spot_img

Harga Komoditas Bakal Turun Tajam, Bank Dunia Minta Negara Berkembang Hapus Subsidi di 2026

Harian Masyarakat – Bank Dunia memproyeksikan harga komoditas global turun ke level terendah dalam enam tahun pada 2026. Penurunan tajam ini dipicu oleh surplus minyak yang meningkat signifikan dan lemahnya pertumbuhan ekonomi dunia.

Dalam laporan Commodity Markets Outlook, harga komoditas diperkirakan merosot 7% pada 2025 dan 2026. Harga energi turun paling dalam, masing-masing 12% pada 2025 dan 10% pada 2026. Harga minyak mentah Brent diprediksi anjlok dari 68 dolar AS per barel pada 2025 menjadi 60 dolar AS pada 2026. Surplus minyak global bahkan diperkirakan naik 65% dibanding puncak 2020, akibat meningkatnya penggunaan kendaraan listrik dan stagnasi permintaan di Tiongkok.

Penurunan ini diharapkan membantu menekan inflasi global, tetapi juga menimbulkan tantangan baru bagi negara pengekspor energi.

Harga pangan pun melandai. Bank Dunia mencatat harga beras, gandum, kedelai, kopi, dan kakao akan turun hingga 2026. Namun, harga pupuk melonjak 21% pada 2025 sebelum turun kembali 5% setahun setelahnya. Kenaikan pupuk dikhawatirkan menekan keuntungan petani dan mengancam hasil panen.

Berbeda dengan energi dan pangan, logam mulia justru naik tajam. Harga emas diproyeksikan melonjak 42% pada 2025 dan 5% lagi pada 2026, sedangkan perak naik 34% pada 2025 dan 8% pada 2026. Lonjakan ini mencerminkan meningkatnya minat investor terhadap aset lindung nilai di tengah ketidakpastian global.

Bank Dunia

Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill, mengatakan penurunan harga energi membuka peluang bagi negara berkembang untuk memperkuat keuangan publik dan melakukan reformasi struktural.
“Pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk menyiapkan ekonomi yang lebih siap bersaing dan mempercepat arus investasi,” ujarnya.

Deputi Kepala Ekonom Bank Dunia, Ayhan Kose, menambahkan bahwa harga minyak yang lebih rendah menjadi waktu yang tepat bagi negara berkembang untuk menghapus subsidi bahan bakar. Dana yang dihemat, kata dia, bisa dialihkan ke pembangunan infrastruktur dan investasi modal manusia yang lebih produktif.

“Dengan menghapus subsidi energi, negara berkembang bisa memperluas ruang fiskal, meningkatkan efisiensi ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan,” kata Kose.

Bank Dunia juga memperingatkan sejumlah risiko baru yang bisa memperburuk situasi global, seperti:

  • Pertumbuhan ekonomi dunia yang terus melemah
  • Produksi minyak OPEC+ yang melebihi ekspektasi
  • Ketegangan geopolitik yang memicu lonjakan harga energi
  • Cuaca ekstrem akibat La Niña yang dapat mengganggu produksi pangan dan menaikkan permintaan listrik

Lembaga itu menilai, jika negara berkembang gagal memanfaatkan momentum turunnya harga komoditas, beban fiskal dan ketimpangan ekonomi bisa meningkat.

Bank Dunia menegaskan, reformasi fiskal dan kebijakan investasi jangka panjang adalah langkah penting agar negara berkembang bisa bertahan menghadapi siklus harga komoditas global yang kian tidak menentu.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news