Harian Masyarakat | Enam tahun setelah diumumkan oleh Joko Widodo, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur kini berada di bawah bayang ketidakpastian. Kota yang dulu digadang sebagai simbol transformasi nasional itu kini menghadapi perlambatan pembangunan, pemangkasan anggaran, dan merosotnya minat pindah dari aparatur sipil negara.
Saat Jokowi meluncurkan proyek ini pada 2019, visinya jelas: menyelamatkan Jakarta yang tenggelam dan sesak, sekaligus membangun pusat pemerintahan yang lebih hijau, modern, dan merata di luar Pulau Jawa. Namun setelah kepemimpinan berpindah ke Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024, arah Nusantara tampak berubah.

Dari “Ibu Kota Negara” Menjadi “Ibu Kota Politik”
Pada Juni 2025, Prabowo menandatangani peraturan presiden yang mengubah status Nusantara menjadi “ibu kota politik”. Istilah ini tidak dikenal dalam undang-undang yang menjadi dasar pemindahan ibu kota. Pemerintah menyebut langkah itu sebagai bentuk “penegasan komitmen” untuk mendukung realisasi Nusantara sebagai pusat pemerintahan pada 2028.
Namun banyak pihak justru menilai perubahan istilah itu menunjukkan penurunan prioritas. Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebut Nusantara kini “seperti Putrajaya di Malaysia, hanya pusat pemerintahan, bukan pusat ekonomi”. Ia menilai langkah Prabowo lebih sebagai kompromi politik, bukan kelanjutan visi Jokowi.

Anggaran Terjun Bebas, Pembangunan Melambat
Data resmi menunjukkan penurunan drastis dalam dukungan keuangan negara. Pada 2024, anggaran untuk IKN mencapai sekitar Rp43 triliun, tetapi pada 2025 hanya Rp14 triliun, dan tahun berikutnya direncanakan tinggal Rp6,3 triliun. Padahal otorita IKN mengajukan lebih dari Rp21 triliun untuk melanjutkan pembangunan inti.
Ketua Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menolak anggapan bahwa dana proyek dipangkas. “Anggarannya bukan dipotong, tapi dialokasikan ulang,” ujarnya. Ia menegaskan pembangunan terus berjalan, bahkan klaimnya, area eksekutif seperti istana presiden dan kantor kementerian sudah selesai 98 persen.
Namun di lapangan, cerita berbeda muncul. Banyak pekerja mengaku jam lembur berkurang dan proyek baru jarang dimulai. Warga sekitar, seperti Dewi Asnawati yang membuka toko dan penginapan di Sepaku, mengaku pendapatannya turun setengah sejak 2024. “Dulu kamar selalu penuh, sekarang sepi,” katanya.

Kota yang Masih Sepi dan Separuh Jadi
Meski beberapa infrastruktur utama sudah berdiri; seperti jalan raya, rumah sakit, dan bandara, sebagian besar kawasan Nusantara masih berupa tanah kosong dan hutan terbuka. Saat ini, hanya sekitar 10.000 orang yang tinggal di kawasan itu, termasuk 2.000 pegawai negeri dan ribuan pekerja konstruksi. Padahal target pemerintah untuk 2030 adalah 1,2 juta penduduk, dan dua juta jiwa pada 2045.
Kawasan pusat pemerintahan baru mencakup 800 hektare dari total 6.600 hektare yang direncanakan untuk inti kota. Pemerintah menargetkan pada 2028, 20 persen gedung pemerintahan dan setengah infrastruktur dasar sudah berfungsi.
Namun banyak proyek sekunder seperti pusat belanja, bioskop, dan perumahan pegawai masih terbengkalai. “Nusantara seperti kota masa depan yang kosong,” kata seorang wisatawan dari Sulawesi. “Modern, bersih, tapi sepi.”
Luka di Tengah Hutan
Bagi masyarakat adat Balik di sekitar Sungai Sepaku, pembangunan IKN membawa dampak besar. Arman, seorang petani dan nelayan, mengatakan panennya berkurang separuh sejak pabrik pengolahan air dibangun. “Air sungai tak bisa diminum lagi. Semua air bersih hanya untuk IKN,” ujarnya. Pemerintah membantah tudingan ini, namun laporan dari WALHI menyebut lebih dari 2.000 hektare hutan mangrove telah dibabat untuk pembangunan jalan dan pelabuhan.
Aktivis WALHI, Fathur Roziqin Fen, menilai Nusantara menciptakan “tembok tinggi bagi elit di dalam, sementara masyarakat lokal kehilangan ekonomi dan lingkungan.” Pemerintah berulang kali menegaskan bahwa Nusantara didesain sebagai “kota hijau”, dengan hanya 25 persen dari 252.000 hektare lahan yang akan dikembangkan.

