spot_img

Nur Amira Akan Dideportasi Lagi, Imigrasi Abaikan Hak Kemanusiaan?

Harian Masyarakat | Nur Amira (37), seorang ibu tunggal asal Payakumbuh, Sumatera Barat, sejak Oktober 2024 hidup dalam ketidakpastian. Ia dideportasi dari Indonesia ke Malaysia karena dianggap warga negara Malaysia berdasarkan paspor dan akta lahir lama. Namun, ketika mencoba mengurus dokumen di Jabatan Pendaftaran Negara Malaysia, namanya tidak ditemukan karena ia sudah lebih dari 30 tahun meninggalkan negeri itu.

Situasi makin buruk ketika ia ditangkap aparat Malaysia sebagai imigran ilegal. Nur Amira dipenjara dua bulan di Penjara Kajang. Setelah itu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru mengeluarkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk memulangkannya ke Indonesia pada Maret 2025.

Ia sempat tinggal bersama anak semata wayangnya, Zahira (15), selama lima bulan di Sumbar. Namun kebahagiaan itu singkat. Saat mengurus KTP di Dinas Dukcapil, SPLP miliknya ditahan untuk verifikasi. Tak lama kemudian, SPLP tersebut dibatalkan KJRI Johor Bahru. Sejak 19 September 2025, Nur Amira ditahan di ruang detensi Imigrasi Agam tanpa berita acara penahanan.

nur amira deportasi imigrasi
Kantor Imigrasi Agam

Jeritan Anak: “Kalau Ibu Saya Dideportasi Lagi, Masa Depan Saya Hancur”

Zahira, siswi SMPN 1 Situjuah Limo Nagari, menulis surat terbuka pada 24 September 2025. Ia memohon agar ibunya tidak kembali dideportasi.

“Ibu saya bukan seorang kriminal. Sejak lahir hanya ibu yang membesarkan saya. Kalau ibu dideportasi lagi, masa depan saya akan hancur,” tulis Zahira.

Zahira menegaskan, ayahnya meninggalkannya sejak lahir dan tidak pernah memberi nafkah. Selama ini, hanya ibunya yang membiayai hidup dan sekolah. Tanpa ibunya, ia terancam putus sekolah. Surat tersebut ditembuskan ke Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan serta Ombudsman RI Sumbar.

Ombudsman dan DPR Ikut Memantau

Kepala Ombudsman Sumbar, Adel Wahidi, membenarkan pihaknya menerima laporan Zahira. Ombudsman meminta klarifikasi dari Imigrasi Agam sebelum menentukan langkah. Menurutnya, kasus ini rumit karena Nur Amira tidak diakui sebagai warga negara Indonesia maupun Malaysia.

“Kalau dideportasi lagi ke Malaysia, risikonya dia masuk secara ilegal dan bisa dipenjara kembali di sana. Karena itu, kami akan cari solusi dengan asas keadilan,” kata Adel.

Kasus ini juga telah masuk ke DPR. Komisi XIII dijadwalkan menggelar rapat dengar pendapat terkait Nur Amira pada 29 September 2025.

nur amira deportasi imigrasi
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumbar, Adel Wahidi (tengah), Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Agam Budiman Hadiwasito (kanan), dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Sumatera Barat Nurudin

Imigrasi Tetap Akan Deportasi

Kepala Imigrasi Agam, Budiman Hadiwasito, menyatakan pihaknya menunggu terbitnya dokumen emergency certificate dari Konsulat Jenderal Malaysia di Medan untuk memulangkan Nur Amira.

“Kami menunggu dokumen itu keluar, beli tiket perjalanan, baru kami pulangkan. Bisa lewat Padang, Pekanbaru, ataupun Dumai,” ujar Budiman.

Kepala Kanwil Ditjen Imigrasi Sumbar, Nurudin, menambahkan setelah deportasi, Nur Amira tetap bisa masuk Indonesia dengan bebas visa kunjungan 30 hari atau visa lain. “Harapannya ibu dapat bertemu kembali dengan anaknya. Permasalahan keimigrasian clear, anaknya dapat bertemu, dan tidak ada masalah lagi,” katanya.

