Harian Masyarakat | Presiden Prabowo Subianto kembali mengguncang kabinetnya untuk keempat kalinya sejak dilantik pada Oktober 2024. Dalam reshuffle terbaru pada Rabu (8/10/2025), dua wajah baru muncul di jajaran wakil menteri: Ahmad Wiyagus sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri dan Benjamin Paulus Octavianus sebagai Wakil Menteri Kesehatan.
Pelantikan keduanya memperpanjang daftar panjang pejabat baru yang masuk Kabinet Merah Putih. Kini jumlah wakil menteri mencapai 58 orang, naik drastis dibandingkan era pemerintahan sebelumnya yang hanya memiliki 18. Dalam setahun, Prabowo sudah melakukan empat kali perombakan dengan menambah berbagai posisi baru, membentuk badan baru, dan memasukkan sejumlah kader Partai Gerindra.
Selain dua wakil menteri, Prabowo juga melantik Dirgayuza Setiawan sebagai Asisten Khusus Presiden Bidang Komunikasi dan Analisis Kebijakan, serta Agung Gumilar Saputra sebagai Asisten Khusus Bidang Analisis Data Strategis. Ia juga membentuk dua lembaga baru: Badan Pengaturan BUMN yang menggantikan Kementerian BUMN dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang dipimpin Velix Wanggai.

Gerindra Mendominasi Kabinet
Dalam setiap reshuffle, pola yang muncul hampir sama: kader Partai Gerindra selalu mendapat porsi besar. Benjamin Paulus Octavianus, wamenkes baru, adalah Ketua DPP Gerindra. Sebelumnya, kader partai lain seperti Dahnil Anzar Simanjuntak, Ferry Juliantono, Rohmat Marzuki, dan Mochamad Irfan Yusuf juga mendapat posisi strategis.
Kini, total ada sedikitnya 20 pejabat kabinet dari Partai Gerindra. Jumlah ini jauh di atas partai pendukung lain. Golkar, misalnya, hanya menguasai 11 kursi menteri dan wakil menteri.
Peneliti politik BRIN, Lili Romli, menilai dominasi ini merupakan bentuk konsolidasi kekuasaan Prabowo. “Kader Gerindra masuk kabinet untuk memperkuat kendali Presiden dan menjaga arah kebijakan agar sejalan dengan visi politiknya,” kata Lili. Ia menilai langkah ini juga terkait dengan agenda elektoral 2029, karena Gerindra sudah meminta Prabowo maju kembali sebagai calon presiden.
Namun, ia mengingatkan bahwa langkah ini bisa menjadi bumerang jika kinerja para kader buruk. “Kalau bagus, menguntungkan Presiden dan partai. Kalau buruk, justru bisa merusak kepercayaan publik,” ujarnya.

Risiko Politik dan Koalisi yang Rapat
Konsentrasi kekuasaan di tangan satu partai menimbulkan potensi gesekan dalam koalisi. Menurut Lili, partai lain bisa merasa terpinggirkan. “Kalau merasa tersisih dari arus kekuasaan, bisa jadi api dalam sekam,” ujarnya.
Sementara dosen politik UGM, Arya Budi, melihat pengangkatan kader Gerindra juga didasari faktor personal. “Kedekatan dengan Presiden jadi kunci utama. Kepercayaan dan loyalitas sering lebih penting dari kemampuan teknokratis,” katanya.
Arya juga menyoroti jabatan wakil menteri yang makin banyak diisi kader partai. Dalam banyak kasus, posisi wamen digunakan untuk memastikan kementerian dijalankan sesuai arahan Presiden, terutama jika menterinya berasal dari luar Gerindra.

Masalah Fiskal dan Birokrasi yang Menggelembung
Kritik terbesar terhadap penggemukan kabinet datang dari aspek fiskal. Banyaknya pejabat baru berarti bertambah pula beban anggaran negara. Menurut Arya, “Negara harus membayar begitu banyak posisi. Kalau belanja pegawai makin besar, program rakyat bisa terganggu.”
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai struktur yang terlalu besar justru berisiko menurunkan efektivitas pemerintahan. “Struktur besar menuntut koordinasi disiplin dan evaluasi rutin. Kalau tidak, kebijakan bisa tumpang tindih,” katanya.
Ia menegaskan pentingnya peran menteri koordinator agar koordinasi lintas sektor berjalan. Namun dalam praktik, kata Agung, “peran menko sering simbolis. Presiden harus turun langsung karena koordinasi antarmenteri lemah.”
Menurutnya, KSP dan Badan Komunikasi Pemerintah harus berfungsi sebagai pengendali agar kebijakan tidak berhenti di tataran instruksi. Ia juga menilai penambahan posisi baru sebaiknya dihentikan. “Presiden seharusnya fokus memperbaiki struktur yang ada, bukan menambah lagi,” tegasnya.

Pemborosan dan Politik Balas Budi
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio lebih keras mengkritik. Ia menyebut penambahan jabatan baru sebagai bentuk pemborosan dan politik balas budi. “Setiap posisi baru berarti biaya baru. Kalau alasannya memperkuat kinerja, buktikan dulu kementerian yang ada sudah berjalan efisien,” ujarnya.
Agus menilai posisi wakil menteri sebenarnya tidak diperlukan jika sistem birokrasi di bawah kementerian berfungsi dengan baik. “Sudah ada dirjen dan sekjen yang menjalankan tugas teknis. Menambah wamen hanya memperpanjang rantai birokrasi,” katanya.
Ia juga menyoroti proses penyesuaian struktur yang membutuhkan waktu dan anggaran besar. “Setiap perubahan nomenklatur berarti perubahan anggaran, dan ini menghabiskan waktu serta biaya. Akibatnya, tata kelola organisasi jadi berlarut,” tambahnya.
Tantangan Kepemimpinan dan Kendali Pemerintahan
Kepala Departemen Politik CSIS, Arya Fernandes, menilai kabinet yang makin gemuk bisa membuat Presiden kehilangan kendali. “Dengan banyaknya kementerian dan pejabat, fokus evaluasi hanya terjadi pada sektor strategis. Presiden akan sulit memantau semuanya,” katanya.

Menurut Arya, kondisi ini juga bisa memengaruhi peran Wakil Presiden yang kian mengecil karena urusan pemerintahan makin banyak dikendalikan langsung oleh Presiden dan jajaran istana.
Di sisi lain, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membela keputusan Presiden. Ia menyebut penambahan wakil menteri dilakukan untuk memperkuat kapasitas kementerian yang mengelola urusan besar, seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan. “Wilayah Indonesia luas, perlu pembinaan yang kuat. Tambahan wakil menteri akan memperlancar kerja pemerintah,” katanya.
Ujian Konsolidasi dan Efektivitas
Setahun pemerintahan Prabowo ditandai dengan penguatan kendali politik sekaligus ujian efektivitas birokrasi. Di satu sisi, penambahan pejabat memperluas jangkauan kebijakan dan memperkuat koordinasi politik. Namun di sisi lain, risiko birokrasi yang meluas, pemborosan anggaran, dan gesekan antarpartai makin nyata.
Langkah berikutnya akan menjadi ujian besar: apakah kabinet yang besar ini benar-benar mempercepat kinerja pemerintahan, atau justru menjadi beban yang memperlambat roda negara.















