Harian Masyarakat | Microsoft kini menghadapi sorotan besar terkait perannya dalam konflik Israel-Palestina. Laporan keuangan tahun 2024 menunjukkan bahwa layanan komputasi awan Azure menjadi penyumbang hampir separuh pendapatan perusahaan. Sementara sistem operasi Windows hanya menyumbang sekitar 10 persen.
Azure bukan hanya sumber keuntungan utama, tetapi juga menjadi pusat kontroversi. Teknologi ini diduga dipakai militer Israel, Tzahal, untuk mengelola data intelijen dan menjalankan operasi militer, termasuk di Gaza dan Tepi Barat.
Gangguan Kabel Bawah Laut di Laut Merah
Isu Azure makin mencuat setelah putusnya kabel bawah laut di dekat Jeddah, Arab Saudi. Laporan televisi Al-Masirah dari Yaman menyebut kabel itu rusak, meski waktu pastinya belum jelas.
Menurut NetBlocks, ada dua sistem kabel yang terdampak, masing-masing dikelola oleh Tata Communications (India) dan Alcatel Submarine Networks (Perancis-Finlandia). Pemerintah Kuwait dan Pakistan mengonfirmasi adanya gangguan.
Microsoft menyatakan layanan Azure untuk pelanggan di Timur Tengah dan Asia Selatan terganggu akibat insiden tersebut. Perusahaan menegaskan butuh waktu lama untuk memperbaiki jaringan kabel bawah laut itu.
Sementara itu, Menteri Informasi Yaman Moammar al-Eryani menuding kelompok Houthi terlibat dalam pemotongan kabel. Houthi sendiri menyangkal hal itu, meskipun sejak serangan Israel ke Gaza pada Oktober 2023 mereka kerap menyerang kapal yang dianggap terkait Israel di Laut Merah.
Azure Dipakai Intelijen Israel
Laporan investigasi dari Associated Press, The Guardian, +972 Magazine, dan Local Call mengungkapkan bahwa Unit 8200, divisi intelijen digital Israel, memanfaatkan Azure untuk menyimpan hasil penyadapan massal terhadap warga Palestina.
Data hasil penyadapan ponsel di Gaza dan Tepi Barat disimpan di server Microsoft, lalu diproses dengan bantuan kecerdasan buatan. Teknologi itu digunakan untuk merencanakan serangan militer.
Unit 8200 dan Direktorat Komando, Kendali, Komputer, Komunikasi, dan Informatika (C4I) Tzahal diduga mengandalkan Azure dalam operasi intelijen, termasuk dalam serangan ke Gaza. Sumber di dalam Unit 8200 mengakui adanya penyadapan massal, meski legalitasnya diragukan.
Investigasi Internal dan Eksternal
Microsoft beberapa kali menyatakan bahwa kerja samanya dengan Israel tidak membahayakan warga sipil. Namun setelah laporan investigasi terbaru, perusahaan menunjuk firma hukum Covington & Burling LLP untuk melakukan penyelidikan independen.
Dalam pernyataan resmi, Microsoft menegaskan bahwa penggunaan Azure untuk penyimpanan hasil pengawasan massal warga sipil melanggar ketentuan layanan. Perusahaan berjanji membagikan hasil tinjauan eksternal kepada publik.
Ini menjadi penyelidikan kedua terkait hubungan Microsoft dan militer Israel. Penyelidikan pertama, awal 2025, tidak menemukan bukti pelanggaran. Namun laporan baru dari The Guardian dinilai cukup serius untuk ditinjau lebih lanjut.
Protes Pegawai Microsoft
Kontroversi ini memicu protes di internal perusahaan. Sejumlah karyawan bergabung dalam kelompok aktivis No Azure for Apartheid yang menuntut Microsoft memutus kerja sama dengan Israel.
Pada Mei 2025, Joe Lopez, seorang insinyur firmware di tim Azure, menyela pidato CEO Satya Nadella di konferensi Build di Seattle. Lopez menuduh perusahaan tersebut terlibat dalam genosida di Gaza. Ia kemudian dikeluarkan dari acara dan mengirim email ke ribuan karyawan, menegaskan penolakannya atas keterlibatan perusahaan dalam konflik.
Belum lama ini, empat karyawan lainnya juga dipecat setelah ikut aksi protes di kantor pusat. Dua di antaranya, Anna Hattle dan Riki Fameli, dipecat lewat pesan suara setelah menduduki kantor Presiden Microsoft Brad Smith. Dua karyawan lain, Nisreen Jaradat dan Julius Shan, juga diberhentikan setelah ikut mendirikan kamp protes di kantor pusat.
Manajemen Microsoft menyebut aksi itu melanggar aturan perusahaan dan menimbulkan risiko keamanan. Namun kelompok No Azure for Apartheid menilai pemecatan itu sebagai upaya membungkam suara pekerja yang menolak keterlibatan Microsoft dalam konflik.
Gelombang Protes Global
Microsoft bukan satu-satunya perusahaan teknologi yang menghadapi tekanan. Google dan Amazon juga dikritik karena kontrak komputasi awan mereka dengan Israel.
Di berbagai negara, protes mahasiswa, pekerja teknologi, dan aktivis kemanusiaan menuntut perusahaan besar memutus kontrak dengan Israel. Kritik semakin meluas seiring laporan bahwa lebih dari 56 ribu warga Palestina di Gaza tewas sejak Oktober 2023, jutaan lainnya mengungsi, dan blokade bantuan kemanusiaan makin memperburuk kondisi.
Microsoft di Persimpangan
Kasus ini menempatkan Microsoft dalam posisi sulit. Di satu sisi, Azure menjadi mesin utama pertumbuhan bisnis perusahaan. Di sisi lain, keterlibatan dalam konflik Israel-Palestina membuat citra perusahaan tercoreng dan memicu perlawanan dari dalam tubuhnya sendiri.
Microsoft berjanji akan melanjutkan penyelidikan independen dan meninjau kembali kontraknya dengan pihak militer Israel. Namun, tekanan publik, protes karyawan, dan sorotan internasional menunjukkan bahwa polemik ini masih jauh dari selesai.