Harian Masyarakat | Pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp2.189,3 triliun dalam APBN 2025. Namun, realisasi semester I-2025 baru mencapai Rp831,27 triliun atau 38 persen dari target. Angka ini lebih rendah 7 persen dibanding semester I-2024 yang mencapai Rp893,85 triliun.
Salah satu penyumbang kontraksi terbesar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Pada semester I-2025, realisasi penerimaan dari dua pos ini hanya Rp267,3 triliun, turun 20 persen dibanding periode sama 2024 sebesar Rp332,9 triliun.
Penerimaan Pajak Hingga Agustus 2025
Hingga Agustus 2025, penerimaan pajak tercatat Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook Rp2.076,9 triliun. Capaian ini turun dibanding periode sama 2024 yang sudah menyentuh 63,25 persen.
Dengan sisa waktu empat bulan, pemerintah masih harus mengejar Rp941,5 triliun. Jika tren 2022–2024 dijadikan acuan, kontribusi rata-rata empat bulan terakhir hanya 31,5–38 persen dari total penerimaan tahunan. Artinya, realisasi 2025 diperkirakan hanya mencapai 86,2–92,7 persen atau sekitar Rp1.790,3–Rp1.925,3 triliun.
Pengajar Administrasi Fiskal UI, Prianto Budi Saptono, bahkan memprediksi lebih rendah, sekitar 82 persen dari outlook atau Rp1.703,1 triliun, jika tren Januari–Agustus berlanjut.

APBN 2025: Defisit Menganga
Per Agustus 2025, APBN mencatat defisit Rp321,6 triliun atau 1,35 persen dari PDB. Pendapatan negara baru mencapai Rp1.638,7 triliun (57,2 persen dari outlook Rp2.865,5 triliun), sementara belanja negara sudah menyentuh Rp1.960,3 triliun (55,6 persen dari outlook Rp3.527,5 triliun).
Defisit ini berpotensi melebar karena penerimaan pajak melemah. Tanpa dorongan signifikan, proyeksi shortfall penerimaan pajak akan menekan stabilitas fiskal.
Strategi Pemerintah: Enam Quick Win
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meluncurkan enam program jangka pendek untuk menggenjot penerimaan:
- Mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan dana Rp200 triliun di lima bank BUMN guna memperluas peredaran uang primer (M0).
- Menagih tunggakan 200 wajib pajak besar dengan potensi Rp50–60 triliun, bekerja sama dengan kejaksaan, kepolisian, KPK, dan PPATK.
- Mempercepat pemulihan sistem Coretax yang sempat mengalami gangguan, bahkan dengan mendatangkan ahli TI dari luar negeri.
- Memberantas rokok ilegal, termasuk impor yang lolos jalur hijau Bea Cukai atau dijual di platform daring.
- Mempercepat belanja negara agar daya beli masyarakat terjaga, konsumsi naik, dan basis pajak meluas.
- Menguatkan pertukaran data antarinstansi sesuai Pasal 35A UU KUP, meski dampaknya baru terasa jangka menengah.

Purbaya bahkan berjanji akan menyidak bank Himbara untuk memastikan dana Rp200 triliun benar-benar disalurkan ke kredit produktif, bukan dipakai untuk membeli dolar.
Tantangan dan Risiko
Sejumlah pakar meragukan efektivitas langkah cepat pemerintah:
- Prianto Budi Saptono menilai perbaikan Coretax butuh waktu lebih panjang. Penempatan dana di bank BUMN rawan disalahgunakan bila pengawasan longgar. Penagihan tunggakan juga tergantung ketersediaan aset yang bisa segera dilelang. Ia menilai pemerintah belum serius menindak pengemplang.
- Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research, menilai target Rp2.076,9 triliun sulit tercapai. Celah kepatuhan wajib pajak dan kebijakan insentif membuat potensi penerimaan tergerus. Praktik transfer pricing dan perusahaan di negara suaka juga menambah tantangan.
- Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan tidak ada kebijakan baru. Fokusnya adalah menajamkan eksekusi instrumen yang sudah ada dan memperkuat koordinasi lintas instansi.

Potret Ke Depan
Dengan sisa waktu hanya empat bulan dan kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih, ruang pemerintah untuk mengejar target semakin sempit. Tanpa momentum seperti booming komoditas atau peristiwa politik yang menambah penerimaan, kinerja pajak 2025 diperkirakan tidak akan menyentuh target.
Upaya quick win bisa mengurangi kesenjangan, tetapi tidak cukup untuk menutup seluruh shortfall. Pemerintah harus menyeimbangkan dua hal: mengejar penerimaan semaksimal mungkin dan tetap menjaga stabilitas ekonomi.
Apabila proyeksi pesimistis terbukti, realisasi pajak 2025 bisa berada jauh di bawah target. Konsekuensinya, defisit APBN berpotensi melebar lebih besar dari perkiraan semula.