Harian Masyarakat | Di atas kertas, pajak adalah darah yang mengalirkan kehidupan bagi sebuah negara. Pajak membiayai pembangunan, layanan publik, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan. Namun di mata banyak rakyat Indonesia saat ini, pajak justru menjadi beban yang semakin menekan tanpa diiringi rasa percaya bahwa uang tersebut benar-benar digunakan secara transparan dan bermanfaat.
Kekecewaan ini memuncak karena rakyat merasa telah berkontribusi, tetapi tetap sulit mendapatkan layanan publik yang layak. Sementara itu, berbagai kasus korupsi dan pemborosan anggaran terus bermunculan, memperkuat persepsi bahwa pajak dikelola tanpa akuntabilitas yang memadai.
Beban yang Terus Meningkat
Beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar meningkatkan penerimaan negara. Berbagai kebijakan baru diterapkan, mulai dari perluasan objek pajak, kenaikan tarif, hingga penguatan sanksi bagi penunggak iuran negara. Secara teori, ini adalah langkah positif demi memperkuat kas negara. Namun di lapangan, realitasnya jauh lebih rumit.
Bagi sebagian besar masyarakat kelas menengah dan bawah, kenaikan setoran wajib langsung berimbas pada daya beli. Harga kebutuhan pokok ikut naik, biaya usaha bertambah, dan peluang untuk menabung semakin kecil. Banyak pelaku UMKM mengaku kesulitan mempertahankan usaha karena margin keuntungan yang semakin tergerus.
Ironisnya, di tengah beban ini, rakyat masih harus menghadapi pelayanan publik yang lamban, infrastruktur yang tak merata, dan birokrasi yang berbelit. Pertanyaan pun muncul: untuk apa semua kontribusi publik itu jika hasilnya tak terasa?
Ketidakjelasan Pengelolaan Pajak
Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci dalam pengelolaan iuran negara. Sayangnya, di Indonesia, kedua hal ini masih menjadi persoalan besar. Laporan penggunaan pajak jarang disampaikan secara jelas dan mudah dipahami publik.
Bahkan ketika pemerintah memaparkan rencana anggaran, bahasa yang digunakan sering terlalu teknis dan sulit diuraikan oleh masyarakat awam. Akibatnya, rakyat kesulitan menilai apakah alokasi pajak benar-benar sesuai kebutuhan prioritas atau justru banyak tersedot untuk belanja yang tidak produktif.
Kasus-kasus penyalahgunaan dana publik juga terus mencoreng citra pemerintah. Setiap kali skandal korupsi muncul, rasa percaya rakyat terkikis. Muncul persepsi bahwa membayar pajak hanyalah “memberi makan” pada sistem yang bocor.
Pernyataan Sri Mulyani yang Memicu Polemik
Situasi panas ini semakin memanas setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pernyataan kontroversial: membayar pajak sama dengan menunaikan zakat dan wakaf dalam syariat Islam.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pernyataan tersebut bertujuan membangun imajinasi moral bahwa memberi untuk kemaslahatan adalah tindakan mulia. Namun, perbandingan ini menuai kritik keras. Zakat dan wakaf dalam ajaran Islam bersifat sukarela dan langsung ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat yang membutuhkan, dengan pengelolaan yang jelas. Sementara pajak adalah kewajiban negara yang seharusnya dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas penuh.
Bagi banyak rakyat, pernyataan itu justru terasa seperti upaya membungkus kewajiban pajak dengan sentimen religius, alih-alih menjawab keresahan soal penyalahgunaan dan pemborosan anggaran.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik
Kepercayaan adalah modal sosial yang sangat mahal dalam sistem perpajakan. Tanpa rasa percaya, kepatuhan pajak akan menurun. Banyak orang akan mencari cara untuk menghindar, bahkan dengan risiko melanggar hukum.
Krisis kepercayaan ini sudah mulai terlihat dari berbagai survei opini publik. Banyak responden mengaku merasa enggan atau terpaksa membayar kewajibannya kepada negara karena tidak yakin dana tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pendanaan negara di masa depan.
Pelajaran dari Negara Lain
Beberapa negara Skandinavia sering dijadikan contoh keberhasilan sistem yang sehat. Di sana, tarif iuran memang tinggi, tetapi rakyat mendukung karena mereka merasakan langsung manfaatnya dalam bentuk layanan publik berkualitas, pendidikan gratis, dan sistem kesehatan yang mumpuni. Transparansi anggaran juga sangat ketat, sehingga rakyat tahu persis kemana uang mereka digunakan.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi menuju sistem seperti ini, tetapi butuh pembenahan besar dalam tata kelola, pemberantasan korupsi, dan komunikasi publik.
Pajak Bukan Sekadar Kewajiban, tapi Perjanjian Sosial
Pajak bukan hanya urusan ekonomi, melainkan kontrak sosial antara negara dan rakyat. Rakyat membayar setoran wajib dengan harapan negara akan memberikan perlindungan, layanan, dan pembangunan yang layak. Ketika negara gagal memenuhi bagiannya dalam kontrak ini, wajar jika rakyat kecewa dan marah.
Pernyataan kontroversial, kebijakan yang membebani, dan transparansi yang lemah hanya akan memperdalam krisis kepercayaan. Jika pemerintah ingin memperbaiki situasi, langkah pertama yang harus diambil adalah membuka seluruh proses pengelolaan iuran negara secara transparan, menghentikan pemborosan, dan menindak tegas pelaku korupsi tanpa pandang bulu.
Hanya dengan begitu, pajak bisa kembali dilihat sebagai alat gotong royong untuk membangun negeri, bukan sekadar beban yang harus dipikul rakyat.