Namun, pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran. Jika benar dideportasi, Nur Amira bisa kembali dipenjara di Malaysia karena tidak memiliki dokumen kewarganegaraan.

Kronologi Hidup Nur Amira

  • Lahir di Melaka, Malaysia, 28 September 1988 dengan nama Noor Amira binti Ramli.
  • Ibu kandungnya, Nuraini, warga Singapura. Ayah kandungnya, Ramli, warga Malaysia.
  • Saat masih dalam kandungan, orang tuanya bercerai. Tahun 1995, ibunya menikah dengan pria Indonesia dan membawa Nur Amira ke Sumbar dengan paspor Malaysia.
  • Hampir 30 tahun tinggal di Indonesia, menikah dengan pria Indonesia, dan memiliki seorang anak, Zahira.
  • Pada 2006, ia memiliki KTP dan KK Indonesia. Namun, statusnya baru dipersoalkan setelah mantan bosnya melaporkannya ke Imigrasi pada 2024.

Imigrasi lalu menemukan bahwa Nur Amira dan ibunya hanyalah pemegang dokumen asing. Nuraini telah lebih dulu dideportasi ke Singapura, sementara Nur Amira ke Malaysia.

Namun, Malaysia tidak mengakui Nur Amira sebagai warga negaranya. Paspor masa kecil dan akta kelahirannya ditahan otoritas setempat. Ia gagal membuktikan status kewarganegaraan, bahkan hasil tes DNA tidak kunjung keluar. Saat tertangkap razia, polisi menilai dokumennya tidak valid dan menyerahkannya ke imigrasi.

Karena menunjukkan foto KTP Indonesia di ponsel, Nur Amira justru dipulangkan kembali ke Indonesia dengan SPLP. Kini, SPLP itu sudah dicabut, membuatnya benar-benar tanpa kewarganegaraan.

nur amira imigrasi zahira malaysia indonesia

Kesaksian Rekan Kerja

Fadhilla Putri (38), atasannya di Limapuluh Kota, menyebut Nur Amira sudah lama tinggal di Indonesia dan tidak pernah bermasalah. Menurutnya, deportasi berulang tanpa kepastian justru memperburuk keadaan.

“Jangan sekadar dideportasi, sementara orang jadi stateless. Yang ada nanti Nur Amira ditangkap kembali dan dipenjara seumur hidup. Lalu bagaimana nasib anaknya di sini?” kata Fadhilla.

Kini, Fadhilla juga ikut merawat Zahira selama ibunya ditahan.

Masalah Birokrasi dan Celah Hukum

Imigrasi menegaskan Nur Amira memang warga negara asing yang tidak pernah mengurus naturalisasi sesuai UU No. 12 Tahun 2006. Meski tinggal lama, status ilegal membuat masa tinggalnya tidak dihitung sebagai syarat jadi WNI.

Namun, Ombudsman menilai kasus ini juga mencerminkan lemahnya disiplin administrasi kependudukan di masa lalu. Bagaimana mungkin seorang WNA bisa mendapatkan KTP, KK, hingga menikah di KUA secara resmi.

Ancaman Nyata bagi Masa Depan Zahira

Kasus Nur Amira menelanjangi wajah buram persoalan stateless di Indonesia. Ia sudah puluhan tahun hidup, bekerja, dan berkeluarga di tanah air, tetapi tetap dianggap asing.

Bagi Zahira, ancaman deportasi ibunya berarti kehilangan satu-satunya penopang hidup. “Kalau ibu saya dideportasi lagi, saya akan telantar dan masa depan saya akan hancur,” tulisnya.

Kasus ini kini menjadi ujian bagi pemerintah. Apakah kemanusiaan dan hak seorang anak untuk hidup bersama ibunya akan lebih diutamakan daripada sekadar kepatuhan administrasi kewarganegaraan?

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news