Harian Masyarakat | Parlemen Israel atau Knesset menyetujui tahap awal rancangan undang-undang yang akan memberlakukan kedaulatan Israel atas wilayah pendudukan Tepi Barat. Langkah ini dinilai sebagai bentuk aneksasi yang melanggar hukum internasional dan mengancam peluang solusi dua negara antara Israel dan Palestina.
Pemungutan suara dilakukan dengan hasil tipis, 25 anggota mendukung dan 24 menolak dari total 120 kursi. RUU ini diajukan oleh Avi Maoz, pemimpin partai ultranasionalis Noam, dan disetujui dalam pembacaan awal untuk kemudian dibahas di Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan.
Dalam waktu yang sama, parlemen juga mengesahkan rancangan lain yang bertujuan mencaplok permukiman Ma’ale Adumim, wilayah strategis antara Yerusalem dan Tepi Barat, dengan hasil 32 suara mendukung dan 9 menolak.

Netanyahu dan Likud Tolak RUU, Tapi Anggotanya Membelot
Menariknya, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan partainya, Likud, menolak rancangan ini. Mereka menilai langkah tersebut sebagai provokasi politik yang dapat merusak hubungan Israel dengan Amerika Serikat. Namun, satu anggota Likud, Yuli Edelstein, justru membelot dan memberikan suara penentu untuk mendukung RUU tersebut. Akibatnya, Edelstein dicopot dari jabatannya di Komite Pertahanan dan Luar Negeri.
“Dengan menerapkan kedaulatan di Yudea dan Samaria, kita sedang memperbaiki kesalahan sejarah,” ujar Avi Maoz. “Pemerintah terlalu ragu, maka tugas kita sebagai anggota Knesset untuk bertindak.”
Sementara itu, pernyataan resmi Likud menegaskan bahwa “kedaulatan sejati tidak akan dicapai lewat undang-undang simbolik, tapi lewat kerja nyata di lapangan.”

Tekanan Politik di Tengah Kunjungan Wakil Presiden AS
Pemungutan suara ini berlangsung saat Wakil Presiden Amerika Serikat JD Vance berkunjung ke Israel untuk memperkuat gencatan senjata di Gaza. Langkah parlemen itu dianggap sebagai manuver politik kelompok sayap kanan untuk menekan Netanyahu, di tengah sikap tegas Presiden Donald Trump yang sebulan sebelumnya menyatakan tidak akan mengizinkan Israel melakukan pencaplokan.
“Saya tidak akan membiarkan Israel mencaplok Tepi Barat. Itu tidak akan terjadi,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih pada September lalu.
Analis politik Israel Ori Goldberg menilai langkah parlemen ini bersifat simbolik. “Ini bukan langkah hukum substantif, tapi semacam pernyataan politik untuk menekan pemerintah,” ujarnya.
Dorongan Sayap Kanan: ‘Waktunya Kedaulatan Penuh’
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menjadi dua tokoh kabinet yang mendukung RUU aneksasi. Smotrich menulis di media sosial, “Rakyat telah berbicara. Saatnya menerapkan kedaulatan penuh di seluruh wilayah Yudea dan Samaria, warisan leluhur kita.”

Ben-Gvir dan Smotrich termasuk di antara kelompok garis keras yang selama bertahun-tahun mendorong pencaplokan resmi wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka menyebut langkah ini sebagai “pemenuhan janji sejarah” bagi bangsa Israel.
Kecaman Internasional Meluas
Langkah parlemen Israel langsung memicu kecaman luas dari berbagai negara dan organisasi internasional.
Kementerian Luar Negeri Palestina menegaskan bahwa “wilayah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza, adalah satu kesatuan geografis yang tidak berada di bawah kedaulatan Israel.” Hamas menilai keputusan itu sebagai “wajah kolonialisme yang sesungguhnya.”
Qatar, Arab Saudi, dan Yordania mengeluarkan pernyataan keras. Qatar menyebut keputusan itu sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan hak sejarah rakyat Palestina.” Saudi menegaskan “penolakan total terhadap tindakan ekspansionis Israel.” Yordania menyebut langkah tersebut sebagai “pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan penghancuran prospek solusi dua negara.”
Statement | Qatar condemns in the strongest terms the Knesset’s approval of two laws aimed at imposing Israeli sovereignty over the occupied West Bank and a settlement#MOFAQatar pic.twitter.com/zpEQwVwLiU
— Ministry of Foreign Affairs – Qatar (@MofaQatar_EN) October 22, 2025
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelumnya telah menegaskan bahwa seluruh permukiman Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur adalah ilegal. Mahkamah Internasional (ICJ) juga memutuskan pada 2024 bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina tidak sah dan harus segera diakhiri.
UAE Ingatkan Garis Merah Abraham Accords
Uni Emirat Arab, yang menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Perjanjian Abraham, memperingatkan bahwa pencaplokan Tepi Barat akan menjadi “garis merah” yang melanggar semangat kesepakatan tersebut.
Penasihat diplomatik Presiden UEA, Anwar Gargash, menegaskan bahwa “pandangan ekstrem dalam isu Palestina sudah tidak lagi valid. Aneksasi Tepi Barat akan menghancurkan dasar kerja sama yang telah dibangun.”
Risiko Gagalnya Solusi Dua Negara
Jika RUU ini disahkan menjadi undang-undang, maka secara de facto Israel akan menegaskan kedaulatan atas seluruh Tepi Barat. Hal ini akan menghapus kemungkinan berdirinya negara Palestina merdeka sebagaimana resolusi PBB dan kesepakatan Oslo.
Lebih dari 700.000 warga Israel kini tinggal di permukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, berdampingan dengan sekitar 3 juta penduduk Palestina. Wilayah ini telah lama menjadi sumber ketegangan dan kekerasan, yang meningkat sejak perang Gaza pecah pada 2023.

Jalan Buntu Perdamaian
Langkah parlemen Israel ini menandai babak baru dalam konflik panjang Israel-Palestina. Sementara kelompok sayap kanan Israel menyebutnya “pemulihan hak leluhur,” dunia internasional memandangnya sebagai bentuk penjajahan modern.
Jika aneksasi ini berlanjut, harapan untuk solusi dua negara bisa benar-benar lenyap, menggantikan mimpi perdamaian dengan kenyataan pahit: pendudukan yang dilegalkan oleh undang-undang.















