Harian Masyarakat | Donald Trump kembali memicu perdebatan politik Amerika Serikat setelah menyatakan keinginannya untuk menjabat sebagai presiden untuk ketiga kalinya. Padahal, Konstitusi AS jelas melarang hal itu melalui Amandemen ke-22. Namun bagi Trump, batasan hukum tampaknya tidak menghentikan ambisi politik dan kebutuhan terus-menerusnya untuk berada di pusat perhatian publik.
Donald Trump dan Godaan Kekuasaan
Dalam perjalanannya menuju Jepang di atas pesawat Air Force One, Trump dengan santai menanggapi pertanyaan soal kemungkinan masa jabatan ketiga. “Saya akan sangat senang melakukannya,” katanya kepada wartawan. “Saya punya angka terbaik sepanjang masa. Apakah saya tidak menutup kemungkinan itu? Anda yang harus memberi tahu saya.”
Donald Trump yang kini berusia 79 tahun sudah dua kali terpilih menjadi presiden: pertama pada 2016 dan kemudian kembali menjabat setelah memenangkan pemilu berikutnya. Namun, pernyataan-pernyataannya belakangan kembali membuka spekulasi bahwa ia ingin bertahan di Gedung Putih melewati batas dua periode.
Dia bahkan sempat menyinggung ide “Trump 2028” dalam beberapa kampanye dan acara publik. Topi merah bertuliskan “Trump 2028” dijual di situs resminya, sementara putranya, Eric Trump, sempat difoto mengenakan topi tersebut dengan slogan “The future looks bright!”

Upaya Mencari Celah Hukum
Amandemen ke-22 Konstitusi AS menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada orang yang dapat terpilih sebagai presiden lebih dari dua kali. Mengubah amandemen itu hampir mustahil karena membutuhkan persetujuan dua pertiga anggota Kongres dan tiga perempat dari seluruh negara bagian.
Namun sebagian pendukung Trump mencoba mencari celah hukum. Mereka berargumen bahwa larangan itu hanya berlaku untuk seseorang yang “terpilih” sebagai presiden, bukan yang “naik jabatan” melalui suksesi. Artinya, jika Trump menjadi wakil presiden, dan presiden yang terpilih mengundurkan diri, maka ia bisa kembali menjabat.
Donald Trump sendiri menolak skenario itu. “Saya tidak akan melakukannya. Itu terlalu lucu. Orang-orang tidak akan menyukainya,” ujarnya. Ia menyebut ide menjadi wakil presiden “tidak tepat” meski mengakui secara teknis “bisa dilakukan”.
Namun para ahli hukum menyanggah. Profesor Derek Muller dari Universitas Notre Dame menjelaskan bahwa Amandemen ke-12 Konstitusi melarang seseorang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi presiden untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. “Tidak ada trik aneh yang bisa digunakan untuk mengakali batasan dua periode,” katanya.

Bannon dan “Rencana” Tersembunyi
Sementara itu, mantan penasihat Trump, Steve Bannon, terus menyebarkan narasi bahwa Donald Trump akan kembali berkuasa di 2028. “Trump akan menjadi presiden pada 2028 dan orang-orang sebaiknya mulai membiasakan diri dengan itu,” kata Bannon kepada The Economist. Ia bahkan menyebut Trump sebagai “alat kehendak ilahi”.
Menurut Bannon, kemenangan Trump di masa depan akan ditentukan oleh “kehendak rakyat Amerika” yang menurutnya merupakan inti dari Konstitusi. Namun banyak analis melihat ucapan itu sebagai bagian dari strategi politik, bukan rencana hukum yang nyata.
Aziz Huq, pakar hukum tata negara dari Universitas Chicago, menilai pernyataan Trump dan lingkaran dekatnya menunjukkan upaya menguji batas hukum. “Pertanyaannya bukan apa yang diizinkan oleh hukum, tetapi siapa yang akan menegakkan hukum itu,” katanya.

