Harian Masyarakat | Dalam empat tahun terakhir, tiga negara di Asia Selatan — Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka — menghadapi gejolak politik besar yang dipicu oleh protes rakyat, terutama generasi muda. Ketiga negara ini sama-sama mengalami krisis akibat korupsi, kesenjangan ekonomi, pengangguran, serta gaya hidup mewah elite politik yang jauh dari realitas rakyat.
Gerakan massa yang awalnya dipicu isu tertentu kemudian berubah menjadi gelombang besar yang menggulingkan pemimpin nasional. Sri Lanka kehilangan presidennya pada 2022, Bangladesh menggulingkan perdana menterinya pada 2024, dan Nepal kini mengalami situasi serupa pada 2025.
Nepal: Puncak Amarah Generasi Z
Pemicu Protes
Gelombang demonstrasi di Nepal dimulai pada 8 September 2025 setelah pemerintah melarang lebih dari dua lusin platform media sosial populer, termasuk Facebook, Instagram, X, dan YouTube. Kebijakan ini memicu kemarahan generasi muda, khususnya Gen Z, yang melihatnya sebagai serangan terhadap kebebasan berekspresi.
Namun, larangan media sosial hanya menjadi pemicu. Rakyat sudah lama marah melihat praktik korupsi, nepotisme, dan kesenjangan sosial. Anak-anak pejabat politik pamer kemewahan, sementara mayoritas penduduk hidup dalam kesulitan ekonomi dan pengangguran.
Bentrokan Berdarah
Unjuk rasa yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan besar. Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, bahkan peluru tajam. Setidaknya 19 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.
Massa yang marah kemudian membakar gedung parlemen, rumah dinas presiden, kediaman perdana menteri, serta rumah politisi lain. Gedung pemerintahan utama, Singha Durbar, juga dijarah dan diambil alih oleh demonstran.
Kejatuhan Perdana Menteri Oli
Perdana Menteri Khadga Prasad Oli awalnya mencoba meredam situasi dengan mencabut larangan media sosial, namun langkah itu gagal. Tekanan publik, oposisi, bahkan partai koalisinya sendiri membuat Oli mengundurkan diri. Presiden Ram Chandra Poudel menunjuk Oli sebagai perdana menteri sementara hingga pemerintahan baru terbentuk.
Saat ini negara tersebut berada dalam ketidakpastian. Ada wacana pembentukan pemerintahan konsensus, bahkan sebagian masyarakat menyerukan kembalinya monarki. Tentara juga telah diterjunkan ke jalan dengan memberlakukan jam malam tanpa batas waktu.
Bangladesh: Kejatuhan Sheikh Hasina pada 2024
Latar Belakang
Bangladesh sempat dipimpin Sheikh Hasina selama hampir 15 tahun. Namun, ketidakpuasan publik memuncak setelah Mahkamah Agung mengembalikan aturan kuota pekerjaan pegawai negeri untuk keturunan veteran perang kemerdekaan 1971. Kebijakan itu dianggap tidak adil oleh mahasiswa dan generasi muda.
Aksi Mahasiswa yang Membesar
Protes mahasiswa berubah menjadi pemberontakan nasional pada Juli 2024. Pemerintah melakukan penindakan keras, termasuk penangkapan massal dan dugaan penyiksaan. Lebih dari 300 orang, sebagian besar mahasiswa, tewas dalam kekerasan.
Tumbangnya Hasina
Situasi memuncak pada 5 Agustus 2024 ketika aparat keamanan menolak lagi membendung massa. Hasina akhirnya mengundurkan diri dan melarikan diri ke India dengan helikopter. Pemerintahan sementara dipimpin peraih Nobel, Muhammad Yunus, yang ditunjuk sebagai kepala pemerintahan transisi.
Kondisi Terkini
Setahun setelah jatuhnya Hasina, negara tersebut masih diliputi ketidakstabilan. Partai politik berselisih soal jadwal pemilu, kekerasan politik meningkat, dan kelompok minoritas rentan menghadapi serangan kelompok garis keras agama.