Dari Visi ke Spekulasi
Secara historis, gagasan memindahkan ibu kota bukan hal baru. Presiden Sukarno pernah berencana memindahkan pusat pemerintahan ke Palangkaraya untuk menciptakan identitas nasional yang modern dan postkolonial. Namun Jokowi membawa gagasan itu ke arah berbeda: menjadikan ibu kota baru sebagai solusi pembangunan ekonomi dan pemerataan.
Menurut riset akademis, ide awal Nusantara banyak dipengaruhi oleh think tank kecil bernama Tim Visi 2033 (TV2033), yang sejak 2008 melobi agar Indonesia memiliki ibu kota baru di tengah nusantara. Salah satu pendirinya, Andrinof Chaniago, kemudian menjadi Menteri PPN/Bappenas dan mengawal studi awal proyek ini.
Namun implementasinya di bawah Jokowi dinilai tergesa-gesa. Banyak keputusan penting, seperti lokasi, ukuran, dan konsep “kota hijau,” dibuat tanpa kajian mendalam. Nusantara kemudian dibebani dengan berbagai label: kota pintar, kota berkelanjutan, kota spons, kota inklusif. “Akibatnya, tidak jelas apa sebenarnya Nusantara itu,” tulis seorang peneliti urbanisme dalam studinya.
Dari “Proyek Nasional” ke “Proyek Gajah Putih”?
Kini, banyak pihak menilai Nusantara terjebak antara ambisi politik dan realitas anggaran. Prabowo berfokus pada program makan gratis nasional yang menelan biaya sekitar Rp240 triliun per tahun, jauh lebih besar dibanding dana pembangunan IKN. “Nusantara bukan prioritas,” kata Herdiansyah Hamzah. “Secara politik, proyek ini seperti tidak mau hidup tapi juga tidak mau mati.”

Analis kebijakan Dedi Dinarto dari Global Counsel menilai semangat politik terhadap IKN kini “dingin”. Ia menyebut risiko Nusantara menjadi “gajah putih,” proyek besar yang tidak berfungsi sesuai tujuannya. “Momentum pembangunannya terus menurun,” ujarnya.
Namun di tengah pesimisme itu, sebagian tetap berharap. Basuki meyakini presiden dan kabinet akan pindah ke Nusantara sebelum Pemilu 2029. “Kalau tidak mau pindah ke sini, rugi sendiri,” katanya.
Antara Harapan dan Kenyataan
Proyek bernilai 32 miliar dolar AS ini direncanakan rampung pada 2045. Pemerintah menargetkan Nusantara menjadi kota berpenduduk dua juta jiwa, dengan ekonomi berorientasi hijau dan teknologi tinggi. Namun saat ini, kota yang seharusnya menjadi simbol masa depan Indonesia justru berdiri setengah jadi di tengah hutan Kalimantan; lengang, penuh janji, tapi tanpa kehidupan nyata.
Di tengah jalan-jalan lebar yang masih kosong dan istana Garuda yang megah, masa depan Nusantara kini bergantung pada satu pertanyaan besar: apakah ini langkah menuju masa depan Indonesia yang baru, atau sekadar monumen dari mimpi politik yang tak pernah selesai?















