Harian Masyarakat | Kerja sama antara Pertamina Patra Niaga dengan SPBU swasta untuk mengatasi kelangkaan BBM nonsubsidi RON tinggi sejak Agustus 2025 justru mandek. Rencana kolaborasi impor bahan bakar yang difasilitasi pemerintah gagal berjalan mulus karena berbagai faktor teknis, bisnis, hingga kebijakan. Akibatnya, pasokan di sejumlah SPBU swasta terancam habis, sementara negosiasi terus berlangsung tanpa titik temu jelas.
Awal Skema Kolaborasi
Pemerintah melalui Kementerian ESDM mendorong kolaborasi B2B agar Pertamina mengimpor base fuel yang kemudian bisa dijual ke SPBU swasta. Skema ini dipicu keterbatasan stok swasta akibat lonjakan permintaan BBM RON 92 dan RON 98. Pertamina disepakati mengimpor 1,2 juta barel RON 92 dan 270.000 barel RON 98 hingga akhir 2025.
Namun, dari kargo awal sekitar 100.000 barel, BP-AKR dan Vivo membatalkan pembelian. Alasannya, produk yang ditawarkan mengandung etanol 3,5 persen. Padahal, kadar itu masih jauh di bawah batas umum 20 persen yang aman digunakan kendaraan modern.

Alasan Teknis Penolakan
Beberapa pakar menjelaskan penolakan pembelian BBM dari Pertamina bukan tanpa dasar.
- Kompatibilitas mesin
Etanol mengandung oksigen yang bisa membuat mesin cepat panas jika sistem kendaraan tidak bisa menyesuaikan air-fuel ratio otomatis. Pada mesin lama, ini berisiko membuat pembakaran tidak sempurna. - Material kendaraan
Etanol dapat memengaruhi seal berbahan karet atau meluruhkan lapisan antikorosi tangki. Dengan beragam usia kendaraan di Indonesia, risiko ini dianggap signifikan. - Konsistensi produk
SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo memiliki racikan BBM khas untuk menjaga “rasa” dan performa. Campuran etanol bisa mengubah persepsi konsumen tentang kualitas produk mereka.
Menurut pengamat otomotif Bebin Djuana, “Ketimbang bermain-main dengan kualitas yang bisa mencemarkan kredibilitas, wajar saja SPBU swasta menolak.”
Faktor Bisnis dan Reputasi Merek
Selain masalah teknis, SPBU swasta menilai kredibilitas merek jauh lebih penting. Mereka khawatir keluhan konsumen sekecil apa pun dapat merusak reputasi. Penolakan ini lebih dilihat sebagai strategi mitigasi brand dibanding sekadar soal spesifikasi.
BP-AKR juga menambahkan faktor lain, yakni kebutuhan dokumen sertifikat asal barang sesuai standar global mereka. Hal ini untuk memastikan BBM tidak berasal dari negara yang terkena embargo. Sementara Shell masih menunggu keputusan korporasi global sebelum membeli dari Pertamina.

Posisi Pemerintah
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah hanya sebagai fasilitator, tidak bisa memaksa swasta membeli BBM Pertamina. Skema ini murni urusan bisnis ke bisnis. Stok nasional masih aman 18–21 hari, sehingga pemerintah menilai ini bukan krisis pasokan nasional, melainkan mismatch spesifikasi dan preferensi mutu.
Wakil Menteri ESDM menambahkan bahwa tahun depan, impor kembali dibuka untuk swasta sesuai alokasi tahunan. Untuk jangka pendek, pemerintah akan mengevaluasi mekanisme agar kasus serupa tidak berulang.
Stok SPBU Swasta Kritis
Meski stok nasional aman, situasi di lapangan berbeda. Vivo hanya punya pasokan sampai pertengahan Oktober. Shell yang memiliki hampir 200 SPBU di Jawa sempat memprediksi seluruh stok habis pada awal Oktober. BP-AKR menyebut hanya dua dari 70 SPBU mereka yang masih beroperasi. AKR Corporindo tinggal 6 SPBU yang belum kehabisan bensin. ExxonMobil dengan 1.200 pom mini masih bisa bertahan hingga triwulan IV-2025.
Untuk mengantisipasi, beberapa SPBU swasta mengurangi jam operasional dan mengoptimalkan usaha lain seperti toko ritel dan bengkel.
Dampak ke Konsumen dan Pasar

Bagi konsumen, kebuntuan ini berarti antrean panjang, rute memutar, hingga terpaksa pindah merek. Di pasar, situasi ini menegaskan pentingnya fleksibilitas standar mutu antar pelaku. DPR mengingatkan agar standar tidak terlalu tinggi hingga menghambat solusi darurat, serta mendesak swasta dan Pertamina mencari kompromi teknis tanpa membebani harga konsumen.
Perubahan pola konsumsi juga jadi faktor penting. Data Kementerian ESDM mencatat penjualan pertalite turun 5,1 persen Januari–Juli 2025, sementara BBM nonsubsidi naik tajam. Pangsa pasar bensin nonsubsidi melonjak dari 11 persen menjadi 15 persen. Artinya, alokasi impor yang ditetapkan pemerintah cepat habis karena pergeseran konsumsi masyarakat.
Arah ke Depan
Ada tiga pelajaran utama dari kebuntuan ini:
- Kebutuhan standar mutu yang lebih jelas agar tidak terjadi perbedaan persepsi.
- Pentingnya fleksibilitas dalam penanganan darurat pasokan.
- Perlunya rencana jangka panjang, termasuk membangun kilang swasta untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
Komisi XII DPR menegaskan pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan agar kegaduhan tidak berulang. Pemerintah dan pelaku usaha diminta menyeimbangkan aspek mutu, komersial, dan operasional dalam pelayanan BBM kepada masyarakat.















