Harian Masyarakat | Dunia kembali berada di bawah bayang-bayang ancaman nuklir. Diplomasi nuklir yang diharapkan membawa stabilitas justru stagnan. Iran, Korea Utara, dan dua raksasa nuklir dunia, Amerika Serikat dan Rusia, semuanya menghadapi kebuntuan serius dalam upaya mengendalikan senjata paling mematikan di bumi.
Iran dan Kegagalan Diplomasi
Program nuklir Iran menjadi sorotan dunia setelah perang Iran-Israel pada Juni 2025. Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyebut Iran telah memiliki 441 kilogram uranium dengan tingkat pengayaan 60 persen. Padahal, untuk membuat senjata nuklir dibutuhkan pengayaan hingga 90 persen.
Sejak perang berakhir, Teheran menolak inspeksi dan negosiasi. Langkah itu dianggap melanggar Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) oleh Inggris, Prancis, dan Jerman (E3). Ketiga negara itu kemudian meminta PBB memberlakukan kembali sanksi internasional terhadap Iran pada 28 September 2025. Amerika Serikat yang sudah keluar dari JCPOA pun menjatuhkan sanksi sepihak.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut kerja sama dengan IAEA kini “tidak relevan” setelah sanksi diberlakukan kembali. Ia juga menyatakan E3 telah “menghilangkan peran mereka” dalam diplomasi nuklir karena menggunakan tekanan politik. “Mereka pikir punya pengaruh dengan ancaman snapback. Sekarang setelah mereka memakainya, hasilnya jelas,” ujarnya di hadapan diplomat asing di Teheran.
Meski menutup pintu bagi E3, Araghchi masih menyisakan ruang bagi diplomasi. Namun, pembicaraan antara Iran dan AS sudah berhenti sejak pecahnya perang Iran-Israel. Menurut Ellie Geranmayeh dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR), masa depan diplomasi Iran-AS suram. “Belum jelas apakah AS ingin bernegosiasi dengan Iran atau justru menginginkan kapitulasi total,” katanya.
Presiden AS Donald Trump mengklaim telah “menghancurkan” program nuklir Iran dan menilai ancamannya tak lagi mendesak. Namun, banyak pihak menilai klaim itu berlebihan. Perang di Timur Tengah telah menguras sumber daya militer dan keuangan AS.
Iran Tuduh Barat Bersikap Munafik
Teheran menuduh IAEA menerapkan standar ganda karena tidak pernah mengecam serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran. Iran juga menegaskan haknya untuk memperkaya uranium sesuai perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT).
Beberapa anggota parlemen Iran bahkan menyarankan agar Iran keluar dari NPT. Namun Presiden Masoud Pezeshkian menegaskan negaranya tetap berkomitmen pada perjanjian itu.
Iran menuduh AS dan Israel menjadi penghalang utama diplomasi. Pemerintah Iran menuntut jaminan dan pengakuan atas haknya sebelum bersedia melanjutkan negosiasi. Di sisi lain, Israel diyakini memiliki puluhan senjata nuklir meski tidak pernah mengakuinya secara resmi.
Korea Utara Kembali Menantang

Sementara itu, upaya AS untuk menekan program nuklir Korea Utara juga tak menghasilkan kemajuan. Korea Selatan memperkirakan Pyongyang memiliki sekitar dua ton uranium dengan pengayaan mendekati 90 persen.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dalam pidatonya akhir September lalu, menyatakan bersedia berunding, tetapi dengan syarat AS tidak lagi mendesak denuklirisasi. Ia bahkan menyebut nama Trump untuk pertama kalinya sejak Januari 2025.
Menurut analis Rachel Minyoung Lee dari Stimson Center, pernyataan Kim adalah undangan bagi Trump untuk “memikirkan ulang kebijakan AS” dan membuka peluang pertemuan baru. Namun belum ada kepastian apakah pertemuan keempat antara Kim dan Trump akan terjadi. Media Korea Selatan melaporkan, Trump kemungkinan akan berkunjung ke Seoul pada 29 Oktober 2025 sebelum Konferensi APEC dan bertemu Presiden China Xi Jinping.
