Kebijakan negara memungut pajak dari rakyat mulai tergambar dari rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memungut pajak sebesar 0,5% dari penghasilan penjual e-commerce, hak ini kembali menuai gelombang penolakan.
Kebijakan ini ditujukan bagi pedagang online dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar yang berjualan di platform besar seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, TikTok Shop, dan Bukalapak.
Namun di mata publik, langkah ini dianggap sebagai bentuk baru dari “negara ngemis” kepada rakyatnya, khususnya sektor UMKM yang selama ini justru menopang perekonomian nasional.
Reaksi Warganet: Negara Dituding Tak Lagi Punya Rasa Malu
Sejak pengumuman rencana tersebut, akun media sosial Sri Mulyani dibanjiri komentar pedas dari warganet. Banyak dari mereka merasa bahwa pemerintah seolah kehabisan cara mencari pemasukan, dan akhirnya malah “malak” rakyat kecil dari segala arah—dunia nyata hingga dunia digital.
Salah satu pengguna Instagram, @hany*8y, menulis, “Nggak kasihan sama orang yang jualan di e-commerce, Bu? Dapat baru seberapa, sudah dipotong macam-macam, sekarang pajak lagi.
” Komentar serupa datang dari @heil yang menilai bahwa potongan platform e-commerce saja sudah mencekik, mencapai 13,5% dari omzet, bukan dari laba.
“Sudah bantu lapangan kerja, gaji kecil, sekarang malah diincer pajaknya,” tulisnya.
Diksi “negara ngemis” dan “pajak rakyat kecil” menjadi tren di berbagai platform media sosial. Banyak yang menilai bahwa Sri Mulyani lebih suka mengejar pajak dari pedagang online dibanding menindak tegas para koruptor kelas kakap.
Akun X @Jumianto_RK bahkan menyebut, “Ekonomi makin berat, dagangan makin sepi. Tapi yang diperas tetap rakyat kecil. Kenapa bukan kejar koruptor yang bawa kabur triliunan?”
Beban Ganda: Pajak Bertambah, Biaya Platform Naik
Wacana ini datang bersamaan dengan rencana Shopee untuk memberlakukan biaya tambahan aplikasi sebesar Rp1.250 per transaksi mulai Juli 2025.
Penjual online pun merasa terjepit di tengah biaya operasional yang semakin menanjak. Tidak hanya harus berhadapan dengan algoritma dan kompetisi pasar yang ketat, kini mereka juga dibebani pungutan dari negara yang dianggap tidak tepat sasaran.
Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) menyatakan keprihatinan mereka terhadap langkah ini. Mereka memang menyatakan siap mematuhi regulasi, tetapi mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa menghambat pertumbuhan UMKM digital.
“Butuh kesiapan sistem, komunikasi menyeluruh, dan strategi perlindungan terhadap seller kecil. Jangan sampai kebijakan ini justru memukul ekosistem yang sedang berkembang,” ujar perwakilan idEA dalam konferensi pers terbaru.
Yusuf Rendy Manilet, pengamat dari Core Indonesia, menegaskan bahwa penarikan pajak secara kaku bisa mendorong penjual menjauh dari platform digital.
“Jangan sampai demi menutup lubang APBN, negara justru merusak tulang punggung ekonomi digital,” jelasnya.
Ia menambahkan, e-commerce Indonesia yang mencatat nilai transaksi bruto US$65 miliar pada 2024 semestinya diberi insentif, bukan disandera pajak.
Pemerintah Dikecam: Cari Duit Rakyat Padahal Kasus Korupsi Menggunung
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menepis tuduhan bahwa pemerintah hanya memikirkan pendapatan. Direktur Penyuluhan DJP, Rosmauli, menyatakan bahwa ini bukan pajak baru, melainkan penyederhanaan administrasi.
Ia juga memastikan pedagang kecil tetap dikecualikan. Namun, argumen ini tak mampu meredam amarah publik.
Kritikus menyebut, langkah ini hanya pengulangan dari kegagalan 2018 lalu, ketika kebijakan serupa ditarik hanya dalam waktu tiga bulan karena resistensi yang kuat dari industri dan masyarakat.
“Sudah tahu gagal, tapi tetap dicoba lagi. Ini bukan reformasi, ini pemaksaan,” tulis akun X @ardisatriawan.
Dalam konteks fiskal, kebijakan ini tampak seperti langkah panik. Sri Mulyani sebelumnya melaporkan defisit APBN sebesar Rp309,2 triliun dan penerimaan pajak yang baru menyentuh 31,2% dari target.
Dalam kondisi ini, wacana pajak UMKM online dinilai sebagai cara cepat menambal kekurangan tanpa menyentuh masalah mendasar—yaitu penegakan hukum atas kasus korupsi besar dan pengelolaan anggaran negara yang bocor di berbagai lini.
Apalagi, di saat yang sama pemerintah belum menunjukkan kemajuan dalam mengusut atau menyita aset hasil korupsi yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah, termasuk dari kasus-kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri, hingga dugaan permainan proyek strategis nasional.
Pelaku UMKM yang selama ini mengandalkan e-commerce sebagai penyambung hidup, kini merasa dipinggirkan. Dengan potensi penurunan daya beli, kenaikan harga barang, hingga risiko tutupnya toko-toko kecil online, wacana ini dianggap sebagai bukti bahwa negara mulai kehilangan arah: bukan lagi berpihak pada rakyat, tapi malah menjadikan rakyat sebagai objek pungutan di segala lini.
Jika kebijakan ini tetap dilanjutkan tanpa perbaikan struktural dan pemihakan pada pelaku usaha kecil, maka dampaknya bisa jauh lebih luas dari sekadar protes di media sosial. Ini bisa menjadi lonceng kemunduran ekonomi digital Indonesia—dan menambah daftar panjang bukti bahwa negara tidak lagi malu meminta, bahkan pada mereka yang paling rentan.