Harian Masyarakat | Awal Oktober 2025, warga Cirebon dan Kuningan dikejutkan oleh cahaya terang melesat di langit sore. Rekaman CCTV memperlihatkan bola api melintas cepat sekitar pukul 18.35 WIB, diikuti suara dentuman keras beberapa menit kemudian.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memastikan benda itu adalah meteor cukup besar yang melintas dari arah barat daya dan jatuh di Laut Jawa. Profesor Riset Astronomi BRIN, Thomas Djamaluddin, menjelaskan bahwa gelombang kejut yang terdengar berasal dari gesekan meteor dengan lapisan udara rendah atmosfer.

“Ketika memasuki atmosfer yang lebih rendah, meteor menimbulkan gelombang kejut berupa suara dentuman,” kata Thomas.
Sensor BMKG Cirebon juga mencatat getaran pada pukul 18.39 WIB, menandakan ada ledakan di udara akibat tekanan besar saat meteor pecah sebelum mencapai permukaan. Tidak ada kerusakan berarti, namun peristiwa ini jadi pengingat: apa yang terjadi jika batu luar angkasa sejenis benar-benar menghantam daratan?
Dari Debu Luar Angkasa hingga Meteor di Langit
Sebelum jatuh ke Bumi, batu luar angkasa ini disebut meteoroid, pecahan kecil dari asteroid atau komet yang mengorbit Matahari. Ketika masuk atmosfer Bumi dengan kecepatan puluhan ribu kilometer per jam, gesekan udara membuatnya terbakar dan tampak seperti meteor atau “bintang jatuh.”
Sebagian besar habis terbakar di udara. Tapi jika ada bagian yang berhasil mencapai permukaan, sisanya disebut meteorit. Jumlah material yang jatuh ke Bumi diperkirakan mencapai 48 ton setiap hari. Namun 95% di antaranya berukuran sangat kecil, setara butiran pasir atau kerikil.
Beberapa meteorit besar yang pernah ditemukan berasal dari asteroid sabuk utama antara Mars dan Jupiter, sementara sebagian kecil berasal dari Bulan dan Mars. Dengan mempelajari meteorit, ilmuwan bisa mengetahui usia dan komposisi awal tata surya yang terbentuk 4,6 miliar tahun lalu.

Ketika Meteor Tak Hancur di Udara
Sebagian besar batu luar angkasa lebih kecil dari lapangan sepak bola dan hancur sebelum mencapai tanah. Tapi jika ukurannya lebih besar, dampaknya bisa fatal.
Contoh paling terkenal adalah peristiwa Tunguska (1908) di Siberia. Sebuah meteor berdiameter sekitar 40 meter meledak di udara dengan kekuatan setara 1.000 bom atom Hiroshima. Ledakan itu meratakan 80 juta pohon di area seluas 2.000 km², sebesar wilayah London.
Lalu pada 2013 di Chelyabinsk, Rusia, meteoroid berdiameter 20 meter meledak 23 km di atas permukaan tanah. Energi ledakannya mencapai 440.000 ton TNT, menghancurkan kaca jendela di radius 200 km² dan melukai lebih dari 1.600 orang.
Peristiwa di Cirebon hanyalah versi kecil dari kejadian serupa. Jika meteor lebih besar, dampaknya bisa berubah dari sekadar dentuman menjadi bencana regional.
Apa yang Terjadi Jika Meteor Besar Benar-Benar Jatuh?
Menurut analisis US Geological Survey (USGS) dan NASA, dampak meteor atau asteroid ke Bumi tergantung ukuran dan komposisinya.
- Meteor seukuran rumah (10 meter): menghasilkan energi setara bom Hiroshima. Bisa menghancurkan area hingga 1 km dari titik jatuh.
- Setinggi 20 lantai (60 meter): kekuatan ledakan setara 25–50 megaton. Cukup untuk meratakan satu kota besar.
- Selebar 10 kilometer: seperti asteroid yang memusnahkan dinosaurus 66 juta tahun lalu. Debu tebal di atmosfer menghalangi sinar matahari, suhu turun drastis, ekosistem runtuh, dan 75% spesies punah.
- Selebar 90 kilometer: bisa menghancurkan hampir semua kehidupan di Bumi.
Asteroid yang Mungkin Menuju Bumi
Akhir 2024, teleskop di Chile menemukan asteroid 2024 YR4 berdiameter hampir 90 meter yang melintas dekat Bumi. Saat ini jaraknya sekitar 30 juta mil dan terus menjauh, namun peluang kecil sekitar 1% masih tercatat untuk kemungkinan tumbukan pada Desember 2032.
NASA menegaskan kemungkinan itu sangat kecil dan masih bisa dihapus seiring data baru dikumpulkan. Namun jika benar terjadi, jalur jatuhnya diperkirakan melintasi Samudra Pasifik bagian timur, Amerika Selatan bagian utara, Samudra Atlantik, Laut Arab, hingga Asia Selatan.

Upaya Pertahanan Planet: Menepis Batu dari Langit
Ancaman asteroid membuat banyak lembaga dunia mengembangkan sistem pertahanan planet. NASA memimpin proyek deteksi dini dan simulasi defleksi orbit asteroid.
Pada 2022, NASA sukses menjalankan misi DART (Double Asteroid Redirection Test). Sebuah wahana ruang angkasa diluncurkan dan sengaja menabrak asteroid Dimorphos dengan kecepatan 6,6 km per detik. Hasilnya, orbit asteroid itu berubah. Ini adalah pertama kalinya manusia berhasil mengubah jalur benda langit.
Langkah pertahanan ini biasanya melalui lima tahap:
- Deteksi: mencari asteroid berisiko melalui teleskop dan kamera inframerah.
- Observasi: memantau pergerakannya selama berbulan-bulan untuk menentukan jalur orbit.
- Karakterisasi: menganalisis struktur, komposisi, dan kecepatan asteroid.
- Defleksi: mengubah arah asteroid menggunakan gravitasi, tabrakan terencana, atau laser.
- Koordinasi global: menyiapkan protokol darurat dan pelatihan bencana jika tumbukan tak bisa dihindari.
Seberapa Siap Kita?
NASA mengklaim telah memetakan 90% asteroid besar di dekat Bumi. Sebagian besar tak berisiko dalam ratusan tahun ke depan. Tapi jutaan batu luar angkasa berukuran kecil masih luput dari pantauan.
Itulah mengapa Hari Asteroid Internasional (30 Juni) digagas oleh PBB sejak 2016. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran global terhadap ancaman benda langit dan pentingnya kolaborasi riset pertahanan planet.
Cirebon Sebagai Pengingat dari Langit

Peristiwa meteor di atas langit Cirebon menunjukkan bahwa Bumi bukan tempat yang benar-benar aman dari langit. Meski kali ini meteor hanya meledak di udara dan jatuh ke laut, dampak yang lebih besar selalu mungkin terjadi.
Dari dentuman singkat di Laut Jawa, umat manusia diingatkan bahwa ruang angkasa bukan hanya tempat keajaiban, tetapi juga sumber potensi ancaman. Dan sejauh apa pun kita melangkah, pertahanan terbaik manusia tetaplah pengetahuan dan kesiapan menghadapi yang tak terduga.















