sebelumnya 23 persen, ancaman tarif baru ke China masih menghantui pasar.
Trump juga memicu kekhawatiran dengan menutup sementara layanan pemerintahan federal (government shutdown). Langkah ini membuat data ekonomi penting tertunda, sehingga pelaku pasar kehilangan arah.
Selain itu, intervensi Trump terhadap independensi The Fed membuat investor mencari pelindung nilai, dan emas jadi pilihan utama.
Kondisi ini menciptakan iklim investasi yang tidak pasti. Sebagian investor memilih menunggu, sebagian lagi justru menambah pembelian emas sebagai langkah perlindungan.
Prediksi 2026: Emas Bisa Tembus 5.000 Dolar
Menurut lembaga riset logam mulia Metal Focus, harga emas bisa menembus 5.000 dolar AS per troy ons pada 2026. Proyeksi Goldman Sachs lebih konservatif di 4.300 dolar AS.
Faktor yang menopang prediksi ini antara lain:
- Kinerja ekonomi AS yang melemah.
- Prospek pemangkasan suku bunga The Fed.
- Pembelian emas oleh bank sentral global.
- Ketegangan geopolitik dan inflasi yang belum reda.
Emas: Bukan Cara Cepat Kaya, Tapi Cara Aman Bertahan
Dalam dunia investasi, emas tetap punya tempat penting. Ia bukan alat pencetak kekayaan, tetapi pelindung nilai. Aturan dasarnya tetap sama: emas tidak membuat kaya, tapi mencegah miskin.
Ketika ekonomi global bergejolak dan mata uang kehilangan nilai, emas berdiri sebagai satu-satunya aset yang tetap dipercaya. Karena itu, baik investor besar maupun masyarakat biasa kini kembali menatap emas—bukan sebagai simbol kemewahan, tapi sebagai benteng menghadapi ketidakpastian.















