spot_img

Konflik Venezuela-Amerika Serikat 2025: Cermin Geopolitik Dunia Multipolar dan Bayangan Perang Energi Baru

Oleh: Ruben Cornelius Siagian

Pengantar

Ketegangan antara Venezuela dan Amerika Serikat (AS) pada akhir 2025 bukan sekadar konflik bilateral atau perang urat syaraf antara Donald Trump dan Nicolás Maduro. Di balik retorika “perang melawan narkoba”, tersembunyi dinamika geopolitik yang jauh lebih kompleks, yaitu perebutan pengaruh global dalam sistem dunia multipolar, di mana kekuatan Barat kini menghadapi resistensi dari blok baru yang digerakkan oleh BRICS+ (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, dengan Venezuela sebagai simpatisan).

Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain, eskalasi ini bukan isu jauh di Amerika Latin melainkan representasi pergeseran tatanan dunia, dengan implikasi langsung terhadap stabilitas energi, perdagangan global, dan arsitektur keamanan internasional.

Geopolitik dan Doktrin Monroe

Secara historis, AS selalu menganggap Amerika Latin sebagai “halaman belakangnya” melalui Monroe Doctrine (1823) yang menegaskan bahwa intervensi kekuatan asing di wilayah Barat adalah ancaman bagi keamanan nasional AS.[1]

Dalam konteks kontemporer, doktrin ini dihidupkan kembali oleh Trump sebagai justifikasi moral dan strategis untuk menekan Venezuela adalah negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, bahkan melampaui Arab Saudi.

venezuela amerika serikat
Gambar. Cadangan Minyak berdasarkan Negara
Sumber: https://www.worldometers.info/oil/oil-reserves-by-country/

Teori Realism Offensive dari John Mearsheimer menjelaskan perilaku ini sebagai dorongan alami negara besar untuk mempertahankan dominasi melalui penguasaan sumber daya dan pengaruh geopolitik.[2][3] Sehingga operasi “anti-narkotika” hanyalah proxy policy untuk memastikan AS tidak kehilangan hegemoni energi dan kontrol geopolitik di belahan barat.

Venezuela dan Aliansi Timur

Sejak sanksi ekonomi 2018, Venezuela beralih ke poros Timur, yaitu Rusia, Cina, dan Iran untuk bertahan.[4][5] Dukungan militer Rusia dalam bentuk sistem rudal S-300 dan pesawat tempur Sukhoi menjadi simbol penolakan terhadap dominasi Washington.

Konflik 2025 memperlihatkan strategi kontra-hegemonik BRICS, di mana Rusia dan Cina menentang aksi militer AS melalui Dewan Keamanan PBB. Dalam kerangka World-System Theory dari Immanuel Wallerstein, Venezuela dapat dilihat sebagai bagian dari “semi-periphery” yang mencoba membebaskan diri dari dominasi ekonomi-politik “core state” (AS dan sekutunya).[6][7]

Ketegangan ini menandai benturan sistemik antara tatanan unipolar (AS-NATO) dan multipolar (BRICS) yaitu sebuah konflik ideologis tentang siapa yang berhak menentukan aturan global.

venezuela amerika serikat

Perang Energi dan Narasi Moral

Dengan cadangan minyak mentah mencapai 300 miliar barel, Venezuela bukan sekadar sasaran politik, tetapi juga simbol perang energi global.[8] Penelitian Morales, W. Q. (1994) menunjukkan bahwa setiap intervensi AS di Amerika Latin pasca-Perang Dingin memiliki korelasi kuat dengan kepentingan energi.[9]

Trump menggunakan isu “perang melawan narkoba” untuk menciptakan moral justification bagi operasi militer, strategi yang serupa dengan Iraq Invasion 2003 yang dikemas sebagai perang melawan terorisme. Di sisi lain, Venezuela memainkan kartu “anti-imperialisme” untuk memperoleh simpati global dari negara-negara Selatan yang bosan dengan hegemoni Barat.

Amerika Latin yang Terbelah

Konflik ini juga mengguncang solidaritas Amerika Latin. Kolombia, sekutu lama AS, memihak Washington, sedangkan Kuba, Bolivia, dan Nikaragua menyatakan dukungan terbuka kepada Caracas. Polarisasi ini menghidupkan kembali legacy Perang Dingin, di mana kawasan Amerika Selatan menjadi ajang proxy conflict antara dua blok ideologis, yaitu kapitalisme liberal versus sosialisme populis.

Menurut kajian Taheri Hosseinkhani, N. (2025), meningkatnya fragmentasi politik di kawasan ini mengancam stabilitas ekonomi regional, termasuk rantai pasok pangan dan energi global yang juga berimbas ke Asia Tenggara.[10]

Konflik antara Venezuela dan Amerika Serikat membawa sejumlah konsekuensi strategis yang perlu dicermati, terutama bagi Indonesia dan blok ekonomi BRICS yang tengah berupaya memperkuat posisinya dalam tatanan dunia multipolar. Ketegangan ini telah memicu guncangan pada rantai pasok energi global, yang secara langsung berdampak pada negara-negara importir minyak seperti Indonesia.

