Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 411 kasus penembakan yang dilakukan polisi dalam periode Juli 2024 hingga Juni 2025. Data ini diperoleh dari pemantauan tahunan KontraS terhadap kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian.
Penembakan menjadi bentuk kekerasan paling dominan yang dilakukan polisi. Temuan ini disampaikan dalam kertas kebijakan terbaru KontraS berjudul “Hari Bhayangkara 2025: Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang.”
“Setidaknya dalam catatan kami terdapat 411 kasus penembakan yang dilakukan oleh kepolisian,” kata Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, saat peluncuran kertas kebijakan di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juni 2025.
Secara keseluruhan, KontraS mendokumentasikan 602 kasus kekerasan oleh anggota Polri selama setahun terakhir. Setelah penembakan, kekerasan terbanyak kedua adalah penganiayaan dengan 81 kasus.

Polisi juga tercatat melakukan 72 penangkapan sewenang-wenang, 43 pembubaran paksa, 38 penyiksaan, 24 intimidasi, sembilan kriminalisasi, tujuh kekerasan seksual, dan empat tindakan tidak manusiawi lainnya.
Andrie menegaskan bahwa polisi tidak boleh langsung menghukum seseorang dengan menembak. Ia menjelaskan bahwa setiap dugaan tindak pidana harus dibuktikan terlebih dahulu dengan dua alat bukti permulaan. Ketentuan ini tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014.
Ia juga menyatakan bahwa terduga pelaku semestinya dibawa ke kantor penyidik terdekat untuk diperiksa, sebelum akhirnya berkasnya dilimpahkan ke kejaksaan. “Tapi justru ada 37 kasus yang mana 22 korban meninggal dunia tidak sampai dibawa ke pengadilan, karena dia meninggal ditembak mati oleh aparat,” kata Andrie.
KontraS mencatat bahwa alasan yang sering dipakai untuk menjustifikasi penembakan di tempat adalah karena pelaku melawan atau melarikan diri. Menurut Andrie, alasan itu tidak sah karena polisi tetap harus tunduk pada aturan internal seperti Peraturan Kepolisian (Perpol) dan Peraturan Kapolri (Perkap), yang mengatur penggunaan senjata api.
Andrie menyebut tindakan menembak di tempat sebagai extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum. “Setiap warga negara, yang sekalipun dituduh melakukan tindak pidana, itu haram hukumnya untuk dilakukan penembakan,” kata dia.
Kertas kebijakan ini dirilis menjelang Hari Ulang Tahun Bhayangkara ke-79 yang diperingati setiap 1 Juli.