Harian Masyarakat | Program Makan Bergizi Gratis (MBG) resmi dijalankan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka sejak 6 Januari 2025. Targetnya, anak-anak sekolah dasar dan menengah mendapat makanan sehat setiap hari. Namun, pelaksanaan awal langsung bermasalah. Ribuan anak dilaporkan keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis. Situasi ini memicu pertanyaan serius: apa yang salah, dan apa yang bisa dipelajari Indonesia dari negara lain yang lebih dulu menjalankan program serupa?
Saat ini, lebih dari 418 juta anak di dunia mendapat makan gratis atau bersubsidi di sekolah. Sekitar 41 persen anak SD sudah terlindungi program ini. Di negara maju, cakupannya bahkan 61 persen. Ada 77 negara yang tergabung dalam School Meals Coalition, dengan target setiap anak sekolah mendapatkan satu makanan bergizi per hari pada 2030.
Jepang: Landasan Hukum dan Edukasi Gizi
Jepang menjadi contoh kuat. Program makan sekolah sudah ada sejak 1889, awalnya untuk anak miskin. Setelah Perang Dunia II, pemerintah menjadikannya program nasional untuk mencegah malnutrisi. Pada 1954, lahir School Lunch Act yang mewajibkan semua sekolah negeri menyediakan makan siang bergizi.

Poin penting dari Jepang:
- Ada landasan hukum permanen sehingga program tidak mudah berubah meski berganti pemerintahan.
- Dikelola oleh ahli gizi dan guru khusus yang juga mendidik anak dan orang tua tentang pola makan sehat.
- Menu berbasis produk lokal dan musiman, selaras dengan pendidikan gizi (shokuiku).
Cakupannya hampir penuh: 98,8 persen di SD dan 79 persen di SMP. Hasil studi menunjukkan program ini menutup kesenjangan gizi antara anak kaya dan miskin.
Korea Selatan: Standar Emas dengan Biaya Tinggi
Korea Selatan baru melaksanakan program nasional pada 2010-an. Kini semua anak dari TK hingga SMA mendapat makan gratis. Pemerintah pusat menanggung 67 persen biaya, sisanya ditanggung daerah. Tahun 2022, anggarannya Rp138 triliun.
Menu mereka dikenal “standar emas” karena kualitas dan presentasi tinggi. Namun ada masalah ketenagakerjaan: koki sekolah menuntut perbaikan upah dan kondisi dapur. Pesan dari Korea: kualitas butuh investasi besar, dan tenaga kerja harus diperhatikan.
India: Skala Terbesar Dunia
India menjalankan Mid-Day Meal Programme sejak 1995, mencakup 125 juta anak usia 6–14 tahun. Biayanya mencapai 2,8 miliar dolar AS per tahun. Tujuannya: mengurangi kelaparan, meningkatkan kehadiran di sekolah, dan memperbaiki kesehatan generasi berikutnya.
Hasil penelitian menunjukkan program ini berdampak lintas generasi. Anak perempuan yang dulu penerima manfaat kini melahirkan anak dengan risiko stunting lebih rendah.
Brasil: Nutrisi, Edukasi, dan Petani Lokal
Brasil memperluas program makan sekolah ke semua anak pada 2009, mencakup 40 juta siswa. Sistem ini didukung 8.000 ahli gizi. Ada aturan minimal 30 persen bahan makanan berasal dari petani lokal. Artinya, program bukan hanya soal anak, tapi juga memperkuat ekonomi desa dan mendorong pertanian berkelanjutan.
Eropa Utara: Akses Universal dan Dampak Ekonomi
- Finlandia: sejak 1948 semua anak usia 6–16 mendapat makan gratis. Menu khasnya termasuk bakso kentang tumbuk dan pancake bayam.
- Swedia: menyediakan 260 juta makanan gratis per tahun. Studi menunjukkan anak miskin yang menerima makan sekolah selama sembilan tahun meningkatkan pendapatan seumur hidup 6 persen. Rasio manfaat terhadap biaya mencapai 7:1.
- Estonia: semua anak sekolah dasar dan menengah mendapat satu makanan panas per hari, ditambah program buah, sayur, dan susu gratis.

Amerika Serikat: Tantangan Standar Gizi
Program makan siang nasional dimulai sejak 1946. Saat pandemi Covid-19, semua anak mendapat makan gratis. Kini beberapa negara bagian melanjutkannya, seperti California dan New York.
Meski begitu, standar gizi sering diperdebatkan. Misalnya, dua sendok pasta tomat pernah disamakan dengan satu porsi sayuran, sehingga pizza masuk menu resmi. Meski ada kelemahan, dietitian menekankan program ini tetap membantu anak membangun kebiasaan sehat.
Kolombia: Korupsi dan Reformasi Digital
Kolombia menjalankan Programa de Alimentación Escolar. Namun pada 2016 terungkap dana 175 juta dolar AS hilang akibat korupsi. Anak-anak tidak mendapat makanan sesuai standar. Pemerintah lalu melibatkan teknologi dan orang tua untuk mengawasi kualitas menu. Hasilnya, transparansi meningkat meski butuh waktu panjang.
Afrika: Komitmen Anggaran Domestik
Rwanda meningkatkan jangkauan dari 660 ribu siswa (2020) menjadi 3,8 juta (2022). Anggaran dinaikkan sepuluh kali lipat. Benin mengalokasikan 270 juta dolar AS untuk lima tahun ke depan. Keduanya menggunakan dana APBN, bukan bantuan internasional.
Pelajaran untuk Indonesia

Kasus keracunan dalam program MBG harus dijadikan titik balik. Ada beberapa refleksi penting:
- Perkuat dasar hukum
Jepang membuktikan undang-undang membuat program stabil dan berkelanjutan. Indonesia perlu membuat dasar hukum yang jelas, bukan sekadar janji politik. - Libatkan ahli gizi dan pendidikan
Makan sekolah bukan sekadar kenyang. Jepang menanamkan edukasi gizi sejak dini. Indonesia harus menempatkan ahli gizi di sekolah, bukan hanya vendor katering. - Gunakan produk lokal
Brasil menunjukkan 30 persen bahan dari petani lokal. Ini bisa menekan biaya, meningkatkan kualitas, dan menyejahterakan desa. - Bangun sistem pengawasan transparan
Kasus Kolombia jadi peringatan. Teknologi dan keterlibatan orang tua penting untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan. - Jaga kualitas dan tenaga kerja
Korea Selatan menekankan standar tinggi, tapi tenaga dapur juga harus dihargai. Indonesia perlu standar gaji dan dapur sekolah yang layak. - Hitung manfaat jangka panjang
Swedia membuktikan investasi gizi meningkatkan kualitas pendidikan dan pendapatan generasi berikutnya.
Program makan bergizi gratis (MBG) bisa menjadi investasi besar untuk masa depan bangsa. Namun, jika salah kelola, risikonya bukan hanya pemborosan anggaran, tapi juga membahayakan nyawa anak-anak. Indonesia punya banyak contoh dari dunia: Jepang dengan dasar hukum kuat, Brasil dengan integrasi petani lokal, India dengan skala masif, hingga Swedia dengan bukti manfaat ekonomi.
Kini tantangannya jelas. Indonesia harus berani memperbaiki fondasi makan bergizi gratis (MBG) dengan transparansi, kualitas, dan partisipasi masyarakat agar tragedi keracunan tidak terulang, dan generasi mendatang tumbuh lebih sehat, cerdas, dan produktif.