Kasus yang menjerat eks Menteri Perdagangan Tom Lembong (Thomas Trikasih Lembong) terkait dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016 kini menyeret nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu terungkap dalam dalam sidang perkara dugaan korupsi Tom Lembong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Nama mantan Presiden Joko Widodo disebut dalam pemeriksaan saksi dalam sidang perkara dugaan korupsi tersebut.
Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Wiryawan Chandra menyarankan agar Jokowi yang menjabat pada periode tersebut dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan.
“Sebaiknya presiden dihadirkan untuk memberikan keterangan di sini, bahwa memang dia memberikan arahan. Itu lebih clear, lebih objektif dan juga nanti akan jelas pertanggungjawabannya,” ujar Wiryawan, Senin, 23 Juni 2025.
Menanggapi saran Wiryawan soal usulan dihadirkannya Jokowi dalam sidang, Tom Lembong menyebut sebagai komentar yang menarik meski dirinya memilih tidak menanggapinya secara serius dan menyerahkan sepenuhnya tindak lanjut dari saran tersebut kepada penasihat hukumnya maupun jaksa penuntut umum.
“Paling menarik buat saya, komentar saksi ahli hukum administrasi negara yang dihadirkan oleh penuntut supaya presiden yang menjabat saat itu juga dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan keterangan,” kata Tom Lembong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin.
Kasus yang bermula sejak 2 Mei 2025 ini, belum selesai dan masih berlangsung hingga saat ini. Lalu, bagaimana kronologi lengkap perjalanan kasus ini?
Berdasarkan informasi yang diungkap Penyidik Jampidsus Kejagung, kasus dugaan korupsi impor gula bermula pada 2 Mei 2015 ketika antarkementerian melaksanakan rapat kordinasi dan menyimpulkan bahwa Indonesia surplus gula, sehingga tidak membutuhkan impor.
Namun, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu justru memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton kepada PT AP tanpa melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait, serta rekomendasi dari kementerian lain guna mengetahui kebutuhan riil gula dalam negeri.
Kemudian pada 28 Desember 2015 digelar rapat koordinasi di bidang perekonomian dengan pembahasan Indonesia pada 2016 diprediksi kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton.
Untuk stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada November hingga Desember 2015, CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Setelah itu, PT PPI seolah-olah membeli gula padahal, gula itu dijual oleh delapan perusahaan tersebut kepada masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram lebih tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar.
“Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogram,” kata Abdul Qohar saat konferensi pers penetapan tersangka terhadap Tom Lembong.
Kejagung telah memeriksa Tom Lembong sebanyak empat kali, yakni pada 8, 16, 22 dan 29 Oktober 2024 dan pada pemanggilan terakhir, Tom Lembong kemudian ditetapkan sebagai tersangka bersama CS dengan disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Setelahnya, Tom Lembong resmi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 5 November 2024 melalui kuasa hukumnya Ari Yusuf Amir. Tom Lembong menggugat keabsahan Surat Penetapan Tersangka dan Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan Kejagung terhadap dirinya.
“Permohonan ini ditujukan untuk menuntut keabsahan penetapan tersangka dan penahanan klien kami,” kata Ari di PN Jakarta Selatan.
Pihaknya mengklaim ada sejumlah kejanggalan dalam proses penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong antara lain tidak adanya hak untuk menunjuk penasihat hukum sendiri, bukti permulaan kurang, proses penyidikan yang sewenang-wenang, penahanan yang tidak berdasar, dan tidak ada bukti perbuatan melawan hukum.
Tom Lembong kemudian dihadirkan secara virtual dalam sidang praperadilan lanjutan terkait penetapan tersangka dirinya di PN Jakarta Selatan, pada Kamis, 20 November 2024.
Dalam sidang, Tom Lembong mengaku tidak mendapatkan penjelasan detail ihwal kasus yang dijeratkan kepadanya itu serta memaparkan bagaimana dirinya ujuk-ujuk ditetapkan sebagai tersangka.
“Tanggal 29 ditetapkan sebagai tersangka, dijelasin enggak kenapa anda ditetapkan?” tanya kuasa hukum. “Tidak, tidak jelas apa masalahnya,” ujar Tom Lembong.
Hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun kemudian menolak permohonan praperadilan yang diajukan Tom Lembong sehinga dengan keputusan itu, status tersangka Tom Lembong tetap berlaku.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya,” kata Tumpanuli saat membacakan amar putusan, Selasa, 26 November 2024.
Kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, pada Kamis, 12 Desember 2024 bersama timnya mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY) di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat untuk melaporkan beberapa hal berkaitan dengan proses hukum yang dijalani kliennya.
Zaid juga meminta agar KY mengevaluasi hakim yang menangani praperadilan kliennya itu. “Kami mengadukan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin,” kata Zaid di Kantor KY.
Kejagung kemudian kembali menetapkan tersangka baru, totalnya sembilan orang yang diduga terlibat dalam kongkalikong dugaan korupsi di Kementerian Perdagangan sebagaimana disampaikan dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta pada Senin, 20 Januari 2025.
Sembilan tersangka dari pihak swasta ini disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.