Harian Masyarakat | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi dalam penyelenggaraan dan pembagian kuota haji tahun 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag). Aliran dana haram dari praktik jual beli kuota diduga mengalir secara berjenjang melalui perantara hingga dinikmati pejabat di level tertinggi kementerian.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK , Asep Guntur Rahayu, menegaskan arti istilah “pucuk pimpinan” yang dimaksud.
“Kalau di kementerian, ujungnya ya menteri. Kalau di kedeputian, ujungnya deputi. Kalau di direktorat, ujungnya direktur,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Pernyataan ini memperkuat sinyal bahwa penyidikan menyasar level Menteri Agama. Meski Asep tidak menyebut nama, kasus ini terjadi pada masa jabatan Menteri Agama 2020–2024, Yaqut Cholil Qoumas. Yaqut telah diperiksa dan dicegah bepergian ke luar negeri.
Mekanisme Aliran Dana
Menurut KPK, aliran dana tidak selalu diterima langsung oleh pejabat, melainkan bisa melalui staf khusus, ajudan, atau kerabat. Pejabat tinggi bisa tetap menikmati manfaat seperti biaya operasional, transportasi, hingga kebutuhan pribadi yang ditanggung dari dana ilegal tersebut.
Setoran dari perusahaan travel kepada oknum pejabat Kemenag berkisar 2.600–7.000 dolar AS per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta hingga Rp113 juta. Dana itu disalurkan melalui asosiasi travel sebelum sampai ke pejabat terkait.
Setiap jenjang perantara juga diduga mendapat bagian dari dana yang dikumpulkan. Sebagian hasil suap telah diubah menjadi aset, seperti rumah mewah dan kendaraan. KPK sudah menyita dua rumah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar sebagai bagian dari pemulihan aset.
Kuota Tambahan dan Dugaan Penyimpangan
Skandal bermula setelah Indonesia mendapat tambahan 20.000 kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi pada 2023, hasil lobi Presiden Joko Widodo. Sesuai Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019, pembagian kuota seharusnya 92 persen reguler dan 8 persen khusus.
Namun, Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas, menerbitkan Surat Keputusan Nomor 130 Tahun 2024 yang membagi kuota tambahan menjadi 50 persen reguler dan 50 persen khusus. Artinya, 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Akibatnya, ribuan jemaah reguler yang sudah menunggu bertahun-tahun kehilangan hak berangkat. KPK memperkirakan kerugian negara akibat praktik ini lebih dari Rp1 triliun.
Keterangan Saksi dan Modus Operandi
Pendakwah sekaligus pengusaha travel haji, Khalid Basalamah, diperiksa sebagai saksi. Ia mengaku bersama 122 jemaahnya beralih dari paket Haji Furoda ke Haji Khusus dengan menggunakan kuota tambahan bermasalah.
Khalid menegaskan dirinya dan rombongan adalah korban. Ia menerima tawaran dari Ibnu Mas’ud, pemilik PT Muhibbah Mulia Wisata, yang menyebut kuota tambahan tersebut resmi dari Kemenag. “Bahasanya Ibnu Mas’ud kepada kami, kalau ini adalah kuota tambahan resmi 20.000 dari Kemenag. Karena dibahasakan resmi, ya kami terima,” kata Khalid.
Respons Yaqut dan Kuasa Hukumnya
Yaqut Cholil Qoumas menyatakan dirinya kooperatif selama proses pemeriksaan. Ia mengaku telah memberikan klarifikasi terkait pembagian kuota tambahan pada 2024, namun enggan mengungkap materi pemeriksaan.
Kuasa hukum Yaqut, Mellisa Anggraini, meminta KPK menyampaikan informasi secara utuh agar tidak menimbulkan prasangka. “Perlu kami tegaskan, sampai saat ini status Gus Yaqut adalah saksi, dan beliau bersikap kooperatif serta menghormati proses hukum,” kata Mellisa.
Juru Bicara Yaqut, Anna Hasbi, juga menekankan pentingnya asas praduga tak bersalah.
Pencegahan ke Luar Negeri dan Perkembangan Penyidikan
Selain Yaqut, KPK juga mencegah bepergian ke luar negeri mantan staf khusus Menag, Ishfah Abidal Aziz alias Gus Alex, dan pemilik travel Maktour, Fuad Hasan Masyhur.
KPK memastikan penetapan tersangka akan segera diumumkan. “Dalam waktu dekat. Dipantau saja terus, nanti pada saatnya kita akan adakan konferensi pers,” ujar Asep.
DPR Turut Temukan Kejanggalan
Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menemukan kejanggalan dalam pembagian kuota tambahan 20.000 jemaah. Menurut DPR, pembagian 50:50 tidak sesuai dengan undang-undang.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa ada pelanggaran sistematis dalam pengelolaan kuota haji, yang merugikan jemaah reguler sekaligus membuka celah korupsi di Kementerian Agama.