Sri Lanka: Krisis Ekonomi dan Kejatuhan Rajapaksa
Krisis 2022
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi terparah dalam sejarahnya pada 2022. Negara ini mengalami kekurangan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan. Inflasi melonjak, listrik dipadamkan berjam-jam, dan mata uang anjlok tajam.
Pemerintah keluarga Rajapaksa dianggap gagal mengelola ekonomi, terutama setelah pandemi Covid-19 dan serangan bom Paskah 2019 menghancurkan sektor pariwisata. Utang luar negeri sebesar 51 miliar dolar AS gagal dibayar, membuat negara ini bangkrut.
Gelombang Protes
Ratusan ribu rakyat dari berbagai kalangan turun ke jalan. Tenda protes besar didirikan di luar kantor presiden di Kolombo. Aksi semakin besar setelah aparat menggunakan kekerasan. Rumah Mahinda Rajapaksa dan sejumlah politisi dibakar.
Pada Juli 2022, pengunjuk rasa menyerbu istana presiden. Foto-foto warga berenang di kolam istana dan tidur di kamar presiden menjadi simbol tumbangnya rezim. Presiden Gotabaya Rajapaksa akhirnya melarikan diri ke Maladewa lalu Singapura, sebelum resmi mengundurkan diri.
Transisi Kekuasaan
Ranil Wickremesinghe ditunjuk sebagai presiden sementara, sebelum digantikan oleh Anura Kumara Dissanayake, politisi berhaluan kiri, pada 2024. Ia berjanji membersihkan korupsi, memperbaiki ekonomi, dan menegakkan hak asasi manusia. Namun, hingga kini rakyat masih menghadapi kesulitan ekonomi, masalah utang, dan isu HAM.
Pola Umum: Kemarahan Rakyat Asia Selatan
Krisis di Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka menunjukkan pola yang sama:
- Pemicu kecil seperti larangan media sosial atau aturan kuota pekerjaan berubah menjadi gelombang besar menuntut perubahan rezim.
- Kemarahan publik terhadap elite politik yang dianggap korup, nepotis, dan tidak mampu memperbaiki ekonomi.
- Peran dominan generasi muda, khususnya mahasiswa dan Gen Z, yang mengorganisir protes dan memimpin gerakan.
- Kekerasan dan korban jiwa, di mana ratusan orang tewas di Bangladesh, belasan di Nepal, dan ratusan terluka di Sri Lanka.
- Kejatuhan pemimpin nasional, masing-masing Gotabaya Rajapaksa (Sri Lanka, 2022), Sheikh Hasina (Bangladesh, 2024), dan KP Oli (Nepal, 2025).
Apa yang Bisa Dipelajari Nepal dari Bangladesh dan Sri Lanka?
- Sri Lanka berhasil menstabilkan situasi dalam 1–2 tahun setelah pergantian kekuasaan, meski masalah ekonomi belum sepenuhnya pulih.
- Bangladesh masih bergulat dengan instabilitas setahun setelah pengunduran diri Hasina, karena belum ada kesepakatan soal pemilu dan reformasi politik.
- Nepal berada di persimpangan jalan. Jika segera terbentuk pemerintahan sementara yang inklusif, stabilitas bisa dicapai dalam beberapa bulan. Namun, jika tidak ada konsensus, risiko instabilitas jangka panjang sangat besar.
Dalam kurun waktu singkat, tiga negara Asia Selatan menghadapi gelombang protes besar yang menggulingkan pemimpin mereka. Nepal kini mengikuti jejak Sri Lanka dan Bangladesh. Generasi muda memainkan peran sentral dalam perubahan ini, dengan tuntutan utama melawan korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan ekonomi.
Namun, transisi kekuasaan bukan jaminan bagi perbaikan cepat. Tanpa reformasi nyata, negara-negara ini berisiko terjebak dalam siklus ketidakstabilan politik yang berulang.