Peneliti keamanan Asia di Stimson Center, Joel S. Wit, menilai Kim versi 2025 berbeda jauh dari Kim pada 2019. “Dulu, Kim serius ingin membangun hubungan baik dengan AS. Sekarang ia ingin menunjukkan diri sebagai pemain utama di kawasan, sejajar dengan China,” ujarnya.
Wit menambahkan, AS perlu fokus pada dua hal: mencegah perang nuklir lewat kesepakatan pembatasan jangka pendek dan memastikan Korea Utara tidak melemahkan aliansi AS di Asia.
Gejolak Timur Tengah dan Asia Timur
Situasi di Timur Tengah makin rapuh. Iran merasa dikepung oleh sanksi dan ancaman militer. Israel tetap waspada, sementara negara-negara Teluk mulai mencari mitra pertahanan baru seperti Pakistan dan Mesir.
“Tanpa jalur diplomatik, Iran bisa saja diam-diam mengembangkan senjata nuklir di lokasi yang tidak diketahui,” kata Geranmayeh. Ia juga menekankan pentingnya Eropa dan AS menahan Israel agar tidak menyerang Iran lagi.
Di Asia Timur, kekhawatiran serupa juga dirasakan Korea Selatan dan Jepang. China dan Korea Utara justru mempererat hubungan. Kim bahkan menghadiri parade militer di Beijing bersama Presiden Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Retaknya Fondasi Keamanan Global
Selain Iran dan Korea Utara, AS juga berhadapan dengan Rusia terkait masa depan Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (New START). Perjanjian yang ditandatangani pada 2010 itu membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis masing-masing negara menjadi 1.550, dengan maksimal 700 peluncur rudal dan pesawat pengebom.
Perjanjian ini akan berakhir pada 5 Februari 2026. Presiden Rusia Vladimir Putin telah menawarkan perpanjangan, tetapi hingga awal Oktober 2025, AS belum memberikan jawaban. Padahal, New START adalah satu-satunya perjanjian nuklir besar yang masih bertahan antara kedua negara.
Pada 2023, Rusia menangguhkan partisipasinya, menuduh AS berhenti bertukar data dan mencoba merusak keamanan nasional Rusia. Washington kemudian ikut menangguhkan perjanjian itu. Meski demikian, kedua negara masih mematuhi batasan jumlah senjata sesuai kesepakatan.

Jon Wolfsthal, pengamat nuklir dari Federasi Ilmuwan Amerika (FAS), memperingatkan, “Tanpa perjanjian baru, kedua negara dengan arsenal nuklir terbesar di dunia akan hidup berdampingan tanpa batasan untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun.”
AS disebut memiliki sekitar 3.700 senjata nuklir, Rusia 4.300, dan China sekitar 600. “Dengan laju saat ini, China butuh 30 tahun untuk menyamai AS,” kata Wolfsthal. Ia menyarankan AS memperpanjang New START setidaknya satu tahun sambil memastikan Rusia patuh pada inspeksi.
Trump dan Retorika Militer
Dalam pidato di pangkalan Angkatan Laut AS di Norfolk, Virginia, Trump menegaskan bahwa AS siap menghadapi ancaman apa pun, termasuk jika Iran mencoba menghidupkan kembali program nuklirnya. “Jika Iran mencoba memulai lagi, kami akan menanganinya juga,” katanya di hadapan para pelaut dalam acara peringatan 250 tahun Angkatan Laut AS.
Ia menyombongkan kekuatan militernya dengan berkata, “Di samping kita ada 150.000 ton supremasi Angkatan Laut Amerika, dua alasan besar mengapa tak ada yang mau memulai pertarungan dengan AS.”
Dunia di Persimpangan
Tiga front nuklir besar; Iran, Korea Utara, dan hubungan AS-Rusia, menunjukkan satu hal: dunia berada di persimpangan berbahaya. Setiap kebuntuan diplomasi bisa berubah menjadi konflik terbuka.
Perjanjian dan negosiasi yang runtuh berarti kontrol terhadap senjata nuklir semakin lemah. Jika negara-negara besar gagal menahan diri, era perlombaan senjata baru bisa dimulai lagi.
Geranmayeh menutup dengan peringatan tajam, “Tanpa diplomasi, dunia akan kembali ke masa ketika ancaman nuklir menjadi hal normal.”















