Harian Masyarakat | Banyak pejabat publik Indonesia dulunya dikenal ramah, peduli, dan berani membela rakyat kecil. Namun, setelah menduduki kursi kekuasaan, perubahan sikap kerap terjadi. Mereka menjadi lebih dominatif, manipulatif, dan berjarak dari masyarakat. Fenomena ini sejalan dengan teori “paradoks kekuasaan” yang diungkap profesor psikologi Dacher Keltner dalam bukunya The Power Paradox (2016).
Penelitian neurosains menunjukkan bahwa posisi otoritas tinggi dapat mengubah struktur otak seseorang. Menurut Taufiq Pasiak, peneliti neurosains dari UPN Veteran Jakarta, kekuasaan menumpulkan koneksi antara korteks prefrontal (pusat empati dan moral) dengan sistem limbik (pusat emosi). Akibatnya, pejabat sering kehilangan empati, menjadi reaktif, dan lebih sibuk mendengarkan dirinya sendiri ketimbang masyarakat.
Hilangnya empati itu berdampak serius pada kebijakan publik. Keputusan pejabat lebih sering didasarkan pada angka dan formalitas, bukan kepedulian nyata. Kondisi ini makin parah bila kekuasaan berjalan dalam budaya tertutup yang penuh dengan “yes-man” serta minim kritik.
Meski demikian, otak manusia memiliki plastisitas atau kemampuan pulih. Hal itu berarti pejabat masih bisa mengembalikan empatinya jika struktur kekuasaan dipaksa terbuka, transparan, dan dekat dengan masyarakat. Caranya dengan turun langsung ke lapangan, berinteraksi tanpa protokol, dan mengikuti pelatihan empati seperti yang pernah diterapkan parlemen Australia.
Akar Kemarahan Publik
Kemarahan rakyat Indonesia memuncak pada Agustus 2025. Gelombang demonstrasi merebak di berbagai kota setelah DPR mengesahkan kenaikan tunjangan fantastis, termasuk tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan. Bagi masyarakat yang tengah dihimpit PHK massal, kenaikan harga bahan pokok, dan pajak yang mencekik, kebijakan itu dianggap penghinaan.
Riset Litbang Kompas mencatat 88,9 persen warganet bereaksi negatif terhadap wacana kenaikan tunjangan DPR. Pemicunya adalah aksi joget anggota DPR pada 16 Agustus 2025, yang kemudian diperparah pernyataan arogan sejumlah politisi. Ahmad Sahroni, misalnya, menyebut masyarakat yang menuntut pembubaran DPR sebagai “tolol sedunia”.
Kritik publik semakin deras karena DPR dianggap nir-empati. Banyak anggota lebih sibuk bergurau, berjoget, atau bahkan minta dikasihani, alih-alih menyadari penderitaan rakyat. Di sisi lain, program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp 71 triliun justru dikritik karena dianggap amburadul, penuh konflik kepentingan, dan kualitas makanan yang buruk.
Kondisi ini menciptakan jurang besar antara elite dan rakyat. Data BPS memang menyebut angka kemiskinan nasional menurun, tetapi di perkotaan justru meningkat. Sementara PHK melonjak 32 persen dan daya beli merosot. Realitas rakyat semakin bertolak belakang dengan optimisme pemerintah.
Tragedi Affan Kurniawan, Simbol Les Misérables Indonesia
Puncak kemarahan rakyat meledak setelah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta pada 28 Agustus 2025. Affan bukan demonstran. Ia hanya hendak mengambil ponselnya yang jatuh. Namun, kematiannya yang terekam kamera menjadi simbol ketidakadilan dan melahirkan solidaritas luas.
Tragedi Affan disamakan dengan kisah Gavroche dalam novel klasik Les Misérables karya Victor Hugo. Gavroche, bocah jalanan Paris, tewas di barikade pemberontakan 1832 dan menjadi simbol kepolosan yang direnggut negara. Begitu pula Affan, yang tubuhnya remuk di bawah kendaraan negara, memicu ledakan perlawanan rakyat di berbagai kota.
Di Solo dan Makassar, gedung DPRD terbakar. Di Bandung dan Jakarta, bentrokan pecah. Tragedi ini menunjukkan jurang ketidakadilan telah mencapai titik didih. Klub sepak bola Prancis Olympique de Marseille bahkan memberi penghormatan untuk Affan, menandakan bahwa tragedinya menembus batas geografis.
Respons Pejabat, Pemerintah, dan Partai Politik
Dalam tekanan publik, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengumumkan pencabutan sejumlah tunjangan DPR dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. Namun, banyak masyarakat menilai langkah ini terlambat. Mereka menuding keputusan itu hanya respons darurat setelah korban jiwa berjatuhan, bukan hasil kepekaan sejak awal.
Sejumlah partai politik pun mengambil langkah disiplin. Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya. Golkar menonaktifkan Adies Kadir. Meski begitu, pengamat menilai langkah ini belum cukup. Menurut Titi Anggraini, reformasi total partai politik diperlukan, termasuk transparansi kaderisasi dan penegakan sanksi etik.
Ketua DPR Puan Maharani telah meminta maaf dan berjanji memperbaiki komunikasi politik. Namun, kepercayaan publik sudah telanjur jatuh. Banyak warga menilai DPR tidak lagi mewakili masyarakat, melainkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Peran Media Sosial dalam Gerakan Rakyat
Gelombang protes 2025 juga ditandai oleh peran media sosial. Tagar seperti #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu menjadi kanal ekspresi rakyat. Jajak pendapat Kompas menunjukkan 78,6 persen responden mengetahui gerakan sosial digital, meski partisipasi aktif masih terbatas.
Bagi publik, gerakan sosial ini bukan sekadar hiburan, melainkan kanal kritik. Sebanyak 47,8 persen responden menilai gerakan tersebut sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi. Artinya, media sosial kini menjadi barikade baru yang memperkuat gerakan rakyat.
Jalan Keluar: Memulihkan Empati dan Kepercayaan
Kemarahan rakyat 2025 adalah cerminan krisis empati di kalangan elite. Tragedi Affan Kurniawan memperlihatkan betapa rapuhnya hubungan negara dengan rakyat kecil. Gelombang protes yang meluas membuktikan bahwa jurang ketidakadilan tidak bisa lagi ditutupi narasi optimisme pemerintah.
Solusinya tidak bisa berhenti pada pencabutan tunjangan atau menonaktifkan beberapa anggota DPR. Yang diperlukan adalah perubahan struktural:
- Reformasi partai politik yang transparan dan terbuka.
- Kebijakan ekonomi yang berpihak pada masyarakat, bukan elite.
- Program publik yang akuntabel dan bebas konflik kepentingan.
- Pelatihan empati bagi pejabat, agar keputusan politik kembali manusiawi.
Jika langkah-langkah itu diabaikan, tragedi Affan bukanlah akhir, melainkan awal dari gelombang perlawanan rakyat yang lebih besar. Demokrasi sejati hanya bisa berdiri tegak bila pejabat kembali belajar menjadi manusia yang berempati.