Harian Masyarakat | Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan akan membentuk tim atau komisi khusus untuk melaksanakan Reformasi Polri. Perhatian Presiden terhadap reformasi kepolisian semakin jelas ketika ia melantik mantan Wakapolri Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian pada 17 September 2025.
Tak lama setelah itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Perintah Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025 tertanggal 17 September 2025. Surat ini memuat instruksi pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri yang dipimpin oleh Komjen Chryshnanda Dwilaksana, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.
Tim beranggotakan 52 perwira Polri, terdiri dari 47 perwira tinggi dan 5 perwira menengah. Dalam struktur ini, Kapolri Listyo Sigit menjadi pelindung, sedangkan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo bertugas sebagai penasihat.
Mandat dan Tugas Tim
Berdasarkan surat perintah, tim reformasi Polri memiliki sejumlah mandat penting:
- Menyusun arah kebijakan strategis.
- Membuat rencana kegiatan serta kebutuhan anggaran.
- Melaksanakan koordinasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
- Memastikan pelaksanaan agenda reformasi di setiap lini organisasi Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan bahwa pembentukan tim ini adalah bentuk akuntabilitas dan responsibilitas institusi. Menurutnya, pendekatan sistematis yang ditempuh tim akan berlandaskan pada Grand Strategy Polri 2025–2045 agar reformasi Polri berjalan menyeluruh, melibatkan seluruh satuan kerja dan kewilayahan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Tanggapan dan Kritik
Meski langkah ini disebut progresif, sejumlah pihak menilai reformasi internal saja belum cukup.
Perlunya Unsur Eksternal
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menilai pembentukan tim reformasi internal memang sejalan dengan rencana strategis Polri, namun berpotensi kurang efektif. Ia berpendapat, reformasi akan lebih optimal bila melibatkan unsur eksternal yang independen.
“Bagus jika Presiden tetap membentuk komisi eksternal yang melibatkan banyak pihak. Kehadiran orang-orang independen akan lebih efektif dan fair dalam mengevaluasi Polri,” ujar Halili. Ia menekankan bahwa nantinya komisi eksternal dapat berkolaborasi dengan tim internal untuk menghasilkan reformasi yang lebih komprehensif.
Fokus pada Perbaikan Kultur
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menilai reformasi kepolisian sebenarnya sudah dimulai sejak era Presiden Habibie dan Gus Dur dengan menempatkan Polri di bawah presiden. Namun, menurutnya, tantangan utama kini ada pada perbaikan kultur organisasi.
Ia menyoroti kasus tewasnya Affan Kurniawan akibat terlindas kendaraan taktis polisi saat pembubaran massa pada 28 Agustus 2025 di Jakarta. Nasir menilai peristiwa itu menunjukkan lemahnya disiplin aparat di lapangan dan masih kuatnya pendekatan kekerasan dibanding cara humanis.
Selain itu, ia mengkritik praktik upaya paksa yang sering dikeluhkan masyarakat, mulai dari penangkapan, penggeledahan, hingga penyitaan, yang kerap disertai tindakan transaksional. Ia juga menyinggung adanya oknum kepolisian yang melindungi pertambangan ilegal maupun judi online.
Meritokrasi dalam Rekrutmen dan Karier
Nasir menambahkan, Polri perlu mengembalikan prinsip meritokrasi dalam proses rekrutmen, promosi jabatan, hingga pemilihan pucuk pimpinan. Ia menilai praktik “kedekatan” dengan penguasa sering kali mengalahkan profesionalisme.
Menurutnya, Presiden semestinya kembali menggunakan metode “urut kacang” dalam pemilihan Kapolri, yaitu memilih berdasarkan urutan angkatan yang tertua, dengan tetap memperhatikan integritas, kompetensi, dan profesionalisme. Hal ini dinilai penting untuk mengurangi friksi internal dan memaksimalkan potensi terbaik di setiap angkatan.
Tantangan ke Depan
Reformasi Polri menjadi agenda besar yang mendapat sorotan publik, apalagi setelah unjuk rasa besar-besaran akhir Agustus 2025 yang menuntut perbaikan kinerja kepolisian.
Langkah Kapolri membentuk tim reformasi internal dapat menjadi fondasi awal, namun efektivitasnya masih dipertanyakan karena seluruh anggota tim berasal dari internal Polri. Sejumlah pengamat dan legislator menilai keterlibatan pihak eksternal, perbaikan kultur organisasi, serta penerapan meritokrasi merupakan kunci untuk mewujudkan reformasi Polri yang sejati.