Harian Masyarakat | Sidang Umum PBB ke-80 pada Jumat, 26 September 2025, berubah menjadi panggung penolakan global terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Saat ia naik ke podium, puluhan delegasi dari negara-negara anggota OKI, Liga Arab, dan Gerakan Non-Blok berdiri lalu keluar ruangan. Kursi-kursi kosong terlihat jelas di ruang sidang utama. Delegasi dari Indonesia, Pakistan, Malaysia, Kuwait, Iran, hingga Kuba ikut dalam aksi tersebut.
Aksi walk out itu menegaskan isolasi internasional terhadap Israel di tengah tuduhan kejahatan perang dan genosida di Gaza. Netanyahu sendiri menghadapi surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Netanyahu Disoraki dan Dikecam
Tak hanya walk out, sebagian hadirin yang tersisa di aula juga menyambut pidato dengan cemoohan dan sorakan. Mayoritas delegasi menolak narasinya yang membela perang di Gaza, yang sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 65.500 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Sementara itu, ribuan orang berdemonstrasi di jalan-jalan New York menolak kehadiran M Israel tersebut. “He is not welcome to New York City,” tegas seorang juru bicara Palestinian Youth Movement.
Isi Pidato: Dari Peta, Kuis, hingga QR Code
Meski ditinggalkan banyak delegasi, Netanyahu tetap melanjutkan pidatonya. Ia membuka dengan memuji operasi militer Israel di Timur Tengah, termasuk serangan terhadap Houthi, Hizbullah, hingga operasi gabungan dengan Amerika Serikat melawan Iran. Netanyahu bahkan menyebut keberhasilan menghancurkan sebagian program nuklir Iran.
Untuk menarik perhatian, ia mengeluarkan kertas berisi pertanyaan pilihan ganda. Dalam gaya kuis, ia menanyakan siapa yang menyerukan “Matilah Amerika” dan menyebut Iran, Hamas, Hizbullah, serta Houthi sebagai jawabannya. Menurutnya, semua kelompok itu adalah musuh bersama Barat.
Netanyahu juga menampilkan peta Timur Tengah dan menandai musuh-musuh Israel yang ia klaim sudah dilemahkan. Ia bahkan mengenakan pin kode QR besar di bajunya yang diminta untuk dipindai delegasi. QR tersebut, katanya, berisi laporan Israel soal serangan 7 Oktober 2023 yang dijadikan dalih melanjutkan perang.
Pesan untuk Tawanan dan Ancaman ke Hamas
Pidato Netanyahu disiarkan lewat pengeras suara hingga ke Gaza. Ia berbicara langsung kepada tawanan Israel, berjanji tidak akan berhenti sampai mereka dibebaskan. Kepada Hamas, ia memberi ultimatum: menyerah dan bebaskan sandera atau akan diburu sampai mati.
Namun kritik datang dari dalam negeri Israel sendiri. Oposisi menilai Netanyahu sengaja memperpanjang perang untuk kepentingan politik dan gagal menyusun rencana perdamaian yang bisa menjamin pembebasan tawanan.
Penolakan Solusi Dua Negara
Netanyahu menegaskan kembali penolakannya terhadap solusi dua negara, meski itu merupakan konsensus mayoritas anggota PBB. Ia bahkan mengecam keputusan negara-negara Barat seperti Inggris, Prancis, Kanada, dan Australia yang baru saja mengakui Palestina sebagai negara. Menurutnya, pengakuan itu “memalukan” dan hanya akan mendorong terorisme.
Sebaliknya, Amerika Serikat justru tetap menjadi sekutu terdekat Israel. Delegasi AS tidak ikut keluar ruangan dan beberapa kali bertepuk tangan. Presiden Donald Trump bahkan menyatakan “sangat dekat” dengan kesepakatan gencatan senjata di Gaza, meski ia menegaskan tidak akan mengizinkan Netanyahu menganeksasi Tepi Barat.
Menghindari Penangkapan ICC
Kedatangan Netanyahu ke New York diwarnai kontroversi. Pesawatnya sengaja menghindari wilayah udara Prancis dan Spanyol, yang bisa mengeksekusi surat perintah ICC terhadap dirinya. Aksi penghindaran ini bukan pertama kali dilakukan PM Israel itu sejak ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan pada November 2024.
Sesampainya di AS, Netanyahu juga disambut protes besar-besaran, baik oleh masyarakat internasional maupun warganya sendiri di Tel Aviv, yang menuntut penghentian perang dan pemulangan tawanan.
Dunia Menolak Narasi Netanyahu
Pidato Netanyahu di PBB yang penuh peta, gimmick kuis, dan kode QR gagal menutupi kenyataan. Walk out puluhan delegasi, sorakan di aula, hingga gelombang demonstrasi di New York menunjukkan semakin kuatnya penolakan internasional.
Sementara Israel tetap menolak tuduhan genosida, laporan PBB dan lembaga kemanusiaan menyebut Gaza menghadapi kelaparan massal, kehancuran infrastruktur, dan lebih dari 90 persen penduduknya mengungsi.
Netanyahu mungkin ingin meyakinkan dunia bahwa Israel “sedang berjuang untuk semua orang”, tetapi realitas di PBB memperlihatkan sebaliknya. Dunia menolak, dan suara penolakan itu semakin keras.