Alasan Politik di Balik Gagasan Aneh Ini

Beberapa analis melihat bahwa pembicaraan soal tiga periode bukan tentang niat sungguhan, melainkan strategi politik. Dengan menyinggung gagasan ini, Trump bisa menunda statusnya sebagai lame duck, istilah untuk presiden yang masa jabatannya sudah hampir berakhir dan kekuasaannya mulai menurun.
Selama masyarakat dan elit politik masih menganggap kemungkinan Trump bertahan setelah 2028, ia tetap menjadi pusat kekuasaan Partai Republik. Isu tiga periode ini juga menekan calon penerus potensial agar tidak terlalu menonjol.
Donald Trump bahkan memuji dua tokoh penting dalam pemerintahannya, Wakil Presiden JD Vance dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio, sebagai “orang-orang hebat” yang bisa meneruskan kepemimpinan. “Kalau mereka membentuk tim, itu akan tak terhentikan,” katanya.
Reaksi dari Dalam dan Luar Partai
Dari Partai Demokrat, kritik datang tajam. Anggota Kongres Daniel Goldman menyebut wacana tiga periode sebagai “langkah terbaru dalam upaya Trump mengambil alih pemerintahan dan menghancurkan demokrasi.”
Namun bahkan di dalam Partai Republik sendiri, tidak semua mendukung gagasan ini. Senator Markwayne Mullin dari Oklahoma mengatakan, “Saya tidak akan mengubah konstitusi, kecuali rakyat Amerika yang memintanya.” Anggota DPR Tom Cole menilai ide Donald Trump menjabat tiga kali “terlalu mengada-ada untuk dibicarakan serius.”
Faktor Usia dan Kesehatan
Selain persoalan hukum dan politik, usia Trump juga menjadi faktor penghalang besar. Ia akan berusia 82 tahun pada akhir masa jabatan kedua dan 83 jika benar mencalonkan diri lagi di 2028. Banyak pengamat menilai kondisi fisiknya tidak akan mampu menghadapi tekanan jabatan presiden yang ekstrem.
Kebiasaan makannya yang buruk, kurang tidur, serta gaya hidup penuh stres membuat kesehatannya kerap jadi perhatian publik. “Presidensi itu pekerjaan paling menuntut di dunia, bahkan untuk orang yang jauh lebih muda dan sehat,” tulis kolumnis politik di Rolling Stone.

Isu yang Tak Pernah Usai
Donald Trump memang sering menggunakan isu-isu kontroversial sebagai cara mengendalikan perhatian publik. Ketika media sibuk membahas pelanggaran konstitusi dan kemungkinan masa jabatan ketiga, ia justru memperkuat citra dirinya sebagai sosok “tak tergantikan”.
Bagi sebagian pendukung fanatiknya, ucapan Trump bukan sekadar retorika, melainkan simbol perlawanan terhadap “elit politik Washington.” Namun bagi para ahli hukum dan pengamat demokrasi, pembicaraan ini adalah sinyal berbahaya.
Sejak upaya pembalikan hasil pemilu beberapa tahun lalu, Trump berulang kali menunjukkan bahwa batas hukum bisa ditantang selama ia memiliki cukup dukungan politik. Maka, meski masa jabatan ketiga tampak mustahil secara konstitusional, isu ini tetap menjadi alat politik ampuh untuk menjaga dominasi Trump di panggung nasional.
Secara hukum, Donald Trump tidak bisa menjabat lagi sebagai presiden Amerika Serikat. Amandemen ke-22 menutup pintu itu rapat-rapat. Namun secara politik, pembicaraan tentang tiga periode tetap menguntungkan bagi Trump. Ia berhasil mencuri perhatian, menjaga basis dukungan, dan menekan lawan-lawan internalnya dalam Partai Republik.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Donald Trump akan mencoba melanggar konstitusi, tetapi seberapa jauh Amerika akan membiarkan retorika seperti ini terus membentuk realitas politiknya.















