spot_img

Ketika Guru Dihukum karena Mendidik

Oleh YURNALDI, Pemimpin Redaksi

Harian Masyarakat | Kasus di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, menjadi potret buram dunia pendidikan kita. Seorang kepala sekolah justru “dihukum” oleh Gubernur karena menegakkan disiplin terhadap siswa yang merokok di lingkungan sekolah. Ironi ini menyisakan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang sedang salah kaprah dalam mendidik?

Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan akademik, melainkan juga pembentukan karakter, akhlak, dan disiplin. Ketika seorang siswa melanggar aturan, pembinaan yang diberikan seharusnya dipandang sebagai upaya perbaikan, bukan tindakan yang layak dipersoalkan secara hukum.

Namun, kini yang terjadi justru sebaliknya: orang tua siswa buru-buru melapor, pejabat tergesa-gesa mengambil tindakan, dan kepala sekolah yang menegakkan aturan malah menjadi korban.

Fenomena ini mengkhawatirkan. Jika setiap tindakan pembinaan dianggap salah, lalu apa artinya peraturan sekolah? Besok-besok, ketika siswa tawuran, siapa yang akan diseret? Guru? Kepala sekolah? Atau justru masyarakat yang abai menanamkan nilai-nilai dasar di rumah?

Di sinilah peran pemerintah daerah seharusnya ditakar dengan arif. Gubernur dan Dinas Pendidikan mestinya menjadi penopang wibawa sekolah dan guru, bukan pengikisnya. Hukuman kepada kepala sekolah yang berani menegakkan disiplin hanya akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan. Yang seharusnya dilakukan adalah mengklarifikasi menyeluruh, mendengar semua pihak, lalu menegaskan kembali bahwa disiplin adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter.

guru dihukum sman 1 cimarga lebak banten

Pemerintah juga perlu mengambil langkah lebih sistemik: membuat regulasi perlindungan guru agar tindakan pembinaan yang proporsional tidak serta-merta dipidanakan. Sekolah harus merasa dilindungi, bukan terancam. Orang tua pun perlu diajak menyadari bahwa sekolah adalah mitra dalam mendidik anak, bukan lawan yang bisa dijadikan kambing hitam ketika aturan ditegakkan.

Polisi memang berkewajiban menerima laporan masyarakat. Namun menerima laporan bukan berarti langsung memproses hukum. Di sinilah diskresi kepolisian diuji. Kasus-kasus seperti ini lebih cocok diselesaikan dengan mediasi dan pendekatan restorative justice. Bukankah jauh lebih mendidik jika orang tua, guru, dan siswa duduk bersama mencari penyelesaian, ketimbang melahirkan stigma kriminal terhadap pendidik?

Jalan terbaik adalah menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan. Pemerintah provinsi dan dinas pendidikan harus jadi penengah, bukan penghukum. Aparat hukum hendaknya menjadi jalan terakhir, bukan pintu pertama. Dengan begitu, sekolah tetap punya wibawa, guru terlindungi, siswa mendapat pembinaan, orang tua merasa didengar, dan masyarakat tetap percaya bahwa pendidikan masih mendidik.

Mendidik memang butuh keberanian. Mengoreksi yang salah bukanlah tindakan sewenang-wenang, melainkan bagian dari proses membentuk tanggung jawab. Sebaliknya, membela kesalahan hanya akan menumbuhkan generasi manja yang merasa selalu benar dan tak pernah siap menghadapi realitas hidup.

Editorial ini mengingatkan kita semua: sekolah bukan tempat membesarkan ego, tetapi tempat menempa karakter. Jika disiplin dihukum, lalu apa yang tersisa dari makna pendidikan?

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news