Harian Masyarakat | Sejak akhir Agustus 2025, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi terjadi di berbagai SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo. Antrean panjang di Jakarta, Surabaya, Bandung, hingga Tangerang Selatan menjadi pemandangan sehari-hari.
Produk unggulan seperti Shell Super, Shell V-Power, Shell V-Power Nitro+, dan sebagian produk BP kosong di banyak titik. Beberapa SPBU bahkan berhenti beroperasi karena tidak memiliki pasokan sama sekali. BP-AKR mengakui kondisi ini berdampak pada evaluasi bisnis mereka, termasuk rencana pembangunan SPBU baru.
Kondisi ini membuat konsumen beralih ke SPBU Pertamina, sementara sebagian pekerja di SPBU swasta dirumahkan akibat operasional yang terganggu.
Penyebab Kelangkaan
Ada beberapa faktor yang memicu krisis BBM nonsubsidi di SPBU swasta:
- Perubahan izin impor
Kementerian ESDM sejak Februari 2025 mengubah izin impor dari satu tahun menjadi enam bulan, dengan evaluasi setiap tiga bulan. Proses perizinan yang panjang membuat SPBU swasta sering telat mendapat persetujuan impor. Shell, misalnya, baru mendapat izin impor pada Januari 2025, padahal pengajuan dilakukan sejak September 2024. - Pengalihan impor BBM
Pemerintah berencana mengurangi ketergantungan impor dari Singapura yang sebelumnya menyumbang 54–59 persen pasokan nasional, lalu mengalihkannya ke Timur Tengah dan Amerika Serikat. Transisi ini menyebabkan gangguan distribusi. - Kebijakan impor satu pintu
Mulai pertengahan 2025, pemerintah mewajibkan seluruh impor BBM dilakukan melalui PT Pertamina (Persero). Artinya, SPBU swasta tidak bisa lagi bebas mengimpor BBM sesuai kebutuhan, tetapi harus membeli pasokan dari Pertamina. - Kebijakan kuota terbatas
Walaupun pemerintah menyebut sudah menambah kuota impor bagi swasta sebesar 10 persen dibanding 2024, pasokan tetap tidak cukup menutup kebutuhan pasar yang terus naik seiring bertambahnya kendaraan bermotor.
Pemerintah dan Pertamina Membela Kebijakan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah sudah memberi tambahan kuota impor 110 persen dari tahun sebelumnya. Menurutnya, tidak tepat jika SPBU swasta menuding kekurangan pasokan akibat kebijakan pemerintah.
Bahlil menyarankan SPBU swasta membeli langsung dari Pertamina untuk menutup kebutuhan. Ia mengklaim stok Pertamina cukup hingga akhir tahun. Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, juga membantah tudingan kendali tunggal pasar. Menurutnya, kuota impor Pertamina dan swasta telah diatur bersama Kementerian ESDM dan BPH Migas sesuai permintaan.
Dugaan Monopoli oleh Pertamina
View this post on Instagram
Meski dibantah, banyak pihak menilai kebijakan impor satu pintu berpotensi menimbulkan monopoli oleh Pertamina.
- Fahmy Radhi, Ekonom UGM, menyebut kebijakan ini akan membuat harga BBM ditentukan sepenuhnya oleh Pertamina. Swasta kehilangan opsi impor murah sehingga margin keuntungan menurun, bahkan bisa memicu pencabutan investasi dari Indonesia. Menurutnya, kondisi ini bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi.
- Pri Agung Rakhmanto, Dosen Universitas Trisakti, menilai pemerintah perlu transparan. Arahan pembelian dari Pertamina membuat usaha swasta asing di sektor BBM tidak stabil karena kehilangan kebebasan berbisnis.
- Bisman Bakhtiar, Pushep, menilai kelangkaan juga dipengaruhi kuota impor terbatas di tengah permintaan pasar yang meningkat.
Risiko Monopoli bagi Konsumen dan Investasi
Jika hal tersebut Pertamina terjadi, ada beberapa risiko:
- Bagi konsumen
Pilihan produk BBM akan semakin terbatas, harga cenderung naik, dan kualitas layanan berpotensi menurun karena tidak ada persaingan. - Bagi investor
Swasta bisa kehilangan minat membuka SPBU baru atau bahkan keluar dari Indonesia karena iklim usaha tidak kondusif. - Bagi tenaga kerja
Jika SPBU swasta terus kekurangan pasokan, banyak pekerja bisa terdampak pemutusan hubungan kerja.
Sejarah Dugaan Monopoli Pertamina
Pertamina bukan kali pertama terseret isu monopoli.
- 2014 – KPPU menyoroti kenaikan harga LPG 12 kg sebesar 67,7 persen yang diputuskan Pertamina tanpa dasar kewenangan.
- 2019 – Pertamina dituding melakukan kendali tunggal atas pasar avtur. Dirut saat itu, Nicke Widyawati, mengakui Pertamina satu-satunya penjual avtur dalam negeri.
- 2024 – KPPU menyelidiki Pertamina Patra Niaga atas dugaan monopoli avtur di 72 bandara. Harga avtur di Indonesia tercatat tinggi.
- 2025 – Pertamina Patra Niaga kembali diperiksa KPPU karena menguasai lebih dari 80 persen pasokan LPG nonsubsidi dengan keuntungan sangat tinggi.
Kasus-kasus tersebut memperkuat persepsi publik bahwa Pertamina kerap berada dalam posisi dominan yang mendekati kendali tunggal.
Tantangan Kebijakan Publik
Secara hukum, monopoli bisa dibenarkan jika untuk kepentingan umum sesuai UU No. 5 Tahun 1999. Namun, manfaat harus lebih besar daripada kerugian.
Kebijakan impor satu pintu melalui Pertamina dianggap pemerintah sebagai cara menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan. Namun, jika tidak transparan dan tidak dievaluasi, kebijakan ini bisa memperkuat dominasi Pertamina serta mematikan kompetisi.
Pengalaman internasional menunjukkan penguasaan penuh pasar oleh BUMN biasanya disertai pengawasan ketat, transparansi data supply-demand, serta keterlibatan swasta secara proporsional. Tanpa itu, pasar kehilangan dinamika sehat.
Kelangkaan BBM nonsubsidi sejak Agustus 2025 memperlihatkan rapuhnya tata kelola pasokan energi Indonesia. Kebijakan impor satu pintu lewat Pertamina dipandang sebagai solusi jangka pendek, tetapi menimbulkan dugaan monopoli yang berpotensi merugikan konsumen, swasta, dan investor.
Pertamina boleh menjadi pemain utama dalam menjaga ketahanan energi nasional, tetapi bukan satu-satunya. Diversifikasi pelaku, transparansi distribusi, serta mekanisme persaingan sehat tetap diperlukan agar krisis BBM tidak berulang.