Lonjakan harga minyak mentah dan ketidakpastian pasokan memperlihatkan betapa rapuhnya sistem energi dunia yang masih berpusat pada dominasi dolar Amerika Serikat. Dalam hal ini, BRICS melihat peluang untuk mempercepat pembentukan sistem perdagangan energi alternatif berbasis mata uang lokal, seperti inisiatif BRICS Pay, guna menantang hegemoni finansial AS dan menciptakan mekanisme ekonomi yang lebih otonom di antara negara-negara berkembang.

 

Dukungan Rusia dan Cina terhadap Venezuela juga memperlihatkan semakin kuatnya konsolidasi politik di dalam tubuh BRICS. Aksi solidaritas ini tidak semata bersifat ideologis, melainkan juga strategis, karena Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia yang jika digabungkan dengan sumber daya energi negara anggota BRICS lainnya, dapat menguasai lebih dari 45 persen pasokan minyak global.

Hal ini berpotensi mengubah peta kekuatan energi dunia, menantang dominasi OPEC dan Amerika Serikat, serta memperkuat posisi tawar blok Timur dalam ekonomi global. Dengan demikian, konflik Venezuela–AS menjadi momentum penting bagi BRICS untuk mempercepat integrasi dan memperluas keanggotaannya dalam rangka menyeimbangkan pengaruh geopolitik Barat.

venezuela amerika serikat

Bagi Indonesia, dinamika ini menjadi pengingat akan pentingnya mempertahankan dan menyesuaikan politik luar negeri bebas-aktif di tengah perubahan tatanan global. Indonesia berada pada posisi strategis antara dua kutub kepentingan besar, bahwa Amerika Serikat sebagai mitra ekonomi tradisional, dan BRICS sebagai poros ekonomi dan energi baru yang semakin berpengaruh.

Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Indonesia harus bersifat adaptif, pragmatis, dan berorientasi pada kepentingan nasional jangka panjang, bukan sekadar mengikuti tekanan geopolitik global.

Pengalaman Venezuela memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia tentang bahaya ketergantungan berlebihan terhadap ekspor komoditas energi tanpa diversifikasi industri yang memadai. Krisis ekonomi dan politik di Venezuela sebagian besar disebabkan oleh struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada minyak, menjadikan negara tersebut rentan terhadap fluktuasi harga dan tekanan eksternal.

Indonesia, yang juga kaya sumber daya alam, perlu memastikan bahwa transisi menuju ekonomi berkelanjutan dan berdaya saing global tidak hanya berfokus pada sektor energi, tetapi juga pada penguatan teknologi, industri manufaktur, dan kemandirian pangan.

Referensi

[1] Gilderhus, Mark T. “The Monroe doctrine: meanings and implications.” Presidential Studies Quarterly 36, no. 1 (2006): 5–16.

[2] Toft, Peter. “John J. Mearsheimer: an offensive realist between geopolitics and power.” Journal of International Relations and Development 8, no. 4 (2005): 381–408.

[3] Tabak, Mehmet. “John J. Mearsheimer’s Offensive Realism.” Dalam Realism in International Relations: The Making of a Disarrayed Tradition. Springer, 2025.

[4] Arslanian, Ferdinand. “US Sanctions and Cooperation among Targets: The Case of Cooperation between Iran and Venezuela.” Middle East Critique, Taylor & Francis, 2025, 1–22.

[5] Stasevich, Stanislav. China’s riskisation: China’s Approaches to Sanctioned Petrostates, Cases of Russia, Iran and. 2024.

[6] Goldfrank, Walter L. “Paradigm Regained? The Rules Of Wallerstein? s World-System Method.” Journal of world-systems research, 2000, 150–95.

[7] Umruk, Okan. World-Systems Analysis: Toward a New Epistemology. Marmara Universitesi (Turkey), 2005.

[8] Wilpert, Gregory. “The US War on Venezuela.” Sanctions as War. Anti-Imperialist Perspectives on American Geo-Economic Strategy, 2022, 273–89.

[9] Morales, Waltraud Queiser. “US Intervention and the New World Order: Lessons from Cold War and post‐Cold War Cases.” Third World Quarterly 15, no. 1 (1994): 77–101.

[10] Taheri Hosseinkhani, Nima. “Geopolitical Turmoil, Supply-Chain Realignment, and Inflation: Commodity Shocks, Trade Fragmentation, and Policy Responses.” Supply-Chain Realignment, and Inflation: Commodity Shocks, Trade Fragmentation, and Policy Responses (August 28, 2025), 2025.

Profil Penulis

Ruben Cornelius SiagianRuben Cornelius Siagian adalah peneliti muda Indonesia di bidang fisika, komputasi, dan matematika. Ia fokus pada kosmologi, lubang hitam, dan materi gelap, dengan puluhan publikasi di jurnal internasional. Aktif sebagai reviewer, pembicara konferensi, dan penulis opini tentang sains serta isu geopolitik.

 

 

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news