spot_img

Pati Menggugat: Ketika Pemimpin Lupa Siapa yang Memberi Kekuasaan

Harian Masyarakat | Pati, Jawa Tengah, baru saja mengirim pesan keras kepada penguasa. Pesan itu lahir dari jalanan, dari ribuan suara yang memadati Alun-Alun, dari wajah-wajah lelah yang selama ini mencoba bersabar. Pesan itu sederhana: jangan main-main dengan rakyat.

Selama bertahun-tahun, warga Pati hidup dengan masalah yang tak pernah selesai. Lapangan kerja sulit, pendidikan berkualitas terasa mewah, pelayanan kesehatan jauh dari memadai. Dan di tengah kesulitan itu, Bupati Sudewo, baru enam bulan menjabat, mengumumkan kebijakan yang membuat darah mendidih: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.

Pajak adalah kontrak sosial. Rakyat membayar, pemerintah memberi pelayanan. Tapi apa yang terjadi ketika pelayanan tak kunjung datang, sementara pungutan justru membengkak tanpa penjelasan? Rasa keadilan pun terkoyak.

Arogansi yang Memicu Ledakan

Kemarahan rakyat bukan hanya karena nominal pajak. Yang membuat bara itu menyala adalah ucapan menantang sang bupati. Dalam video yang beredar luas, Sudewo berkata santai:

“Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan… bawa 50 ribu orang pun tidak masalah. Keputusan saya tidak akan berubah.”

Kata-kata itu jatuh seperti bahan bakar ke api yang sudah menyala. Ucapan yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulut seorang pemimpin. Dan hasilnya? Ledakan kemarahan rakyat yang tumpah di jalanan pada 13 Agustus 2025.

demo pati

Bahkan ketika ia mencoba meminta maaf dengan alasan “miskomunikasi” pada 7 Agustus, luka di hati warga sudah terlanjur dalam. Saat ia muncul di hadapan massa dari atas mobil taktis, sambutan yang datang bukan tepuk tangan, melainkan lemparan botol air mineral dan sandal.

Pati Bukan Kasus Tunggal

Pati hanyalah satu bab dari cerita yang lebih besar. Kenaikan PBB-P2 terjadi di berbagai daerah: Kabupaten Semarang melonjak 400 persen, Bone 300 persen, bahkan Cirebon dan Jombang sampai 1.000 persen.

Direktur Eksekutif Trias Politika, Agung Baskoro, mengingatkan bahwa kejadian ini adalah alarm nasional. Pemilih kini lebih kritis dan punya akses informasi yang luas. Kebijakan yang mengabaikan aspirasi publik tidak hanya akan memicu protes lokal, tetapi bisa merambat ke seluruh negeri.

Politik, Partai, dan Harga Sebuah Pernyataan

Bagi Partai Gerindra, tempat Sudewo bernaung, kasus ini adalah pukulan telak. Baru setengah tahun menjabat, bupatinya sudah memantik demonstrasi besar. Sekretaris Jenderal DPP Gerindra, Sugiono, bahkan mengutip pesan Ketua Umum Prabowo Subianto agar setiap kepala daerah kader Gerindra tidak membuat kebijakan yang menambah beban rakyat kecil.

demo pati

Namun, pesan itu terlambat sampai ke telinga warga. Mereka sudah turun ke jalan, dan tuntutannya jelas: Bupati Sudewo mundur.

DPRD Bergerak: Jalan Menuju Pemakzulan

DPRD Pati, yang terdiri dari 50 anggota dari delapan partai politik, membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk memakzulkan Sudewo. PDIP memegang kursi terbanyak (14 kursi), sementara Gerindra hanya enam.

Hak angket ini bisa berujung pada dua skenario:

  1. DPRD memutuskan pemakzulan yang kemudian disahkan Mahkamah Agung.
  2. Bupati mengundurkan diri atas desakan publik, dengan koordinasi pemerintah pusat.

Sudewo menyatakan menghormati proses ini. Tetapi bagi warga, proses hukum hanyalah satu bagian dari perjuangan. Inti tuntutan mereka adalah keadilan.

Bahaya Mengulang Orde Baru

Di tengah gejolak ini, ada bahaya lain yang mengintai: wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, seperti masa Orde Baru. Jika itu terjadi, hubungan langsung antara rakyat dan pemimpin akan terputus. Kepala daerah akan sibuk melayani elite politik, bukan warga.

Pati membuktikan bahwa suara rakyat langsung adalah benteng terakhir demokrasi. Menghapusnya sama saja dengan mematikan mekanisme kontrol paling penting.

Pelajaran dari Pati

demo pati

Kasus ini adalah potret tentang arogansi kekuasaan. Tentang bagaimana seorang pemimpin bisa lupa bahwa jabatan hanyalah titipan rakyat, bukan hak istimewa. Tentang bagaimana kebijakan yang lahir tanpa partisipasi publik bisa meledak menjadi krisis kepercayaan.

Pesan dari Pati untuk seluruh Indonesia sangat jelas:

  • Kebijakan publik harus dilahirkan dari dialog dan transparansi.
  • Pemimpin harus berani mendengar dan mengubah keputusan yang salah.
  • Rakyat berhak menagih janji kampanye dan menolak kebijakan yang merugikan.

Pati adalah kita. Dan jika kita diam ketika pemimpin bersikap pongah, cepat atau lambat, kita semua akan menjadi Pati.

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Related news